Ridhmedia - Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango buka-bukaan soal kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya. Nawawi menyebut kasus itu sebenarnya sudah dilaporkan ke KPK pada April 2019 namun tidak ditangani dengan maksimal.
"Yang saya ingin saya ingin katakan ketika kasus Jiwasraya anget, kami juga baru masuk menjadi bagian dari KPK mencoba mencari tahu. Dalam waktu yang singkat saya sudah masuk kerja di KPK, apakah memang kasus ini nggak pernah datang ke KPK? Apakah betul tidak pernah ada sehingga KPK tidak menghandle ini? Ternyata tidak demikian dari data yang saya peroleh sebenarnya kasus Jiwasraya ini pernah masuk dilaporkan atau paling tidak diterima adanya kasus itu di pada bulan April 2019. Kemudian seorang Firli (Firli Bahuri) yang waktu itu masih jadi bagian di situ barang kali juga tahu soal ini, bahwa laporan Jiwasraya itu pernah masuk di KPK," kata Nawawi Pomolango kepada detikcom, Jumat (29/12/2019).
Pada April 2019 itu, KPK masih dipimpin oleh komisioner KPK periode 2015-2019 yakni Agus Rahardjo, Laode M Syarif, Saut Situmorang, Basaria Pandjaitan dan Alexander Marwata. Baru pada Jumat, 20 Desember 2019 Agus Rahardjo cs diganti oleh pimpinan KPK periode 2019-2023 yakni Firli Bahuri, Nurul Ghufron, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango dan Alexander Marwata yang melanjutkan di periode selanjutnya.
Kembali ke keterangan Nawawi, Ia menyebut saat itu BPK juga sudah menyerahkan sejumlah data-data terkait kasus PT Asuransi Jiwasraya tersebut. Namun, Ia menduga tidak ada keseriusan dari pimpinan KPK sebelumnya untuk menangani laporan soal Jiwasraya itu.
"Bahkan kita sudah, saya mendapatkan data bahwa teman-teman di BPK sudah menyerahkan data-data ke KPK berhubungan Jiwasraya tetapi tidak disikapi atau bukan tidak, mungkin disikapi tapi terlalu lambat atau ogah-ogahan. Nah di situ persoalan kita sering katakan jangan cuman OTT ini menunjukan fakta kalau membangun kasus dari bahwa yang bukan OTT itu menjadi kesulitan. Ketika memperoleh perkara semacam ini ada kecenderungan mereka ogah-ogahan karena kasus seperti ini case building artinya kita membangun kasus ini dari bawah," kata Nawawi.
Nawawi kemudian membandingkan operasi tangkap tangan (OTT) dengan metode case building. Bagi Nawawi, OTT itu disebutnya sebagai kerja manja karena terlalu mudah dibanding dengan metode case building.
"OTT kan paling gampang ada orang ketangkap dan bukti-buktinya kita langsung dapat. Kalau bangun kasus seperti ini kan repot. Ini lah yang kita bilang mungkin teman-teman kita biasa kerja OTT itukan kerja manja, cukup nyadap-nyadap dapat bukti proses tapi kerja membangun kasus itu perkerjaan paling ini," sebutnya.
Menurutnya, pimpinan KPK sebelumnya cenderung menghandalkan operasi tangkap tangan (OTT) saja sehingga mengabaikan jika ada perkara yang harus mengunakan metode case building. Karena itu, ia menyebut banyak perkara di KPK yang tidak tertangani dengan maksimal, khususnya penyelidikan dengan metode case building sehingga laporan itu diusut oleh penegak hukum yang lain.
