PERAMPOKAN itu menular. Berulang dan berkali-kali. Kalian ingat perampokan Bank Bali, Bank Indover, Bank Century, dan Jiwasraya? Itulah perulangannya. Modusnya sama. Pelakunya mirip. Korbannya serupa.
Perampok itu penyakit menular atau penyakit infeksius (infectious disease). Ini jenis penyakit yang dapat berpindah dari satu individu ke individu lain. Penyakit yang menulari dan membentuk komunitas "penyakitan" yang tak mudah mengobatinya.
Penyakit menular disebabkan oleh agen parasit bermental kolonial berkarakter begundal. Tentu, keberadaan penyakit yang di dalam atau di permukaan tubuh dapat mengakibatkan infeksi. Perpindahan agen infeksi atau parasit tersebut dari individu yang sakit ke individu yang sehat dapat menyebabkan menularnya penyakit.
Pada yang sakit dan duduk di kursi kekuasaan, kita bisa titipkan suara dan puisi Wiji Thukul yang berjudul "Nyanyian Akar Rumput" (1997).
“Jalan raya dilebarkan, kami terusir. Mendirikan kampung, digusur. Kami pindah-pindah. Menempel di tembok-tembok, dicabut, terbuang. Kami rumput, butuh tanah. Dengar! Ayo gabung ke kami. Biar jadi mimpi buruk presiden”.
Seperti Presiden Joko Widodo, kami memang orang miskin. Tak percaya? Lihat muka dan tubuhnya. Juga tutur katanya. Di mata penguasa, kemiskinan itu kesalahan. Lupa mereka lauk yang dimakannya itu kerja kami. Mereka yang lupa juga karena penyakit menular. Dan, sumber penularan utama itu dari istana. Elite ekopol kalian adalah puncak-puncak dari pilihan penularan itu, perampok, penipu dan lugu.
Dalam keluguan itu, kadang-kadang kita mendengar, walau samar, celotehnya soal transformasi ekonomi politik Indonesia yang lima: 1) Optimalisasi pemanfaatan infrastruktur, 2) Pemerataan ekonomi, 3) Usaha mengurangi ketergantungan terhadap modal asing, 4) Penciptaan dan peningkatan kualitas SDM, 5) Efisiensi pasar tenaga kerja dan konfigurasi investasi untuk mendukung program yang sudah ada.
Kelima pilar yang dibangun tersebut mestinya saling berkaitan untuk membentuk fondasi pembangunan yang berkelanjutan. Sayangnya kok hanya celoteh. Faktanya persis tahun sebelumnya: samar dan tak nyata. Hasilnya, masih dicoba untuk diraba-raba. Yang jelas, daya bayar warga negara tak ada.
Presiden juga punya cita-cita dan program infrastruktur yang bertujuan meningkatkan konektivitas, merangsang daya saing antar daerah dan implementasi mewujudkan pemerataan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dilihat dari tujuan kesatu dan kedua hasilnya relatif lumayan. Tetapi tujuan yang ketiga, yaitu pemerataan ekonomi dapat disimpulkan tidak tercapai. Sebab, kontribusi pembangunan infrastruktur belum bisa membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia melebihi 5 persen selama lima tahun terakhir.
Memang dampak ekonomi infrastruktur tidak langsung serta merta dirasakan karena karakteristiknya yang bersifat long term alias jangka panjang.
Yang perlu dievaluasi adalah bagaimana memastikan bahwa infrastruktur yang dibangun tidak KKN dan pembagian risiko dapat terdistribusi secara adil plus dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh publik. Bukan melayani korporasi yang semakin mudah merampok milik warganegara.
Dus, proyeksinya adalah kita harus siap-siap menghadapi perampokan-perampokan baru yang bertujuan melanggengkan oliģarki.
Tentu saja, resesi dan krisis ekopol akan datang. Sebab, pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia akan melambat. Hal ini dikarenakan perang dagang AS versus Cina yang berlangsung lama.
Tiap negara yang berhubungan dengan keduanya terpaksa memperlambat pertumbuhannya untuk mengatasi kelebihan kapasitas dan leverage yang berlebihan.
Saat bersamaan pasar negara kita yang sudah rapuh akan terus merasakan aksi dari proteksionisme dan pengetatan kondisi moneter di AS. Dan, kita juga belum punya protokol krisis yang jenius.
Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre