Oleh: Rini Ummu Ihya
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah resmi mengumumkan pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur (Kaltim). Lokasi yang dibidik adalah sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara.
Anggaran untuk pemindahan ibu kota baru kurang lebih sekitar Rp 466 triliun. Anggaran ini akan terbagi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 19,2% atau Rp 89,472 triliun, swasta sebesar 26,2% atau Rp 122,092 triliun dan Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) sebesar 54,6% atau sebesar Rp 254,436 triliun (cnbcindonesia.com).
Dikabarkan ada empat alasan yang mendasari pemindahan ibu kota tersebut antara lain penduduk Jawa terlalu padat, meningkatkan kontribusi ekonomi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), krisis ketersediaan air dan konversi lahan di Jawa mendominasi.
Pengumuman keputusan pemindahan ibu kota terkesan terburu-buru dan menimbulkan polemik. Sebab pemerintah tidak pernah mendiskusikan hasil kajian pemindahan ibu kota bersama DPR. Selain pembahasan mendetail, pemindahan ibu kota ini juga belum memiliki payung hukum.
Seperti diutarakan Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera, bahwa pemerintah setidaknya harus mengajukan enam undang-undang. Jika tidak, maka pemerintah melanggar aturan (cnnindonesia.com).
Keputusan pemerintah terkait pemindahan ibu kota masih banyak mengundang tanya. Apalagi di tengah keadaan Indonesia yang banyak utang. Sehingga jika Indonesia kembali berutang atau dibantu oleh pihak swasta atau luar dengan investasi apakah akan jadi peluang atau ancaman? Khususnya bagi kedaulatan Indonesia.
Ancaman atau Peluang
Pemindahan ibu kota negara bukan suatu yang mudah, perlu perencanaan matang dan dukungan ekonomi yang kuat. Saat ini ekonomi Indonesia sedang terpuruk. Dikutip dari (worldbank.org) pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat menjadi 5,0% pada kuartal ketiga 2019, dari 5,1% pada kuartal kedua.
Agenda pemindahan ibu kota baru bisa memperburuk Indonesia. Upaya pemerintah untuk mendapatkan dana melalui investasi jelas keliru. Pemindahan ibu kota baru yang didanai sebagian besar swasta akan menambah beban utang.
Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia kuartal I 2019 tercatat US$ 387,6 miliar atau setara dengan Rp 5.542,6 triliun (kurs Rp 14.300). Dengan komposisi ULN pemerintah tercatat US$ 187,7 miliar atau tumbuh 3,6%. Sementara itu untuk ULN swasta US$ 197,1 miliar tumbuh 12,8% dibandingkan kuartal sebelumnya (financedetik.com).
Dalam catatan (ekonomi.bisnis.com) pembayaran bunga utang tercatat terus membebani anggaran. Pasalnya, di tengah tren kinerja pendapatan negara yang loyo, realisasi pembayaran bunga utang justru diperkirakan akan melebihi pagu anggaran 2019.
Ketergantungan negara pada utang ribawi kian menjadi. Negara yang saat ini sedang gencar menawarkan utang adalah China. Cina dan Indonesia telah menandatangani 23 kesepakatan kerja sama proyek OBOR/BRI pada tanggal 27 April 2019 dalam acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Beijing. Cina diketahui memiliki proyek OBOR (One Belt One Road) atau yang kini telah direvisi menjadi proyek Belt Road Initiative (BRI). (cnbcindonesia.com).
Obor merupakan program yang diinisiasi Presiden Cina Xi Jinping pada 2013 lalu. Program ini bertujuan membangun infrastruktur darat, laut, dan udara secara besar-besaran untuk meningkatkan dan memperbaiki jalur perdagangan dan ekonomi antar negara di Asia dan sekitarnya. Cina bahkan dikabarkan menggelontorkan dana sebesar US$150 miliar atau setara Rp 2.137,6 triliun per tahun. Bisa dipastikan proyek OBOR atau BRI ini akan terlibat dalam pembangunan ibu kota baru.
Meski pemerintah menekankan, kerja sama proyek OBOR/BRI dalam rangka pinjaman akan dilakukan secara business to business (B to B) tidak akan menambah beban utang. Namun, pemerintah tidak menyadari bahwa objek yang dijadikan bisnis adalah sumber daya Indonesia.
Apa jaminannya jika badan usaha tidak mampu membayar utang? Sumber daya tersebut dapat diambil oleh China atau berbagai persyaratan yang merugikan Indonesia. Seperti kasus yang di alami Sri Lanka yang tidak sanggup membayar utang. Sri Lanka harus menyerahkan 70 persen saham kepemilikan Pelabuhan Hambantota serta hak pengelolaan ke pemerintah Tiongkok.
Kedok investasi berbasis utang ribawi ini akan memperdalam penguasaan negara asing untuk menjadi alat pengekang dan penjajahan. Akhirnya, Indonesia pun kedaulatannya akan terencam karena didikte si pemberi utang melalui investasi atau kerja sama.