"Nah karena tidak diapa-apain laporan ini dari BKPK sudah ada, dari BPK sudah ada, tidak disikap. Kemudian dibawa orang ke kepolisian, bawa orang ke Kejaksaan Agung, ketika teman-teman di Kejaksaan Agung mulai bekerja terus kita pimpinan KPK yang baru tiba-tiba mau datang lagi disesuatu yang pernah kita abaikan coba. Sekali lagi ini bukan soal pimpinan KPK jilid V sekarang yang nggak punya taring, ini persoalan di internal, kenapa kasus-kasus dibangun seperti itu agak repot di KPK. Anda punya data nggak? Berapa banyak kasus yang ditangani KPK yang berangkat dari dari OTT yang dari case building ada nggak data? Sepertinya case bulding itu sangat sedikit karena membangun kasus dari bawah itu," tuturnya.
Untuk itu, Nawawi mengatakan KPK di bawah kepemimpinannya saat ini akan semakin memperkuat metode case building tersebut. Ia berharap tidak ada lagi laporan terkait dugaan korupsi yang masuk ke KPK yang tidak tertangani dengan maksimal.
"Nah sekarang pekerjaan kami adalah kalau ada yang seperti itu tidak boleh ada lagi ogah-ogahan, lakukan gitu. Jangan sekarang orang sudah tangani kita disuruh ambil alih. Saya ingin katakan perkara ini pernah dilaporkan ke KPK dan sebelumnya seperti abai dan ogah-ogahan menangani kemudian dilaporkan ke polisi dan Kejagung. Masak pimpinan yang baru suruh ambil lagi sesuatu yang dibiarkan. Itu sudah dilaporkan April dan bahkan Mei itu ada data-data yang sudah dikirimkan BPK tetapi penanganannya tidak nampak dan tidak lanjut," tuturnya.
Sebelumnya diberitakan, Kejagung memastikan adanya praktik korupsi di perusahaan BUMN PT Jiwasraya. Dalam penyidikan awal, kejaksaan sudah menaksir angka kerugian negara di kasus korupsi ini, yaitu sekitar Rp 13,7 triliun.
Jaksa Agung ST Burhanuddin juga menilai PT Jiwasraya telah melanggar prinsip kehati-hatian dalam hal berinvestasi. Menurut Burhanuddin, PT Jiwasraya malah menempatkan 95 persen dana di saham yang berkinerja buruk. [dtk]
"Yang saya ingin saya ingin katakan ketika kasus Jiwasraya anget, kami juga baru masuk menjadi bagian dari KPK mencoba mencari tahu. Dalam waktu yang singkat saya sudah masuk kerja di KPK, apakah memang kasus ini nggak pernah datang ke KPK? Apakah betul tidak pernah ada sehingga KPK tidak menghandle ini? Ternyata tidak demikian dari data yang saya peroleh sebenarnya kasus Jiwasraya ini pernah masuk dilaporkan atau paling tidak diterima adanya kasus itu di pada bulan April 2019. Kemudian seorang Firli (Firli Bahuri) yang waktu itu masih jadi bagian di situ barang kali juga tahu soal ini, bahwa laporan Jiwasraya itu pernah masuk di KPK," kata Nawawi Pomolango kepada detikcom, Jumat (29/12/2019).
Pada April 2019 itu, KPK masih dipimpin oleh komisioner KPK periode 2015-2019 yakni Agus Rahardjo, Laode M Syarif, Saut Situmorang, Basaria Pandjaitan dan Alexander Marwata. Baru pada Jumat, 20 Desember 2019 Agus Rahardjo cs diganti oleh pimpinan KPK periode 2019-2023 yakni Firli Bahuri, Nurul Ghufron, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango dan Alexander Marwata yang melanjutkan di periode selanjutnya.
Kembali ke keterangan Nawawi, Ia menyebut saat itu BPK juga sudah menyerahkan sejumlah data-data terkait kasus PT Asuransi Jiwasraya tersebut. Namun, Ia menduga tidak ada keseriusan dari pimpinan KPK sebelumnya untuk menangani laporan soal Jiwasraya itu.
