RIDHMEDIA - Setelah perdebatan panjang, KPU akhirnya menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan dalam Pilkada 2020. Dalam PKPU ini, KPU 'mengalah' batal melarang eks koruptor maju di Pilkada.
PKPU itu tercatat dengan Nomor 18 tahun 2019 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. PKPU ditetapkan pada 2 Desember 2019.
Ketentuan soal eks koruptor bisa dilihat pada Pasal 4 tentang 'Persyaratan Calon'. Pada huruf h, hanya dua mantan narapidana yang dilarang ikut Pilkada, yaitu bandar narkoba dan kejahatan seksual pada anak.
Meski eks koruptor bisa maju, KPU menambahkan satu pasal dalam Peraturan KPU ini dengan mengimbau parpol untuk tidak mencalonkan eks napi korupsi dalam Pilkada. Tepatnya dalam Pasal 3A angka 4, sebagai berikut:
Bakal calon perseorangan yang dapat mendaftar sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota diutamakan bukan mantan terpidana korupsi.
Namun bagaimanapun, dengan terbitkan peraturan ini, maka eks koruptor atau mantan narapidana kasus korupsi bisa mencalonkan diri di Pilkada.
Apa alasan KPU batal melarang eks koruptor maju Pilkada?
"Karena pertimbangan banyak hal," ucap Ketua KPU Arief Budiman kepada kumparan, Jumat (6/12).
Perdebatan Isu
Melarang mantan narapidana korupsi maju di Pilkada adalah idealisme KPU, karena UU Pilkada tak melarang eks napi korupsi maju di Pilkada.
KPU pertama kali melarang eks koruptor maju di Pileg 2019. Pada Agustus 2018, KPU menerbitkan PKPU yang melarang eks terpidana korupsi, eks napi narkoba, dan eks napi predator seksual menjadi caleg di Pemilu serentak 2019.
Aturan itu memicu protes luas karena UU Pemilu tak melarang eks napi korupsi maju Pileg. Presiden Jokowi menyebut menjadi caleg adalah juga hak eks napi korupsi.
Namun, aturan itu akhirnya digugat dan dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Buntutnya, ada 34 eks koruptor yang menjadi caleg di Pileg 2019.
Polemik di Pilkada 2020
Meski sudah ada putusan MA untuk Pileg 2019, KPU tetap punya idealisme dalam menghadapi Pilkada Serentak 2020 dengan kembali membuat draf melarang eks napi korupsi menjadi calon kepala daerah.
Ide lama ini ditentang Kemendagri dan sebagian DPR/parpol, karena UU Pilkada tak melarang eks napi korupsi maju Pilkada. Mendagri Tito Karnavian menyebut, narapidana yang sudah menjalani hukuman, perilakunya 'terkoreksi' dengan proses pidana itu.
Namun, dalam beberapa kali rapat, KPU tetap ngotot orang bermasalah tak boleh maju Pilkada. Alasannya kali ini lebih kuat. Pertama, karena aturan yang sama berlaku di Pilpres 2019, eks napi korupsi dilarang jadi capres-cawapres.
Pemda yang dipilih lewat Pilkada, satu rangkaian dengan pemerintah pusat sehingga aturannya juga harusnya berlaku sama.
"Pemilu kita ini kan dalam 1 rangkaian. Presiden bersama gubernur, bupati, wali kota sebagai penyelenggara pemerintahan," jelas Arief di ruang rapat Komisi II DPR, Senin (11/11).
"Mestinya, dalam 1 rangkaian ini kan diberikan syarat yang sama," lanjutnya.
Alasan kedua, ada bukti baru, yaitu kasus Bupati Kudus Muhammad Tamzil. Dia adalah eks koruptor yang maju Pilkada, dan ternyata mengulang lagi perilaku korupsinya hingga ditangkap KPK.
Tapi akhirnya KPU 'menyerah'. Selain karena PKPU rentan digugat, juga karena ada proses gugatan yang dilayangkan koalisi masyarakat sipil (ICW, Perludem) mendukung KPU namun dengan permohonan agar eks napi diberi jeda 10 tahun sejak selesai menjalani pidana dengan dimulainya Pilkada.
Hingga saat ini proses di MK masih berjalan belum ada putusan.
