RIDHMEDIA - Menjelang 1 Desember 2019, bendera Bintang Kejora sengaja dikibarkan di Balai Kota Leichhardt, Sydney, Australia, Jumat (29/11/2019). Menurut Australia West Papua Association (AWPA), pengibaran bendera itu juga dimaksudkan untuk menunjukkan kepedulian terkait kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua dan Papua Barat.
Menurut pengamat intelijen Suhendra Hadikuntono, apa yang dilakukan Australia sangatlah tidak etis. "Australia telah menunjukkan perilaku yang tidak etis. Apa yang mereka lakukan sangat melukai rasa kebangsaan kita sebagai rakyat Indonesia. Itu bisa mengganggu hubungan bilateral kedua negara," kata Suhendra, Senin (2/12/2019).
Menurut Suhendra, apa yang dilakukan Australia secara tidak langsung telah memprovokasi suhu politik dan keamanan di Papua yang mulai kondusif. Hal itu tak bisa dibiarkan begitu saja.
"Secara resmi pemerintah Indonesia harus melakukan protes keras kepada pemerintah Australia. Saya mendorong Menteri Luar Negeri Retno Marsudi segera memanggil Duta Besar Australia di Indonesia untuk minta penjelasan atas terjadinya insiden tersebut, sekaligus menyampaikan sikap tegas dan keberatan pemerintah Indonesia atas kejadian yang tidak elok ini," cetusnya.
Pada 2014, Suhendra mengingatkan, Australia sudah menandatangani Lombok Treaty yang menyatakan RI-Australia menjaga keamanan dan pengakuan kedaulatan, tidak membiarkan negara masing-masing menjadi wadah aktivitas politik dan separatisme.
Menurut Suhendra, sikap tak etis Australia itu tak terlepas dari partai yang sedang berkuasa di Australia, yaitu Partai Liberal pimpinan Perdana Menteri Scott Morrison.
Sebagai seorang liberal, Morrison dinilai Suhendra mengadopsi nilai-nilai partainya, layaknya pendahulunya, mantan Perdana Menteri John Howard.
Pada 2006, lanjut Suhendra, Howard memicu ketegangan dengan Indonesia karena memberikan suaka politik bagi 42 warga Papua. "Bisa jadi Howard dan Scott berkonspirasi soal Papua ini," tukas Suhendra mengingatkan.
"Howard itu 'kan juga dari Partai Liberal. Artinya, merebut Papua dari Indonesia sudah masuk agenda Partai Liberal. Intinya, pemerintah Australia harus segera minta maaf kepada Indonesia," pinta Suhendra.
Suhendra menjelaskan, Papua dan Papua Barat baik secara de facto maupun de jure, termasuk hukum international, merupakan bagian integeral dari wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tidak bisa diganggu gugat.
Menurut Suhendra, tindakan pemerintah daerah Leichhardt, Australia tersebut bisa dianggap sebagai campur tangan urusan dalam negeri Indonesia yang sangat tidak etis dan menyinggung kehormatan rakyat Indonesia.
Di sisi lain, Suhendra yang merupakan pengamat intelijen senior juga memberi masukan kepada pemerintah Indonesia. "Hasil pembicaraan saya dengan beberapa tokoh sentral Organisasi Papua Merdeka (OPM), saya menduga keras Presiden Joko Widodo tidak mendapat informasi akurat tentang kondisi riil di Papua, sehingga beliau tidak mempunyai pemahaman yang utuh tentang masalah yang sebenarnya terjadi di Papua. Saya ibaratkan selama ini Presiden Jokowi hanya mengejar asap di Papua tapi tidak mendekati sumber apinya," terang Suhendra.
Sehingga, lanjutnya, usaha keras Presiden Jokowi selama ini untuk Papua tidak menyentuh masalah mendasar yang sebenarnya terjadi di Papua.
"Apabila Presiden bertanya, tentu saya berkewajiban memberikan gambaran utuh tentang permasalahan yang terjadi di Papua. Saya juga akan memberikan saran solusi yang terbaik kepada Presiden agar permasalahan di Papua bisa diselesaikan dengan baik, tanpa ada korban jiwa lagi," paparnya.
"Kalau negara memerlukan, saya siap diutus Presiden untuk menyelesaikan masalah Papua. Saya yakin dalam waktu singkat bisa menyelesaikan tugas yang diberikan Presiden kepada saya," lanjut Suhendra optimistis.
