RIDHMEDIA - Revisi UU KPK 30/2002 menjadi UU 19/2019 bertujuan untuk menguatkan lembaga antirasuah bukan justru sebaliknya.
Demikian disampaikan pakar hukum tata negara Muhammad Rullyandi dalam diskusi Polemik bertajuk "Babak Baru KPK" di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta, Sabtu (21/12).
"Yang tadinya UU KPK 30/2002 banyak sekali kelemahannya, karena dibentuk dalam suasana percepatan, melaksanakan TAP MPR Nomor 98 dan kita sadar pada saat itu KPK kurang diberikan pengawasan," kata Rully.
Rully menambahkan, dalam UU KPK yang baru No 19/2019 ada kalimat yang menyatakan bahwa dalam perkembanganya kinerja KPK dirasa kurang efektif lemah koordinasi antara penegak hukum, dan terjadi pelanggaran kode etik baik yang dilakukan oleh pimpinan maupun staf KPK dan salah satunya terkait penyadapan.
"Jadi kita harus menghargai proses perbaikan (dari UU KPK lama) dan pembentukan UU KPK yang baru ini," jelas dia.
Dalam diskusi ini, selain Muhammad Rullyandi juga menghadirkan pembicara lain seperti, politisi PKS Indra, politisi Gerindra Hedarsam Marantoko, pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar, dan mantan Komisioner Komisi Kejaksaan Kaspudin Nor. [rml]
Demikian disampaikan pakar hukum tata negara Muhammad Rullyandi dalam diskusi Polemik bertajuk "Babak Baru KPK" di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta, Sabtu (21/12).
"Yang tadinya UU KPK 30/2002 banyak sekali kelemahannya, karena dibentuk dalam suasana percepatan, melaksanakan TAP MPR Nomor 98 dan kita sadar pada saat itu KPK kurang diberikan pengawasan," kata Rully.
Rully menambahkan, dalam UU KPK yang baru No 19/2019 ada kalimat yang menyatakan bahwa dalam perkembanganya kinerja KPK dirasa kurang efektif lemah koordinasi antara penegak hukum, dan terjadi pelanggaran kode etik baik yang dilakukan oleh pimpinan maupun staf KPK dan salah satunya terkait penyadapan.
"Jadi kita harus menghargai proses perbaikan (dari UU KPK lama) dan pembentukan UU KPK yang baru ini," jelas dia.
Dalam diskusi ini, selain Muhammad Rullyandi juga menghadirkan pembicara lain seperti, politisi PKS Indra, politisi Gerindra Hedarsam Marantoko, pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar, dan mantan Komisioner Komisi Kejaksaan Kaspudin Nor. [rml]