RIDHMEDIA - Waketum Gerindra Fadli Zon mengaku prihatin oleh ancaman pelaporan Rocky Gerung gara-gara bicara soal Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dianggap tak paham Pancasila. Menurutnya, kritik terhadap Presiden adalah hal biasa.
"Saya prihatin dengan ancaman kriminalisasi terhadap saudara Rocky Gerung hanya gara-gara kritik kepada Presiden yang disampaikannya di forum ILC kemarin. Ancaman itu menunjukkan rendahnya mutu peradaban politik kita. Kritik terhadap Presiden adalah sesuatu yang biasa dan harus diterima di tengah iklim demokrasi. Begitu juga dengan adu argumentasi, adalah sesuatu yang biasa dalam forum diskusi. Buruk sekali jika setiap perbedaan pendapat di forum diskusi harus dihakimi oleh polisi dan pengadilan," kata Fadli kepada wartawan, Sabtu (7/12/2019).
Fadli, yang mengaku sebagai 'juru bicara rakyat', menilai ucapan Rocky berisi kritik, bukannya penghinaan. Dia menilai ucapan soal 'Presiden tak paham Pancasila' yang diucapkan Rocky merupakan bentuk retorika.
"Ketika dia menyatakan 'Presiden tidak paham Pancasila', semua orang yang punya kemampuan literasi pastinya paham jika dia sedang beretorika. Retorika adalah bunga bahasa, seni berbicara. Oleh karenanya, sia-sia menghubungkan retorika dengan kamus bahasa, apalagi dengan kitab undang-undang pidana sebagaimana yang hendak dilakukan oleh beberapa orang berpikiran cekak," tutur Fadli.
Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR ini menilai retorika sangat dibutuhkan dalam ruang publik. Dia kemudian menyinggung soal anggapan presiden sebagai simbol negara sehingga kritik terhadap presiden kerap dianggap penghinaan.
"Menganggap Presiden sebagai 'simbol negara', sehingga mengkritiknya dianggap sebagai bentuk penghinaan, jelas anggapan salah kaprah. Konstitusi dan undang-undang kita tak pernah menyebut Presiden sebagai 'simbol negara'. Dalam BAB XV UUD 1945, terutama dalam Pasal 35 hingga 36B, jelas disebutkan yang dimaksud sebagai simbol negara adalah bendera, bahasa, lambang negara, serta lagu kebangsaan. Soal simbol negara ini diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan," tuturnya.
Dalam UU tersebut, kata Fadli, dinyatakan bendera, bahasa, lambang negara serta lagu kebangsaan merupakan saran pemersatu, identitas dan wujud eksistensi dan kehormatan bangsa. Oleh sebab itu, jika ada yang menyalahgunakan simbol negara maka delik yang berlaku adalah delik biasa, bukan aduan.
"Presiden bukanlah simbol negara. Bagaimana Presiden bisa dianggap simbol negara, jika tiap lima tahun sekali harus diganti?" ujar Fadli.
Fadli menganggap ucapan Rocky soal Pancasila tak pantas diadukan. Menurut Fadli, Rocky memang keliru karena mengatakan yang tak bisa diubah hanya bentuk negara, sementara Pancasila bisa diubah lewat amandemen.
Padahal, menurut Fadli, Pancasila terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang memang diatur tidak bisa diubah lewat amandemen. Meski demikian, dia menilai kekeliruan ucapan Rocky itu tak bisa dianggap menghina Pancasila.
"Tapi, apa karena kekeliruan itu Rocky telah menghina Pancasila? Saya kira hanya mereka yang pikirannya sempit, atau baru 'puber Pancasila' saja yang mengira demikian. Mereka ini biasanya merasa dirinya paling Pancasilais dibandingkan warga negara yang lain. Bagi saya, orang-orang yang baru 'puber Pancasila' ini jauh lebih pantas dikhawatirkan ketimbang Rocky Gerung. Pancasila adalah alat pemersatu, bukan alat pemecah-belah," tutur Fadli.
Fadli menganggap orang-orang yang 'puber Pancasila' ini kerap menggunakan Pancasila sebagai senjata untuk menyerang kelompok yang berbeda pandangan. Menurutnya, hal tersebut merupakan sesuatu yang buruk bagi Pancasila itu sendiri.
