RIDHMEDIA - Keputusan Presiden Jokowi memberikan grasi kepada mantan Gubernur Riau Annas Maamun dengan alasan faktor kesehatan dinilai sebagian kalangan sangat klasik. Ini seperti membuka celah bagi para koruptor untuk segera mengajukan grasi dengan alasan yang sama.
“Ini celah. Celah lebar. Semua bisa mengajukan alasan yang sama. Faktor kesehatan. Mengindahkan fakta dan perilaku yang sudah dilakukan oleh koruptor. Bisa jadi, dari kasus Annas Maamun, semua yang ada di sel sekarang ramai-ramai ajukan grasi,” tandas Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Arief Poyuono kepada Fajar Indonesia Network (FIN).
Semua pihak, sambung dia, menghargai pertimbangan dan keputusan Presiden Jokowi. Apalagi grasi adalah hak Presiden untuk diberikan pada siapapun warga negara Indonesia yang terkena hukuman akibat melakukan tindak pidana. Di mana grasi merupakan upaya hukum istimewa, yang dapat dilakukan atas putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Menurut Pasal 1 (1) UU No 22/2002, grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Artinya terbitnya grasi untuk Annas Maamun yang diberikan oleh Presiden Jokowi itu sudah melalui proses pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung agar Annas Maamun diberikan pengampunan hukum.
“Jadi gak perlulah grasi yang diberikan pada pelaku tindak pidana korupsi dipermasalahkan apalagi sampai dipolitisasi. Seakan-akan Presiden Joko Widodo tidak pro pemberantasan korupsi. Namun perlu diselidiki apakah pemberian grasi kepada Annas Maamun akibat adanya operasi senyap atau pemberian gratifikasi kepada orang lingkaran Istana. Sebab kasus Annas Maamun ini bersentuhan dengan pemilik perusahaan kebun sawit kakap di Riau yang dekat dengan seorang menteri,” ungkapnya.
Sementara, Menkopolhukam Mahfud MD akhirnya angkat bicara terkait grasi yang diberikan kepada Annas Maamun. “Dia kan sudah pakai oksigen tiap hari, kemudian sakit-sakitan, dan banyak lagi penyakitnya,” kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, kemarin (29/11).
Mahfud mengakui ikut menyampaikan masukan soal grasi itu dan dari Mahkamah Agung juga memberikan pertimbangan yang sama. Nah, menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu, hukum internasional berlaku bahwa bagi terpidana yang sudah berusia lanjut boleh tidak menjalani penahanan.
“Diberi grasi itu tidak menghilangkan tindak pidananya. Dia tetap tindak pidananya, hanya saja diampuni dengan pengurangan hukuman. Selain itu dia, (Annas Maamun, red) yang sudah renta juga menjadi pertimbangan dalam pemberian grasi,” terangnya.
Sementara itu, KPK menyatakan terdapat satu perkara tindak pidana korupsi yang penyidikannya masih berjalan dengan tersangka mantan Annas Maamun. “Setelah kami tanya, kami cek ke tim yang menangani memang masih ada satu penyidikan yang berjalan untuk yang bersangkutan,” ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Satu perkara yang dimaksud yakni terkait perkara dugaan suap terhadap anggota DPRD Riau, Ahmad Kirjauhari, terkait pembahasan rancangan APBD Perubahan 2014 dan Rancangan APBD murni 2015 Provinsi Riau. Dalam dakwaan Kirjauhari, Maamun diduga memberikan uang Rp1 miliar terkait pembahasan RAPBD tersebut. Uang itu diterima Kirjauhari kemudian dibagikan kepada sejumlah anggota DPRD Riau saat itu.
Dalam perkara tersebut Annas dijerat dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b atau pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, yang mengatur tentang pemberian suap.
Febri mengatakan proses penyidikan perkara tersebut sudah hampir rampung dan segera akan diajukan ke tahap persidangan. “Penyidikannya sudah hampir selesai karena pelimpahan tahap pertama dari penyidik ke penuntut umum sudah dilakukan, jadi tinggal dipenuhi beberapa saran dari penuntut umum, dan semoga dalam waktu tidak terlalu lama pelimpahan tahap kedua bisa dilakukan,” katanya.
Sebelumnya diberitakan Annas Maamun memperoleh grasi dari Presiden Joko Widodo. Kementerian Hukum dan HAM membenarkan Maamun mendapat grasi dari presiden berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 23/G/2019 tentang pemberian grasi yang ditetapkan pada 25 Oktober 2019.
Grasi yang diberikan Presiden berupa pengurangan jumlah pidana dari pidana penjara tujuh tahun menjadi enam tahun. Namun, pidana denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan tetap harus dibayar.
Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Abdul Karim mengatakan Annas dijadwalkan bebas pada 2020. “Yang bersangkutan seharusnya keluar 3 Oktober 2021. Karena mendapat grasi dikurangi satu tahun jadi (bebas) 3 Oktober 2020,” kata Karim.