"Bahkan kita sudah, saya mendapatkan data bahwa teman-teman di BPK sudah menyerahkan data-data ke KPK berhubungan Jiwasraya tetapi tidak disikapi atau bukan tidak, mungkin disikapi tapi terlalu lambat atau ogah-ogahan. Nah di situ persoalan kita sering katakan jangan cuman OTT ini menunjukan fakta kalau membangun kasus dari bahwa yang bukan OTT itu menjadi kesulitan. Ketika memperoleh perkara semacam ini ada kecenderungan mereka ogah-ogahan karena kasus seperti ini case building artinya kita membangun kasus ini dari bawah," kata Nawawi.
Nawawi kemudian membandingkan operasi tangkap tangan (OTT) dengan metode case building. Bagi Nawawi, OTT itu disebutnya sebagai kerja manja karena terlalu mudah dibanding dengan metode case building.
"OTT kan paling gampang ada orang ketangkap dan bukti-buktinya kita langsung dapat. Kalau bangun kasus seperti ini kan repot. Ini lah yang kita bilang mungkin teman-teman kita biasa kerja OTT itukan kerja manja, cukup nyadap-nyadap dapat bukti proses tapi kerja membangun kasus itu perkerjaan paling ini," sebutnya.
Menurutnya, pimpinan KPK sebelumnya cenderung menghandalkan operasi tangkap tangan (OTT) saja sehingga mengabaikan jika ada perkara yang harus mengunakan metode case building. Karena itu, ia menyebut banyak perkara di KPK yang tidak tertangani dengan maksimal, khususnya penyelidikan dengan metode case building sehingga laporan itu diusut oleh penegak hukum yang lain.
"Nah karena tidak diapa-apain laporan ini dari BKPK sudah ada, dari BPK sudah ada, tidak disikap. Kemudian dibawa orang ke kepolisian, bawa orang ke Kejaksaan Agung, ketika teman-teman di Kejaksaan Agung mulai bekerja terus kita pimpinan KPK yang baru tiba-tiba mau datang lagi disesuatu yang pernah kita abaikan coba. Sekali lagi ini bukan soal pimpinan KPK jilid V sekarang yang nggak punya taring, ini persoalan di internal, kenapa kasus-kasus dibangun seperti itu agak repot di KPK. Anda punya data nggak? Berapa banyak kasus yang ditangani KPK yang berangkat dari dari OTT yang dari case building ada nggak data? Sepertinya case bulding itu sangat sedikit karena membangun kasus dari bawah itu," tuturnya.
Untuk itu, Nawawi mengatakan KPK di bawah kepemimpinannya saat ini akan semakin memperkuat metode case building tersebut. Ia berharap tidak ada lagi laporan terkait dugaan korupsi yang masuk ke KPK yang tidak tertangani dengan maksimal.
"Nah sekarang pekerjaan kami adalah kalau ada yang seperti itu tidak boleh ada lagi ogah-ogahan, lakukan gitu. Jangan sekarang orang sudah tangani kita disuruh ambil alih. Saya ingin katakan perkara ini pernah dilaporkan ke KPK dan sebelumnya seperti abai dan ogah-ogahan menangani kemudian dilaporkan ke polisi dan Kejagung. Masak pimpinan yang baru suruh ambil lagi sesuatu yang dibiarkan. Itu sudah dilaporkan April dan bahkan Mei itu ada data-data yang sudah dikirimkan BPK tetapi penanganannya tidak nampak dan tidak lanjut," tuturnya.
Sebelumnya diberitakan, Kejagung memastikan adanya praktik korupsi di perusahaan BUMN PT Jiwasraya. Dalam penyidikan awal, kejaksaan sudah menaksir angka kerugian negara di kasus korupsi ini, yaitu sekitar Rp 13,7 triliun.
Jaksa Agung ST Burhanuddin juga menilai PT Jiwasraya telah melanggar prinsip kehati-hatian dalam hal berinvestasi. Menurut Burhanuddin, PT Jiwasraya malah menempatkan 95 persen dana di saham yang berkinerja buruk. [dtk]