RIDHMEDIA - Studi dari Universitas Oxford menyebut Indonesia menjadi salah satu negara yang melakukan manipulasi media sosial secara terorganisasi dengan tujuan propaganda politik untuk menyerang oposisi pada saat Pemilu.
Hal tersebut diungkapkan Direktur Centre for Media and Democracy Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto saat meluncurkan dua buah buku Outlook Demokrasi LP3ES di ITS Tower, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Menurut Wijayanto, kondisi Indonesia pada tahun 2019 ini sangat memprihatinkan lantaran mengalami kemunduran demokrasi.
"Jadi kita menyampaikan kondisi demokrasi di Indonesia tahun 2019. Kita harus sampaikan kabar yang kurang menyenangkan bahwa dalam teori disebut democaratic regretion atau kemunduran demokrasi," ucap Wijayanto kepada wartawan, Sabtu (21/12).
Hal tersebut dapat terlihat dengan adanya temuan yang dilakukan oleh seorang dosen dan mahasiswa dari Universitas Oxford yaitu Philip N Howard dan Samantha Bradshaw yang menyebutkan bawah ada 70 negara melakukan manipulasi media sosial dengan tujuan propaganda politik.
"Secara jelas di sana bagaimana mereka menemukan bahwa pada politik hari ini telah terjadi computational propaganda telah digunakan 70 negara di dunia. Di Indonesia hanya beroperasi pada waktu Pemilu," ungkap Wijayanto.
Computational propaganda merupakan sebuah propaganda yang menggunakan teknologi komputer yang dijalankan oleh pasukan cyber yang berasal dari pemerintah atau aktor partai politik yang diberi tugas untuk memanipulasi oposisi publik secara online.
Di Indonesia sendiri, hasil studi tersebut menyebutkan bahwa kapasitas pasukan cyber masuk dalam kategori rendah. Yakni hanya aktif pada momen Pemilu maupun momen tertentu.
Bahkan, Wijayanto menyebut propaganda tersebut juga dilakukan oleh pasukan cyber di Indonesia yang pro terhadap pemerintah untuk menyerang oposisi maupun mengalihkan pembicaraan atau kritik yang penting.
Kata Wijayanto, yang paling menonjol ialah adanya pelemahan terhadap lembaga KPK. Dimana banyaknya serangan di media sosial yang menyerang KPK secara bertubi-tubi.
"Pelemahan KPK ini bukan hanya kenyataan bahwa KPK sudah lemah, tapi juga bagaimana KPK itu dilemahkan. Di ruang publik digital ada serangan yang masif kepada KPK diantaranya disebut sarang radikalisme dan taliban. Satu minggu jelang pengesahan UU KPK revisi ada tsunami pembicaraan di twitter, instagram, facebook bahwa KPK adalah sarang radikalisme. Itu membangun propaganda bahwa KPK memang harus diawasi dan dilemahkan," bebernya.
Selain itu pasukan cyber di Indonesia yang diduga digunakan oleh pemerintah juga selalu membuat pengalihan isu di media sosial yang jauh dari substansi perdebatan.
Diantaranya masih soal KPK, dimana saat sedang hangat pembicaraan soal keberadaan Dewan Pengawas KPK yang mengharuskan KPK meminta izin sebelum melakukan penyadapan.
Di saat itu juga lah para pasukan cyber pemerintah melakukan pengalihan isu tentang adanya Taliban di tubuh KPK yang dinilai jauh dari substansi perdebatan.
"Ini tidak lazim dalam negara demokratis. Ada upaya sistematis penyempitan bagi masyarakay sipil berdisksi dan menyampaikan aspirasi di ruang publik digital," mirisnya.
Dalam peluncuran buku Outlook Demokrasi LP3ES "Menyelamatkan Demokrasi" juga dihadiri oleh Ketua Dewan Pengawas LP3ES, Prof Didik J. Rachbini dan penulis lainnya yakni Wijayanto, Malik Ruslan dan Fachru Nofrian Bakarudin.[rm]