Ia menyebut, Maamun telah mengajukan permohonan grasi sejak 16 April 2019. Sedangkan pengelola LP Sukamiskin, kata dia, hanya membuat surat pengantarnya kepada Presiden. Maamun mengajukan grasi karena alasan kemanusiaan dan kesehatan karena menderita sejumlah penyakit di usia tuanya. Berdasarkan keterangan dokter, Maamun mengidap PPOK (COPD akut), sindrom dispepsia (depresi), gastritis (lambung), hernia dan sesak napas dengan membutuhkan pemakaian oksigen setiap hari. [rcc]
“Ini celah. Celah lebar. Semua bisa mengajukan alasan yang sama. Faktor kesehatan. Mengindahkan fakta dan perilaku yang sudah dilakukan oleh koruptor. Bisa jadi, dari kasus Annas Maamun, semua yang ada di sel sekarang ramai-ramai ajukan grasi,” tandas Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Arief Poyuono kepada Fajar Indonesia Network (FIN).
Semua pihak, sambung dia, menghargai pertimbangan dan keputusan Presiden Jokowi. Apalagi grasi adalah hak Presiden untuk diberikan pada siapapun warga negara Indonesia yang terkena hukuman akibat melakukan tindak pidana. Di mana grasi merupakan upaya hukum istimewa, yang dapat dilakukan atas putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Menurut Pasal 1 (1) UU No 22/2002, grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Artinya terbitnya grasi untuk Annas Maamun yang diberikan oleh Presiden Jokowi itu sudah melalui proses pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung agar Annas Maamun diberikan pengampunan hukum.
“Jadi gak perlulah grasi yang diberikan pada pelaku tindak pidana korupsi dipermasalahkan apalagi sampai dipolitisasi. Seakan-akan Presiden Joko Widodo tidak pro pemberantasan korupsi. Namun perlu diselidiki apakah pemberian grasi kepada Annas Maamun akibat adanya operasi senyap atau pemberian gratifikasi kepada orang lingkaran Istana. Sebab kasus Annas Maamun ini bersentuhan dengan pemilik perusahaan kebun sawit kakap di Riau yang dekat dengan seorang menteri,” ungkapnya.
Sementara, Menkopolhukam Mahfud MD akhirnya angkat bicara terkait grasi yang diberikan kepada Annas Maamun. “Dia kan sudah pakai oksigen tiap hari, kemudian sakit-sakitan, dan banyak lagi penyakitnya,” kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, kemarin (29/11).
Mahfud mengakui ikut menyampaikan masukan soal grasi itu dan dari Mahkamah Agung juga memberikan pertimbangan yang sama. Nah, menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu, hukum internasional berlaku bahwa bagi terpidana yang sudah berusia lanjut boleh tidak menjalani penahanan.
“Diberi grasi itu tidak menghilangkan tindak pidananya. Dia tetap tindak pidananya, hanya saja diampuni dengan pengurangan hukuman. Selain itu dia, (Annas Maamun, red) yang sudah renta juga menjadi pertimbangan dalam pemberian grasi,” terangnya.
Sementara itu, KPK menyatakan terdapat satu perkara tindak pidana korupsi yang penyidikannya masih berjalan dengan tersangka mantan Annas Maamun. “Setelah kami tanya, kami cek ke tim yang menangani memang masih ada satu penyidikan yang berjalan untuk yang bersangkutan,” ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Satu perkara yang dimaksud yakni terkait perkara dugaan suap terhadap anggota DPRD Riau, Ahmad Kirjauhari, terkait pembahasan rancangan APBD Perubahan 2014 dan Rancangan APBD murni 2015 Provinsi Riau. Dalam dakwaan Kirjauhari, Maamun diduga memberikan uang Rp1 miliar terkait pembahasan RAPBD tersebut. Uang itu diterima Kirjauhari kemudian dibagikan kepada sejumlah anggota DPRD Riau saat itu.
Dalam perkara tersebut Annas dijerat dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b atau pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, yang mengatur tentang pemberian suap.
Febri mengatakan proses penyidikan perkara tersebut sudah hampir rampung dan segera akan diajukan ke tahap persidangan. “Penyidikannya sudah hampir selesai karena pelimpahan tahap pertama dari penyidik ke penuntut umum sudah dilakukan, jadi tinggal dipenuhi beberapa saran dari penuntut umum, dan semoga dalam waktu tidak terlalu lama pelimpahan tahap kedua bisa dilakukan,” katanya.
Sebelumnya diberitakan Annas Maamun memperoleh grasi dari Presiden Joko Widodo. Kementerian Hukum dan HAM membenarkan Maamun mendapat grasi dari presiden berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 23/G/2019 tentang pemberian grasi yang ditetapkan pada 25 Oktober 2019.
Grasi yang diberikan Presiden berupa pengurangan jumlah pidana dari pidana penjara tujuh tahun menjadi enam tahun. Namun, pidana denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan tetap harus dibayar.
Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Abdul Karim mengatakan Annas dijadwalkan bebas pada 2020. “Yang bersangkutan seharusnya keluar 3 Oktober 2021. Karena mendapat grasi dikurangi satu tahun jadi (bebas) 3 Oktober 2020,” kata Karim.
Ia menyebut, Maamun telah mengajukan permohonan grasi sejak 16 April 2019. Sedangkan pengelola LP Sukamiskin, kata dia, hanya membuat surat pengantarnya kepada Presiden. Maamun mengajukan grasi karena alasan kemanusiaan dan kesehatan karena menderita sejumlah penyakit di usia tuanya. Berdasarkan keterangan dokter, Maamun mengidap PPOK (COPD akut), sindrom dispepsia (depresi), gastritis (lambung), hernia dan sesak napas dengan membutuhkan pemakaian oksigen setiap hari. [rcc]