Kembali pada Politik Islam
Pengurusan negara berbasis bisnis yang dijalankan Indonesia merupakan ciri dari Sistem Kapitalis-Liberal. Sistem ini telah terbukti menyengsarakan rakyat. Sistem ini telah mengantarkan individu dapat dengan leluasa menguasai barang/ benda yang menjadi hajat hidup orang banyak. Rakyat hanya dipandang sebagai objek bisnis. Pemerintah hanya bertugas mempermudah bisnis. Sumber daya alam dikuras habis oleh para pembisnis. Akibatnya pendapatan negeri ini rendah. Kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dll tidak lagi dijamin negara. Sementara rakyat harus membayar mahal kebutuhan dasar tersebut, karena pengelolaannya diserahkan pada para pebisnis.
Sistem kapitalis-liberal ini telah menciptakan dominasi negara-negara asing penjajah atas Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah dan segenap rakyat harusnya menyadari dan menolak bentuk-bentuk kerjasama yang dapat merugikan negara khususnya dalam membangun ibu kota negara baru.
Indonesia harus menerapkan politik Islam. Politik Islam adalah mengurus urusan rakyat dengan menerapkan hukum Islam, baik dalam maupun luar negeri dan dilakukan negara bersama rakyat. Negara melaksanakan pengaturan secara praktis, sedangkan rakyat mengoreksi negara dalam pelaksanaannya (Taqiyuddin An-Nabhani dalam Peraturan Hidup dalam Islam).
Politik dalam Islam harus diterapkan oleh negara, antara lain menerapkan syariat Islam kepada seluruh rakyat, muslim maupun non-muslim; memberikan kebebasan kepada rakyat non muslim menjalankan ibadah, makan, minum, berpakaian dan menikah menurut agama dan keyakinan mereka; memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada setiap warga negara, muslim dan non-muslim, kecuali yang menjadi kekhususan masing-masing. Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan umat Islam dalam satu negara dengan akidah yang sama, yaitu akidah Islam.
Adapun politik luar negeri, yaitu mengemban dakwah Islam kepada seluruh bangsa dan negara lain; menerapkan syariat Islam dengan negara yang berhubungan dengan negara Islama; serta berjihad dalam rangka membebaskan penghambaan manusia oleh manusia (Taqiyuddin An-Nabhani dalam Peraturan Hidup dalam Islam).
Penerapan politik Islam di Indonesia dan seluruh negeri muslim akan memfokuskan rakyat pada penghambaan kepada Allah swt sehingga menutup rapat tangan-tangan para penjajah. Dengan demikian jika Islam dijadikan sebagai asas dalam bernegara maka tidak ada kekhawatiran apalagi ancaman nyata dalam kedaulatan.
Wallahu a’lam bi showab. []
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah resmi mengumumkan pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur (Kaltim). Lokasi yang dibidik adalah sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara.
Anggaran untuk pemindahan ibu kota baru kurang lebih sekitar Rp 466 triliun. Anggaran ini akan terbagi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 19,2% atau Rp 89,472 triliun, swasta sebesar 26,2% atau Rp 122,092 triliun dan Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) sebesar 54,6% atau sebesar Rp 254,436 triliun (cnbcindonesia.com).
Dikabarkan ada empat alasan yang mendasari pemindahan ibu kota tersebut antara lain penduduk Jawa terlalu padat, meningkatkan kontribusi ekonomi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), krisis ketersediaan air dan konversi lahan di Jawa mendominasi.
Pengumuman keputusan pemindahan ibu kota terkesan terburu-buru dan menimbulkan polemik. Sebab pemerintah tidak pernah mendiskusikan hasil kajian pemindahan ibu kota bersama DPR. Selain pembahasan mendetail, pemindahan ibu kota ini juga belum memiliki payung hukum.
Seperti diutarakan Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera, bahwa pemerintah setidaknya harus mengajukan enam undang-undang. Jika tidak, maka pemerintah melanggar aturan (cnnindonesia.com).
Keputusan pemerintah terkait pemindahan ibu kota masih banyak mengundang tanya. Apalagi di tengah keadaan Indonesia yang banyak utang. Sehingga jika Indonesia kembali berutang atau dibantu oleh pihak swasta atau luar dengan investasi apakah akan jadi peluang atau ancaman? Khususnya bagi kedaulatan Indonesia.
Ancaman atau Peluang
Pemindahan ibu kota negara bukan suatu yang mudah, perlu perencanaan matang dan dukungan ekonomi yang kuat. Saat ini ekonomi Indonesia sedang terpuruk. Dikutip dari (worldbank.org) pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat menjadi 5,0% pada kuartal ketiga 2019, dari 5,1% pada kuartal kedua.
Agenda pemindahan ibu kota baru bisa memperburuk Indonesia. Upaya pemerintah untuk mendapatkan dana melalui investasi jelas keliru. Pemindahan ibu kota baru yang didanai sebagian besar swasta akan menambah beban utang.
Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia kuartal I 2019 tercatat US$ 387,6 miliar atau setara dengan Rp 5.542,6 triliun (kurs Rp 14.300). Dengan komposisi ULN pemerintah tercatat US$ 187,7 miliar atau tumbuh 3,6%. Sementara itu untuk ULN swasta US$ 197,1 miliar tumbuh 12,8% dibandingkan kuartal sebelumnya (financedetik.com).
