RIDHMEDIA - Negara-negara dengan mayoritas muslim tidak boleh diam melihat saudaranya diperlakukan tidak adil. Salah satu hal yang dapat dilakukan dan bisa berdampak signifikan tentu saja melalui ekonomi, khususnya perdagangan.
Demikian yang disampaikan oleh salah seorang tokoh Islam terkemuka dari Malaysia, Mohd Asri Zainul Abidin (Dr. Maza) kepada Al Jazeera ketika ditemui di sela-sela pertemuan puncak Kuala Lumpur Summit yang diselenggarakan di Kuala Lumpur Convention Centre (KLCC), dari Rabu (18/12) hingga Sabtu (21/12).
Menurut Dr. Maza, selain tekanan diplomatik, tekanan ekonomi terhadap China atas dugaan pelanggaran hak asas manusia terhadap lebih satu juta muslim Uighur di Xinjiang yang ditahan di kamp-kamp akan lebih berpengaruh.
“Kita perlu melakukan boikot sampai tingkat produk China. Mereka tahu kekuatan daya beli kita,” ujar Dr. Maza seraya mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan ekonomi akan mempengaruhi kebijakan negara mana pun di dunia.
Pernyataan tersebut tampaknya tidak keliru. Pasalnya, pasar China untuk negara-negara muslim terbilang besar. Menurut Pusat Perdagangan Internasional, untuk Malaysia saja, China memiliki nilai ekspor sebesar 45,8 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 639 triliun (Rp 13.966/dolar AS) pada 2018.
Sementara untuk Indonesia, China masih menjadi negara impor terbesar dengan pemenuhan impor hingga 28,9 persen menurut Badan Pusat Statistik pada 2018. Tak hanya itu, bahkan untuk India dengan minoritas muslim (200 juta), ekspor China mencapai 76,9 miliar dolar AS atau Rp 1.072 trilliun pada 2018.
Dengan angka-angka tersebut, terbukti bahwa negara-negara muslim memiliki peran yang besar dalam menjalankan roda perekonomian China. Meski demikian, dikatakan oleh Dr. Maza, keputusan ini harus diambil pada tingkat tertinggi.
“Kita harus melakukan sesuatu, karena mereka (Uighur) adalah saudara dan saudari kita,” tambahnya.
Bukan hanya Dr. Maza, pada November lalu, seorang tokoh Uighur yang berada di pengasingan di Eropa juga menyerukan negara-negara muslim untuk mengakhiri hubungan perdagangan dengan China.
Tetapi tampaknya hal tersebut sulit dilakukan mengingat dalam pemungutan suara Resolusi Dewan HAM PBB untuk mengakhiri penahanan masal etnis Uighur pada Juli lalu saja, 14 negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) justru menyatakan penolakannya.
Hal ini lah yang kemudian menjadi salah satu alasan Kuala Lumpur Summit yang dihadiri oleh negara-negara muslim menyuarakan dengan keras persoalan Uighur alih-alih melalui pertemuan rutin OKI.[psid]
Demikian yang disampaikan oleh salah seorang tokoh Islam terkemuka dari Malaysia, Mohd Asri Zainul Abidin (Dr. Maza) kepada Al Jazeera ketika ditemui di sela-sela pertemuan puncak Kuala Lumpur Summit yang diselenggarakan di Kuala Lumpur Convention Centre (KLCC), dari Rabu (18/12) hingga Sabtu (21/12).
Menurut Dr. Maza, selain tekanan diplomatik, tekanan ekonomi terhadap China atas dugaan pelanggaran hak asas manusia terhadap lebih satu juta muslim Uighur di Xinjiang yang ditahan di kamp-kamp akan lebih berpengaruh.
“Kita perlu melakukan boikot sampai tingkat produk China. Mereka tahu kekuatan daya beli kita,” ujar Dr. Maza seraya mengatakan sesuatu yang berkaitan dengan ekonomi akan mempengaruhi kebijakan negara mana pun di dunia.
Pernyataan tersebut tampaknya tidak keliru. Pasalnya, pasar China untuk negara-negara muslim terbilang besar. Menurut Pusat Perdagangan Internasional, untuk Malaysia saja, China memiliki nilai ekspor sebesar 45,8 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 639 triliun (Rp 13.966/dolar AS) pada 2018.
Sementara untuk Indonesia, China masih menjadi negara impor terbesar dengan pemenuhan impor hingga 28,9 persen menurut Badan Pusat Statistik pada 2018. Tak hanya itu, bahkan untuk India dengan minoritas muslim (200 juta), ekspor China mencapai 76,9 miliar dolar AS atau Rp 1.072 trilliun pada 2018.
Dengan angka-angka tersebut, terbukti bahwa negara-negara muslim memiliki peran yang besar dalam menjalankan roda perekonomian China. Meski demikian, dikatakan oleh Dr. Maza, keputusan ini harus diambil pada tingkat tertinggi.
“Kita harus melakukan sesuatu, karena mereka (Uighur) adalah saudara dan saudari kita,” tambahnya.
Bukan hanya Dr. Maza, pada November lalu, seorang tokoh Uighur yang berada di pengasingan di Eropa juga menyerukan negara-negara muslim untuk mengakhiri hubungan perdagangan dengan China.
Tetapi tampaknya hal tersebut sulit dilakukan mengingat dalam pemungutan suara Resolusi Dewan HAM PBB untuk mengakhiri penahanan masal etnis Uighur pada Juli lalu saja, 14 negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) justru menyatakan penolakannya.
Hal ini lah yang kemudian menjadi salah satu alasan Kuala Lumpur Summit yang dihadiri oleh negara-negara muslim menyuarakan dengan keras persoalan Uighur alih-alih melalui pertemuan rutin OKI.[psid]