Kalau masalah Papua ini sudah selesai dengan cepat dan damai secara mendasar, Suhendra menjamin tidak akan ada lagi insiden seperti pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua, maupun di Australia seperti yang terjadi tiga hari lalu. [bs]
Menurut pengamat intelijen Suhendra Hadikuntono, apa yang dilakukan Australia sangatlah tidak etis. "Australia telah menunjukkan perilaku yang tidak etis. Apa yang mereka lakukan sangat melukai rasa kebangsaan kita sebagai rakyat Indonesia. Itu bisa mengganggu hubungan bilateral kedua negara," kata Suhendra, Senin (2/12/2019).
Menurut Suhendra, apa yang dilakukan Australia secara tidak langsung telah memprovokasi suhu politik dan keamanan di Papua yang mulai kondusif. Hal itu tak bisa dibiarkan begitu saja.
"Secara resmi pemerintah Indonesia harus melakukan protes keras kepada pemerintah Australia. Saya mendorong Menteri Luar Negeri Retno Marsudi segera memanggil Duta Besar Australia di Indonesia untuk minta penjelasan atas terjadinya insiden tersebut, sekaligus menyampaikan sikap tegas dan keberatan pemerintah Indonesia atas kejadian yang tidak elok ini," cetusnya.
Pada 2014, Suhendra mengingatkan, Australia sudah menandatangani Lombok Treaty yang menyatakan RI-Australia menjaga keamanan dan pengakuan kedaulatan, tidak membiarkan negara masing-masing menjadi wadah aktivitas politik dan separatisme.
Menurut Suhendra, sikap tak etis Australia itu tak terlepas dari partai yang sedang berkuasa di Australia, yaitu Partai Liberal pimpinan Perdana Menteri Scott Morrison.
Sebagai seorang liberal, Morrison dinilai Suhendra mengadopsi nilai-nilai partainya, layaknya pendahulunya, mantan Perdana Menteri John Howard.
Pada 2006, lanjut Suhendra, Howard memicu ketegangan dengan Indonesia karena memberikan suaka politik bagi 42 warga Papua. "Bisa jadi Howard dan Scott berkonspirasi soal Papua ini," tukas Suhendra mengingatkan.
"Howard itu 'kan juga dari Partai Liberal. Artinya, merebut Papua dari Indonesia sudah masuk agenda Partai Liberal. Intinya, pemerintah Australia harus segera minta maaf kepada Indonesia," pinta Suhendra.
Suhendra menjelaskan, Papua dan Papua Barat baik secara de facto maupun de jure, termasuk hukum international, merupakan bagian integeral dari wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tidak bisa diganggu gugat.
Menurut Suhendra, tindakan pemerintah daerah Leichhardt, Australia tersebut bisa dianggap sebagai campur tangan urusan dalam negeri Indonesia yang sangat tidak etis dan menyinggung kehormatan rakyat Indonesia.
Di sisi lain, Suhendra yang merupakan pengamat intelijen senior juga memberi masukan kepada pemerintah Indonesia. "Hasil pembicaraan saya dengan beberapa tokoh sentral Organisasi Papua Merdeka (OPM), saya menduga keras Presiden Joko Widodo tidak mendapat informasi akurat tentang kondisi riil di Papua, sehingga beliau tidak mempunyai pemahaman yang utuh tentang masalah yang sebenarnya terjadi di Papua. Saya ibaratkan selama ini Presiden Jokowi hanya mengejar asap di Papua tapi tidak mendekati sumber apinya," terang Suhendra.
Sehingga, lanjutnya, usaha keras Presiden Jokowi selama ini untuk Papua tidak menyentuh masalah mendasar yang sebenarnya terjadi di Papua.
"Apabila Presiden bertanya, tentu saya berkewajiban memberikan gambaran utuh tentang permasalahan yang terjadi di Papua. Saya juga akan memberikan saran solusi yang terbaik kepada Presiden agar permasalahan di Papua bisa diselesaikan dengan baik, tanpa ada korban jiwa lagi," paparnya.
"Kalau negara memerlukan, saya siap diutus Presiden untuk menyelesaikan masalah Papua. Saya yakin dalam waktu singkat bisa menyelesaikan tugas yang diberikan Presiden kepada saya," lanjut Suhendra optimistis.
Kalau masalah Papua ini sudah selesai dengan cepat dan damai secara mendasar, Suhendra menjamin tidak akan ada lagi insiden seperti pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua, maupun di Australia seperti yang terjadi tiga hari lalu. [bs]