Dalam catatan (ekonomi.bisnis.com) pembayaran bunga utang tercatat terus membebani anggaran. Pasalnya, di tengah tren kinerja pendapatan negara yang loyo, realisasi pembayaran bunga utang justru diperkirakan akan melebihi pagu anggaran 2019.
Ketergantungan negara pada utang ribawi kian menjadi. Negara yang saat ini sedang gencar menawarkan utang adalah China. Cina dan Indonesia telah menandatangani 23 kesepakatan kerja sama proyek OBOR/BRI pada tanggal 27 April 2019 dalam acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Beijing. Cina diketahui memiliki proyek OBOR (One Belt One Road) atau yang kini telah direvisi menjadi proyek Belt Road Initiative (BRI). (cnbcindonesia.com).
Obor merupakan program yang diinisiasi Presiden Cina Xi Jinping pada 2013 lalu. Program ini bertujuan membangun infrastruktur darat, laut, dan udara secara besar-besaran untuk meningkatkan dan memperbaiki jalur perdagangan dan ekonomi antar negara di Asia dan sekitarnya. Cina bahkan dikabarkan menggelontorkan dana sebesar US$150 miliar atau setara Rp 2.137,6 triliun per tahun. Bisa dipastikan proyek OBOR atau BRI ini akan terlibat dalam pembangunan ibu kota baru.
Meski pemerintah menekankan, kerja sama proyek OBOR/BRI dalam rangka pinjaman akan dilakukan secara business to business (B to B) tidak akan menambah beban utang. Namun, pemerintah tidak menyadari bahwa objek yang dijadikan bisnis adalah sumber daya Indonesia.
Apa jaminannya jika badan usaha tidak mampu membayar utang? Sumber daya tersebut dapat diambil oleh China atau berbagai persyaratan yang merugikan Indonesia. Seperti kasus yang di alami Sri Lanka yang tidak sanggup membayar utang. Sri Lanka harus menyerahkan 70 persen saham kepemilikan Pelabuhan Hambantota serta hak pengelolaan ke pemerintah Tiongkok.
Kedok investasi berbasis utang ribawi ini akan memperdalam penguasaan negara asing untuk menjadi alat pengekang dan penjajahan. Akhirnya, Indonesia pun kedaulatannya akan terencam karena didikte si pemberi utang melalui investasi atau kerja sama.
Kembali pada Politik Islam
Pengurusan negara berbasis bisnis yang dijalankan Indonesia merupakan ciri dari Sistem Kapitalis-Liberal. Sistem ini telah terbukti menyengsarakan rakyat. Sistem ini telah mengantarkan individu dapat dengan leluasa menguasai barang/ benda yang menjadi hajat hidup orang banyak. Rakyat hanya dipandang sebagai objek bisnis. Pemerintah hanya bertugas mempermudah bisnis. Sumber daya alam dikuras habis oleh para pembisnis. Akibatnya pendapatan negeri ini rendah. Kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dll tidak lagi dijamin negara. Sementara rakyat harus membayar mahal kebutuhan dasar tersebut, karena pengelolaannya diserahkan pada para pebisnis.
Sistem kapitalis-liberal ini telah menciptakan dominasi negara-negara asing penjajah atas Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah dan segenap rakyat harusnya menyadari dan menolak bentuk-bentuk kerjasama yang dapat merugikan negara khususnya dalam membangun ibu kota negara baru.
Indonesia harus menerapkan politik Islam. Politik Islam adalah mengurus urusan rakyat dengan menerapkan hukum Islam, baik dalam maupun luar negeri dan dilakukan negara bersama rakyat. Negara melaksanakan pengaturan secara praktis, sedangkan rakyat mengoreksi negara dalam pelaksanaannya (Taqiyuddin An-Nabhani dalam Peraturan Hidup dalam Islam).
Politik dalam Islam harus diterapkan oleh negara, antara lain menerapkan syariat Islam kepada seluruh rakyat, muslim maupun non-muslim; memberikan kebebasan kepada rakyat non muslim menjalankan ibadah, makan, minum, berpakaian dan menikah menurut agama dan keyakinan mereka; memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada setiap warga negara, muslim dan non-muslim, kecuali yang menjadi kekhususan masing-masing. Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan umat Islam dalam satu negara dengan akidah yang sama, yaitu akidah Islam.
Adapun politik luar negeri, yaitu mengemban dakwah Islam kepada seluruh bangsa dan negara lain; menerapkan syariat Islam dengan negara yang berhubungan dengan negara Islama; serta berjihad dalam rangka membebaskan penghambaan manusia oleh manusia (Taqiyuddin An-Nabhani dalam Peraturan Hidup dalam Islam).
Penerapan politik Islam di Indonesia dan seluruh negeri muslim akan memfokuskan rakyat pada penghambaan kepada Allah swt sehingga menutup rapat tangan-tangan para penjajah. Dengan demikian jika Islam dijadikan sebagai asas dalam bernegara maka tidak ada kekhawatiran apalagi ancaman nyata dalam kedaulatan.
Wallahu a’lam bi showab. []