Bagaimana menurutmu?
[kpr]
PKPU itu tercatat dengan Nomor 18 tahun 2019 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. PKPU ditetapkan pada 2 Desember 2019.
Ketentuan soal eks koruptor bisa dilihat pada Pasal 4 tentang 'Persyaratan Calon'. Pada huruf h, hanya dua mantan narapidana yang dilarang ikut Pilkada, yaitu bandar narkoba dan kejahatan seksual pada anak.
"Bukan mantan terpidana bandar narkoba dan bukan mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak"
- Pasal 4 huruf h PKPU 18/2019
Meski eks koruptor bisa maju, KPU menambahkan satu pasal dalam Peraturan KPU ini dengan mengimbau parpol untuk tidak mencalonkan eks napi korupsi dalam Pilkada. Tepatnya dalam Pasal 3A angka 4, sebagai berikut:
Bakal calon perseorangan yang dapat mendaftar sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota diutamakan bukan mantan terpidana korupsi.
Namun bagaimanapun, dengan terbitkan peraturan ini, maka eks koruptor atau mantan narapidana kasus korupsi bisa mencalonkan diri di Pilkada.
Apa alasan KPU batal melarang eks koruptor maju Pilkada?
"Karena pertimbangan banyak hal," ucap Ketua KPU Arief Budiman kepada kumparan, Jumat (6/12).
Perdebatan Isu
Melarang mantan narapidana korupsi maju di Pilkada adalah idealisme KPU, karena UU Pilkada tak melarang eks napi korupsi maju di Pilkada.
KPU pertama kali melarang eks koruptor maju di Pileg 2019. Pada Agustus 2018, KPU menerbitkan PKPU yang melarang eks terpidana korupsi, eks napi narkoba, dan eks napi predator seksual menjadi caleg di Pemilu serentak 2019.
Aturan itu memicu protes luas karena UU Pemilu tak melarang eks napi korupsi maju Pileg. Presiden Jokowi menyebut menjadi caleg adalah juga hak eks napi korupsi.
Namun, aturan itu akhirnya digugat dan dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Buntutnya, ada 34 eks koruptor yang menjadi caleg di Pileg 2019.
Polemik di Pilkada 2020
Meski sudah ada putusan MA untuk Pileg 2019, KPU tetap punya idealisme dalam menghadapi Pilkada Serentak 2020 dengan kembali membuat draf melarang eks napi korupsi menjadi calon kepala daerah.
Ide lama ini ditentang Kemendagri dan sebagian DPR/parpol, karena UU Pilkada tak melarang eks napi korupsi maju Pilkada. Mendagri Tito Karnavian menyebut, narapidana yang sudah menjalani hukuman, perilakunya 'terkoreksi' dengan proses pidana itu.
Namun, dalam beberapa kali rapat, KPU tetap ngotot orang bermasalah tak boleh maju Pilkada. Alasannya kali ini lebih kuat. Pertama, karena aturan yang sama berlaku di Pilpres 2019, eks napi korupsi dilarang jadi capres-cawapres.
Pemda yang dipilih lewat Pilkada, satu rangkaian dengan pemerintah pusat sehingga aturannya juga harusnya berlaku sama.
"Pemilu kita ini kan dalam 1 rangkaian. Presiden bersama gubernur, bupati, wali kota sebagai penyelenggara pemerintahan," jelas Arief di ruang rapat Komisi II DPR, Senin (11/11).
"Mestinya, dalam 1 rangkaian ini kan diberikan syarat yang sama," lanjutnya.
Alasan kedua, ada bukti baru, yaitu kasus Bupati Kudus Muhammad Tamzil. Dia adalah eks koruptor yang maju Pilkada, dan ternyata mengulang lagi perilaku korupsinya hingga ditangkap KPK.
Tapi akhirnya KPU 'menyerah'. Selain karena PKPU rentan digugat, juga karena ada proses gugatan yang dilayangkan koalisi masyarakat sipil (ICW, Perludem) mendukung KPU namun dengan permohonan agar eks napi diberi jeda 10 tahun sejak selesai menjalani pidana dengan dimulainya Pilkada.
Hingga saat ini proses di MK masih berjalan belum ada putusan.
Bagaimana menurutmu?
[kpr]