Dia berharap semua perbedaan yang terjadi bisa diselesaikan lewat dialog bukan dengan jalur pidana. Fadli mengingatkan Pancasila adalah alat pemersatu bukan untuk menyerang pihak lain.
"Tiap perbedaan mestinya didialogkan, bukan diancam untuk dipidanakan, dan Pancasila adalah perangkat untuk membangun dialog tadi. Keliru sekali jika perangkat dialog kemudian justru digunakan sebagai senjata untuk menyerang," ucap Fadli.
Sebelumnya, politikus PDIP Junimart Girsang mengaku sudah melaporkan ke pengurus DPP PDIP soal pernyataan Rocky Gerung yang menyebut Presiden Jokowi tak paham Pancasila. Junimart sedang menunggu hasil kajian dari DPP dan akan melaporkan Rocky Gerung.
"Saya sudah koordinasi-komunikasi dengan DPP dan DPP sedang mengkaji laporan yang saya sampaikan ke DPP. Segera saya laporkan (jika sudah ada hasil kajian). Saya sudah siapkan berkasnya, dan saya sudah bikin resume untuk itu," kata Junimart di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (4/12).
Menurut Junimart, sudah ada kelompok masyarakat yang berniat melaporkan Rocky Gerung. Junimart menyatakan kesediaannya menjadi saksi.
Pernyataan soal Jokowi yang tak paham Pancasila itu disampaikan Rocky dalam tayangan ILC di TV One. Rocky mulanya mengatakan bahwa Pancasila gagal sebagai ideologi.
Baca juga: Rocky Sebut Jokowi Tak Paham Pancasila, Istana: Publik Tahu yang Cari Panggung
Rocky kemudian mengatakan bahwa tidak ada orang yang Pancasilais di Indonesia, termasuk Presiden Jokowi. Dia menilai Jokowi hanya hafal Pancasila, namun tak memahaminya.
"Saya tidak Pancasilais, siapa yang berhak menghukum atau mengevaluasi saya? Harus orang yang Pancasilais, lalu siapa? Tidak ada tuh. Jadi sekali lagi, polisi Pancasila, presiden juga tak mengerti Pancasila. Dia hafal tapi dia nggak ngerti. Kalau dia paham dia nggak berutang, dia nggak naikin BPJS," ucap Rocky. [dtk]
"Saya prihatin dengan ancaman kriminalisasi terhadap saudara Rocky Gerung hanya gara-gara kritik kepada Presiden yang disampaikannya di forum ILC kemarin. Ancaman itu menunjukkan rendahnya mutu peradaban politik kita. Kritik terhadap Presiden adalah sesuatu yang biasa dan harus diterima di tengah iklim demokrasi. Begitu juga dengan adu argumentasi, adalah sesuatu yang biasa dalam forum diskusi. Buruk sekali jika setiap perbedaan pendapat di forum diskusi harus dihakimi oleh polisi dan pengadilan," kata Fadli kepada wartawan, Sabtu (7/12/2019).
Fadli, yang mengaku sebagai 'juru bicara rakyat', menilai ucapan Rocky berisi kritik, bukannya penghinaan. Dia menilai ucapan soal 'Presiden tak paham Pancasila' yang diucapkan Rocky merupakan bentuk retorika.
"Ketika dia menyatakan 'Presiden tidak paham Pancasila', semua orang yang punya kemampuan literasi pastinya paham jika dia sedang beretorika. Retorika adalah bunga bahasa, seni berbicara. Oleh karenanya, sia-sia menghubungkan retorika dengan kamus bahasa, apalagi dengan kitab undang-undang pidana sebagaimana yang hendak dilakukan oleh beberapa orang berpikiran cekak," tutur Fadli.
Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR ini menilai retorika sangat dibutuhkan dalam ruang publik. Dia kemudian menyinggung soal anggapan presiden sebagai simbol negara sehingga kritik terhadap presiden kerap dianggap penghinaan.
"Menganggap Presiden sebagai 'simbol negara', sehingga mengkritiknya dianggap sebagai bentuk penghinaan, jelas anggapan salah kaprah. Konstitusi dan undang-undang kita tak pernah menyebut Presiden sebagai 'simbol negara'. Dalam BAB XV UUD 1945, terutama dalam Pasal 35 hingga 36B, jelas disebutkan yang dimaksud sebagai simbol negara adalah bendera, bahasa, lambang negara, serta lagu kebangsaan. Soal simbol negara ini diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan," tuturnya.
