Indonesia negara yang aman bagi semua orang. Pribumi maupun non pribumi, warga asli atau keturunan. Suku dan agama apapun, semua nyaman hidup berdampingan. Rumah ibadah berdiri bersebelahan satu dengan yang lain. Masjid satu komplek dengan gereja, pure, wihara dan klenteng. Itu hal biasa yang bisa ditemui dimana-mana. Setiap umat beragama bebas beribadah dan mengekspresikan keyakinannya. Itulah gambaran indah dan ragamnya Indonesia.
Tidak saja semua etnis dan agama yang hidup damai dan tenang di Indonesia, sebagian koruptorpun kabarnya juga merasa nyaman. Terutama jika korupsinya triliunan. Yang tidak aman itu kalau korupsinya nanggung dan nasibnya ketahuan. Apalagi setelah UU KPK No 30/2002 direvisi menjadi UU KPK No 19/2019. KPK mulai layu. Hanya tunggu waktu untuk menghadapi sakaratul maut. Nah, sejak revisi UU KPK itu berlaku, koruptor, terutama korporasi, akan semakin merasa nyaman.
Indonesia dikenal dengan keragamannya. Dalam keragaman itu semua warga negara hidup membaur dalam kerukunan. Saling menghargai satu dengan yang lain dalam semboyan bhinneka tunggal ika. Kebhinnekaan ini diabadikan dalam sebuah miniatur wisata bernama Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Di TMII kita temukan representasi kebudayaan dari semua etnis. Di TMII tempat ibadah dari semua agama berdampingan. “Enak zamanku to?” begitu tageline-nya para pendukung Pak Harto, Bapak Taman Mini Indonesia Indah.
Indonesia adalah tempat yang nyaman bagi semua pemeluk agama menjalankan dan merayakan agamanya. Soal ini, Indonesia sulit dicari tandingannya. Maulid, waisak sampai perayaan natal bisa diselenggarakan sebesar dan semeriah mungkin tanpa ada gangguan. Tidak hanya sampai disitu, pemerintah pun, baik dari tingkat pusat sampai tingkat daerah ikut memberi perhatian khusus, mulai dari jaminan keamanan hingga menyediakan fasilitas untuk tempat kegiatan.
Hari ini hari natal, bisa kita saksikan riang gembira saudara-saudara kita para penganut agama Kristen. Mereka menyelenggarakan acara natal di berbagai tempat dengan bebas, aman dan nyaman. Acara begitu meriah, meski mereka bukan penduduk mayoritas. Ini bukti riil betapa mayoritas dan minoritas tidak menjadi hambatan bagi semua warga negara untuk mendapatkan hak-haknya dalam beribadah dan mengekspresikan imannya. Hak untuk dihargai dan dihormati.
Di Jakarta, gubernur sebagai pemimpin daerah ibu kota menyediakan tidak kurang dari sebelas titik untuk Christmas Carol. Itu di luar tempat yang dimiliki dan disiapkan oleh kaum nasrani sendiri. Ini bukti riil bahwa Anies sebagai gubernur DKI adalah pemimpin untuk semua agama, etnis dan golongan. Bukan pemimpin begi kelompok tertentu. Dan semestinya memang begitu. Ini berlaku tidak hanya untuk Anies, tapi untuk seluruh pemimpin daerah, bahkan presiden. Berdiri di atas semua golongan, mengayomi dan memberi jaminan kenyamanan. Bukan begitu Pak Presiden?
Tidak hanya sampai disitu, sehari sebelum Natal, Anies juga meninjau sejumlah gereja di Jakarta yang akan digunakan untuk menyelenggarakan acara Natal. Termasuk di stand-stand bazaar/fastival. Ini untuk memastikan bahwa perayaan natal berjalan dengan aman, lancar dan nyaman. Itu bagian dari tanggung jawab seorang gubernur selaku kepala daerah. Harus peduli dan memperhatikan rakyatnya. Dan ini dilakukan Anies untuk semua umat beragama di DKI, tanpa pandang bulu dan tak ada diskriminasi.
Disela-sela kunjungannya di salah satu gereja Rawamangun, magrib tiba dan adzan memanggil. Anies pun bergegas ke masjid Al-Islah SMA 26 Rawamangun untuk shalat berjama’ah. Ini bukti bahwa Meski mengunjungi Gereja sebagai Umaro, Anies tetap menjaga Aqidahnya. Usai shalat magrib, Anies kembali melanjutkan kunjungannya ke gereja-gereja yang lain. Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa toleransi, tanggung jawab dan komitmen iman mesti bisa menyatu dalam pilihan sikap seorang pemimpin. Dari sinilah harmoni sikap seorang pemimpin yang akan sangat berpengaruh terhadap lahirnya harmoni sosial dalam masyarakat yang dipimpinnya.
Apalagi ini Jakarta, ibu kota Indonesia. Sebuah miniatur yang merepresentasikan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam berbagai aspeknya.
Tidak hanya ke gereja, Anies juga beberapa kali terlihat datang ke wihara pada kesempatan sebelumnya. Ke masjid? Kalau itu jangan ditanya. Sebagai seorang muslim masjid adalah tempat dimana umat Islam menjalankan ibadah, termasuk Anies. Hanya bedanya, kalau hadir di acara ritual dan seremonial umat Islam, Anies ikut terlibat dalam ritual ibadah dan doa. Sementara di luar itu, Anies hadir dan berkunjung dalam kapasitasnya sebagai pemimpin untuk semua umat beragama. No ritual, no ibadah. “lakum diinukum waliyadiin” begitulah prinsip toleransi yang dipegang teguh oleh Anies. Tanpa mengurangi kewajiban dan tanggungjawabnya sebagai pemimpin mereka.
Dengan menggunakan peci hitam Anies meninjau berbagai lokasi dimana perayaan natal itu diselenggarakan. Sebagai kepala daerah, Anies hanya ingin memastikan bahwa warga DKI yang beragama Nasrani dapat mengikuti perayaan Natal dengan aman dan nyaman. Karena ini bagian dari tanggung jawab seorang pemimpin. Ini sekaligus untuk menepis stigma intoleransi yang selama ini digembar-gemborkan oleh segelintir orang yang selalu ingin nyari panggung dengan narasi-narasi provokatif dan berupaya membenturkan antar warga negara. Atau malah nyari proyek keamanan? Entahlah…
Selama ini Jakarta selalu aman untuk setiap acara keagamaan. Sebab, umat beragama, terutama umat Islam sebagai warga mayoritas, mengerti bagaimana cara menjaga dan merawat toleransi. Dan situasi seperti ini terus terjaga sepanjang sejarah di Indonesia, khususnya di DKI.
Persoalan-persoalan kecil tak dapat dipungkiri memang sesekali pernah muncul dan distigmakan sebagai konflik agama. Padahal, itu lebih karena faktor dan ada tujuan lain yang berupaya menggunakan agama sebagai sarana konflik kepentingan. Baik itu kepentingan politik maupun ekonomi. Biasa, orang lagi nyari anggaran dan posisi. Atau sekedar untuk memburu proyek. Lagu lama!
Dengan natal nyaman dan ibu kota aman, maka umat Islam maupun gubernurnya juga merasa senang. Senang karena semua stigma, tuduhan dan ancaman intoleransi dapat ditepis dan disingkirkan. (*)
Jakarta, 25/12/2019
*Penulis: Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)