OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN
Dr. AHMAD YANI SH mem-forward surat kecaman Front Pembela Islam (FPI) kepada Anies Baswedan (ABW) terkait "kebijakan Anies promaksiat" kemarin malam. Tadi pagi saya forward lagi hal itu kepada ABW surat itu, dengan komentar "berat kalau melawan FPI".
Sore ini Alhamdulillah berita di media, Anies sudah mencabut penghargaan Adhikarya Wisata, yang diberikan Pemda DKI kepada Colosseum, diskotek dan club malam di Jakarta.
Pembagian penghargaan kepada diskotek Colosseum menuai kontroversi karena club malam ini ditengarai mempunyai masalah, di mana BNN (Badan Narkotika DKI) pernah melayangkan surat teguran pada club tersebut. Kontroversi itu bersifat legal formal, namun kontroversi lain adalah adanya dugaan club tersebut juga menjadi klub hiburan maksiat.
Dalam konteks legal formal, club malam adalah fenomena hiburan di kota-kota besar, di seluruh dunia. Selama pemerintahan yang berlangsung bukan berdasarkan Islam, maka club-club malam adalah bisnis hiburan legal.
Bahwa club malam dekat pada maksiat diatur dalam rambu legal formal, mana yang menjadi batas boleh sebuah club. Di Padang dan di Atjeh, misalnya, club-club seperti ini tidak boleh ada, karena dua daerah tersebut bukan hanya mengatur legal dalam pengertian umum, tapi juga legal dalam pengertian Syariah. Dalam pengertian Syariah, maka tidak boleh perempuan-perempuan dan lelaki bukan muhrim bertemu dalam club seperti itu.
Pemberian penghargaan pada club hiburan merupakan pekerjaan tahunan Dinas Parawisata. Penghargaan ini diberikan dengan standar legal formal. Selama club tersebut tidak melanggar hukum formal, seperti menjadi sarang narkoba, atau prostitusi, maka eksistensi club itu diakui bahkan di berbagai kota besar dianggap sumber pemasukan daerah utama.
Pembatalan penghargaan pada Colosseum bercampur antara tekanan politik dan legal formal. Surat FPI kepada Gubernur DKI mengingatkan bahwa sebagai gubernur yang dimenangkan oleh umat Islam, Anies harus menyerap aspirasi dan tuntutan umat Islam itu.
Namun, dari sisi legal, Anies menemukan kejanggalan pemberian award itu, karena ternyata club itu bermasalah dengan BNN.
Koreksi terhadap penghargaan yang diberikan, mengandung makna adanya kelemahan tim seleksi yang dibuat Dinas Parawisata DKI. Atau, adanya kelemahan gubernur, yang kalah pada tekanan FPI.
Namun, teguran FPI bukanlah sebuah keharusan, jika tim seleksi sudah lengkap dalam menyeimbangkan indikator legal dan moral. Sebab, memang urusan moral di Jakarta, paska kemenangan Anies dua tahun lalu menjadi isu sentral. Khususnya setelah Anies memasukkan janji kampanye membubarkan "Club Maksiat" Alexis.
Dilema Moralitas Anies
Anies telah menghargai FPI dan telah membatalkan penghargaan pada club malam Colosseum. Meski ini terkait legal, namun penghargaan Anies terhadap FPI menunjukkan kedekatan Anies dengan ulama dan isu Syariah. Tentu saja isu Syariah ini akan mengganggu rencana pencapaian income daerah DKI dari hiburan Rp 850.000.000.000, tahun 2019. Dan akan mengganggu target pendapatan hiburan berikutnya.
Isu Syariah dalam kehidupan masyarakat Jakarta, sepertinya ke depan akan berkontestasi antara Anies versus Anthony Salim dan Aguan, konglomerat kakap, yang baru me-"launcing" Menara Syariah di Pantai Indah Kapuk 2.
Lalu bagaimana Nasib DWP (Djakarta Warehouse Project)?
DWP ini bukanlah sebuah club malam, namun sebuah acara remaja, yang khususnya didatangi anak-anak SMA. Acara ini setiap tahunnya diselenggarakan di Kemayoran Jakarta, namun pernah diadakan di Bali.
Sebagai Gubernur Ibukota, Anies tidak bisa serta merta mengatur keinginan remaja untuk berpesta. Dalam negara Islam atau atau di daerah Sumbar dan Atjeh, acara seperti itu bukan hanya tidak boleh dilakukan, namun masyarakatnya juga mungkin tidak tertarik untuk datang.
Namun, dalam masyarakat Jakarta yang plural, acara hingar bingar anak-anak muda dari kelompok-kelompok yang sekuler, masih digandrungi. Selama kegiatan mereka masuk dalam legal formal aturan Pemerintah DKI, maka tentu saja hal itu tidak bisa dibatasi negara.
Moralitas Anies Baswedan tidak dapat dihubungkan langsung dengan acara tersebut. Khususnya sepanjang Anies menunjukkan acara-acara alternatif, yang dia bahkan melakukan dukungan langsung, seperti pengajian-pengajian dan hiburan alternatif. Anies misalnya, setiap tahun mendatangi acara Orkes Melayu di Ancol, yang diorganisasilan Gheiz Chalifah.
Sampai sejauh ini, kita melihat bahwa moralitas Gubernur DKI, yang khususnya diusung umat Islam, sebagaimana nasihat Kiai Sobri Lubis, FPI, sangat dekat dengan agama.
Tidak ada keraguan atas hal itu.
Penutup
Anies telah berhadapan dengan isu moralitas politik beberapa hari ini terkait izin kegiatan DWP dan penghargaan pada club Colosseum. Tekanan FPI dan beberapa ormas Islam lainnya serta media CNN Indonesia telah mengantarkan Anies pada pilihan moral yang sesuai dengan mayoritas pendukungnya, meski berpotensi tergaggu pada pencapaian pendapatan daerah dari dunia hiburan.
Namun, pendukung Anies juga harus mengerti bahwa sebagai Gubernur DKI, bukan seperti Sumbar dan Atjeh, Anies harus mempunyai toleransi pada masyarakat Jakarta yang majemuk. Sehingga, dalam kasus-kasus yang ada kita bisa mengapresiasi pilihan-pilihan sulit yang ditempuh Anies Baswedan itu.
Mudah-mudahan Anies tetap mampu terus berjalan di atas kepentingan ummat Islam dan masyarakat plural Jakarta.
(Penulis adalah Aktivis Sabang Merauke Circle)