Ketika Energi Umat Bersatu, Lahirlah Aksi 212

Ridhmedia
01/12/19, 19:04 WIB
RIDHMEDIA - Ada sebuah energi di mana kekuatan manusia tidak akan mampu menghentikannya. Semakin digembosi, semakin menguat. Semakin ditahan, semakin berenergi.

Seperti air bah, tak akan terbendung walau dicegah dengan cara apa pun. Seperti itulah kekuatan ummat Islam jika Allah Azza wa Jalla menurunkan izzah kepada orang-orang yang beriman.

Siapa yang menggerakkan semua ini? Tidak mungkin karena ketokohan seorang tokoh, jutaan ummat Islam bisa berkumpul, taat dalam satu komando, dan terus bergerak berkesinambungan.

Dari Jakarta, gerakan yang sama terjadi di daerah dengan satu semangat. Allah SWT berkehendak lewat satu momentum saat ayat-ayat Allah dinistakan. Allah SWT pula yang merekayasa kejadian demi kejadian dan membungkam semua skenario busuk orang-orang yang tidak menghendaki kalimat tauhid tegak di muka bumi ini. Inilah yang disebut Tadbir Rabbani. Dari Sabang sampai Merauke bersatu.

Aksi penegakan Al-Ma’idah 51 adalah kekuatan itu bukan kekuatan politik, karena kekuatan politik oleh partai politik mana pun tak akan pernah mampu menyatukan hati ummat Islam. Oleh kekuatan partai politik Islam pun tak mampu.

Ormas Islam sekali pun, tanpa persatuan di antara mereka, justru perpecahan yang akan terjadi karena perbedaan pandangan dalam bermazhab yang kerap ditonjolkan. Namun di atas perbedaan tersebut, datanglah kekuatan untuk bersaudara dan bersatu,  karena bagi Allah SWT sangat mudah untuk menyatukan hati ummat Islam (takliful qulub).

Gerakan pembelaan pada Al-Qur’an tak dapat dibendung, ketaatan ummat kepada ulama pun mengkristal dan menyatu di bawah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), bahwa penodaan agama dan penghinaan kepada ulama tidak dapat ditoleransi. Inilah energi Al-Ma’idah 51 yang Allah perlihatkan kepada bangsa-bangsa di dunia ini bahwa saatnya Islam bersatu di bawah kepemimpinan berdasarkan Al-Qur’an.

Hanya mereka yang di dalam hatinya terdapat penyakit kemunafikan dan kefasikan yang tidak mengakui keabsahan Al-Ma’idah 51 ini. Lahirlah penafsiran liar bahwa kata ‘auliya’ dalam Al-Ma’idah 51 bukan berarti pemimpin melainkan teman sejati atau penolong.

Padahal menjadikan orang kafir sebagai teman sejati saja tidak boleh, apalagi menjadikan mereka sebagai pemimpin. Al-Ma’dah 51 akhirnya menjadi wacana dan isu yang sangat kuat dan itulah yang menjadikan ummat Islam bersatu.

Tanpa memaknai ayat tersebut sebagai pemantik datangnya Izzah Islam, perbedaan dan perpecahan di kalangan ummat Islam tidak akan pernah mencapai titik temu. Namun, Al-Ma’idah 51 meledakkan sebuah kekuatan dan melahirkan persaudaraan dan persatuan ummat lewat gerakan bela Al-Qur’an.

Kekuatan ummat Islam tersebut dapat dilihat dalam Aksi Bela Islam 2 pada hari Jumat, 4 November 2016 (411) dan Aksi Bela Islam 3 pada Jumat, 2 Desember 2016 (212). Jutaan ummat Islam tumpah ke jalanan dari berbagai daerah.

Padahal terjadi pencegahan yang luar biasa agar ummat Islam tidak hadir pada kedua aksi itu. Semakin dibendung dan digembosi, justru ummat Islam semakin bergairah.

Bus-bus pengangkut peserta aksi 411 dan 212 dilarang beroperasi menuju Jakarta, namun ummat Islam tetap memaksa datang. Peserta berjalan kaki dari Ciamis ke Jakarta menjadi pengikat dan semangat persatuan ummat. Dari Bogor, Bekasi, dan wilayah di sekitar Jakarta juga ikut berjalan kaki.

Kala hati ummat telah disatukan, tak satu pun yang mampu menghalangi. Ada yang datang dengan berjalan kaki, dengan sepeda motor, mobil-mobil pribadi, dan bahkan berombongan naik pesawat.

Tak satu orang pun yang dibayar. Mereka datang dengan ongkos dan dana sendiri. Jadilah Jakarta lautan manusia berpakain putih-putih dari seluruh penjuru nusantara.

Yang luar biasa dari aksi ini, tidak ada kerusuhan dan pengrusakan. Ummat Islam menunjukkan persaudaraan yang sebenarnya, damai, tertib, bersih, dan bermartabat. Tidak ada aksi sebesar ini yang pernah terjadi sepanjang sejarah dan berlangsung damai.

Semua larut dalam aksi damai, doa, dan zikir. Jika aksi kedua tidak dihadiri Presiden RI Joko Widodo, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, dan Menko Polhukam Wiranto, aksi ketiga di Monas mereka hadir meski hujan mengguyur.

Mereka datang tanpa diundang sebagaimana para peserta aksi lainnya dari berbagai daerah. Semuanya menyatu sebagai ummat yang satu.

Betapa besar ghirah umat Islam mempertahankan keagungan Al-Qur’an dan kesucian Islam. Ada perih di hati yang begitu menyesakkan. Bukan semata-mata ulah satu orang, tetapi karena ada satu ayat dalam Al-Qur’an dinistakan. Jutaan umat tumpah ke jalan bersatu dalam satu barisan.

Inilah aksi ummat Islam terbesar sepanjang sejarah sejak Kemerdekaan RI. Melebihi gerakan 1966, 1979, dan 1998. Jutaan ummat Islam datang dari berbagai penjuru nusantara dari ujung Sumatera, Kalimantan, Jawa, Maluku, Sulawesi, NTB, dan Bali.

Tiada satu pun tokoh, partai politik, dan organisasi yang mampu mendatangkan massa sebesar Aksi Bela Islam. Inilah energi dan keagungan Al-Qur’an.

Jantung Ibu Kota Jakarta putih dari seputaran Istana hingga Bunderan HI. Dari Patung Tuguh Tani hingga ke Patung Kuda. Masjid Istiqlal tidak mampu lagi menampung lautan ummat.

Tua dan muda hingga penyandang disabilitas tak ingin ketinggalan momentum bersejarah ini. Mereka saling membantu dan berbagi. Saling melengkapi dan mengingatkan untuk menjaga kedamaian, ketertiban, dan kebersihan. Umat lain yang berada di sekitar pun terjamin keamanannya.

Ada aksi, ada provokasi. Tapi umat Islam tak terpancing. Kala tembakan gas air mata dilesakkan pada akhir Aksi 411, mereka bertakbir dan melantunkan doa-doa. Korban berjatuhan tanpa aksi pembalasan.

Allahu Akbar. Inilah awal kebangkitan umat untuk bangsa ini. Mereka tetap sabar demi tegaknya keadilan atas penistaan Al-Qur’an. Mereka bertahan tanpa perlawanan karena tunduk dan patuh pada instruksi ulama, habaib, dan kiyai. [ins]
Komentar

Tampilkan

Terkini