Dalam UU tersebut, kata Fadli, dinyatakan bendera, bahasa, lambang negara serta lagu kebangsaan merupakan saran pemersatu, identitas dan wujud eksistensi dan kehormatan bangsa. Oleh sebab itu, jika ada yang menyalahgunakan simbol negara maka delik yang berlaku adalah delik biasa, bukan aduan.
"Presiden bukanlah simbol negara. Bagaimana Presiden bisa dianggap simbol negara, jika tiap lima tahun sekali harus diganti?" ujar Fadli.
Fadli menganggap ucapan Rocky soal Pancasila tak pantas diadukan. Menurut Fadli, Rocky memang keliru karena mengatakan yang tak bisa diubah hanya bentuk negara, sementara Pancasila bisa diubah lewat amandemen.
Padahal, menurut Fadli, Pancasila terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang memang diatur tidak bisa diubah lewat amandemen. Meski demikian, dia menilai kekeliruan ucapan Rocky itu tak bisa dianggap menghina Pancasila.
"Tapi, apa karena kekeliruan itu Rocky telah menghina Pancasila? Saya kira hanya mereka yang pikirannya sempit, atau baru 'puber Pancasila' saja yang mengira demikian. Mereka ini biasanya merasa dirinya paling Pancasilais dibandingkan warga negara yang lain. Bagi saya, orang-orang yang baru 'puber Pancasila' ini jauh lebih pantas dikhawatirkan ketimbang Rocky Gerung. Pancasila adalah alat pemersatu, bukan alat pemecah-belah," tutur Fadli.
Fadli menganggap orang-orang yang 'puber Pancasila' ini kerap menggunakan Pancasila sebagai senjata untuk menyerang kelompok yang berbeda pandangan. Menurutnya, hal tersebut merupakan sesuatu yang buruk bagi Pancasila itu sendiri.
Dia berharap semua perbedaan yang terjadi bisa diselesaikan lewat dialog bukan dengan jalur pidana. Fadli mengingatkan Pancasila adalah alat pemersatu bukan untuk menyerang pihak lain.
"Tiap perbedaan mestinya didialogkan, bukan diancam untuk dipidanakan, dan Pancasila adalah perangkat untuk membangun dialog tadi. Keliru sekali jika perangkat dialog kemudian justru digunakan sebagai senjata untuk menyerang," ucap Fadli.
Sebelumnya, politikus PDIP Junimart Girsang mengaku sudah melaporkan ke pengurus DPP PDIP soal pernyataan Rocky Gerung yang menyebut Presiden Jokowi tak paham Pancasila. Junimart sedang menunggu hasil kajian dari DPP dan akan melaporkan Rocky Gerung.
"Saya sudah koordinasi-komunikasi dengan DPP dan DPP sedang mengkaji laporan yang saya sampaikan ke DPP. Segera saya laporkan (jika sudah ada hasil kajian). Saya sudah siapkan berkasnya, dan saya sudah bikin resume untuk itu," kata Junimart di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (4/12).
Menurut Junimart, sudah ada kelompok masyarakat yang berniat melaporkan Rocky Gerung. Junimart menyatakan kesediaannya menjadi saksi.
Pernyataan soal Jokowi yang tak paham Pancasila itu disampaikan Rocky dalam tayangan ILC di TV One. Rocky mulanya mengatakan bahwa Pancasila gagal sebagai ideologi.
Baca juga: Rocky Sebut Jokowi Tak Paham Pancasila, Istana: Publik Tahu yang Cari Panggung
Rocky kemudian mengatakan bahwa tidak ada orang yang Pancasilais di Indonesia, termasuk Presiden Jokowi. Dia menilai Jokowi hanya hafal Pancasila, namun tak memahaminya.
"Saya tidak Pancasilais, siapa yang berhak menghukum atau mengevaluasi saya? Harus orang yang Pancasilais, lalu siapa? Tidak ada tuh. Jadi sekali lagi, polisi Pancasila, presiden juga tak mengerti Pancasila. Dia hafal tapi dia nggak ngerti. Kalau dia paham dia nggak berutang, dia nggak naikin BPJS," ucap Rocky. [dtk]