Oleh: NAHDOH FIKRIYYAH ISLAM ( Dosen dan Pengamatan Politik)
Menteri Agama Fachrul Razi menyatakan, setiap warga memiliki hak untuk menentukan sikap dalam mengucapkan 'Selamat Hari Natal' kepada umat Kristiani. Menurutnya, selama mengucapkan selamat hari raya kepada umat agama yang berbeda tidak mengganggu akidah (iman) artinya hal itu tetap dapat dilakukan. Fachrul Razi menyatakan, sikap menghargai dan tenggang rasa harus selalu dijaga sebab hal itu merupakan budaya Indonesia.
"Pasti jelas (mengucapkan selamat Natal) sama sekali tidak akan mengganggu akidah masing-masing orang," ujar Fachrul Razi dilansir dari kanal YouTube KompasTV, Jumat (20/12/2019).
Lebih lanjut, mengutip dari Kompas.com, menurut Fachrul Razi, masing-masing agama mempunyai tingkat keimanan yang tinggi. Sehingga, kerukunan yang terjalin antar umat beragama mampu membangun bangsa Indonesia yang lebih baik lagi.
"Menjelang malam Natal 25 Desember, sudah semestinya kita memberikan kesempatan kepada pemeluk agama lain untuk beribadah," kata Fachrul Razi. (tribunnews.com. 21/12/2019).
Menteri Agama mengeluarkan fatwa yang telah didengarkan rakyat Indonesia. Rakyat yang mayoritas muslim terbesar di dunia. Tentunya, pernyataan /fatwa tersebut akan memberikan dampak kepada pemkiriran ummat islam di negeri ini dalam menyikapi perayaan hari sacral agama lain, khususnya hari Natal dan Tahun Baru. Namun, betulkah sikap kementerian agama tersebut menurut aqidah Islam? Menjawab hal tersbut, perlu diperhatikan beberapa berikut.
Pertama, hari raya Natal adalah hari besar bagi ummat Kristiani. Keyakinan mereka atas kelahiran Yesus Kristus di tanggal tersebut, telah membuat ummat Kristiani merasa bersuka cita untuk mengingatnya. Sehingga mereka merasa perlu untuk merayakannnya sebagai wujud keyakinan dan mengangungkan Yesus Kristus. Agama Kristen menyampaikan ajaran agama yang diikuti ummatnya sebagai konsekwensi aqidah (keyakinan) mereka kepada agama yang mereka anut. Nah, sampai disini, adakah keterikatannya dengan aqidah Islam? Tentu jawabannya tidak. Karena setiap aqidah memiliki ajaran keyakinan masing-masing. Lalu, untuk apa ummat Islam terlibat didalamnya?
Kedua, aqidah Islam memandang berbeda perjalanan sejarah dan kisah Nabi Isa ‘alaihissalam, yang dalam bahasa Ibrani disebut Jesus oleh ummat Kristiani. Bagi ummat Kristiani Nabi Isa as (Jesus) telah wafat disalib sebagai penebus dosa-dosa ummatnya. Kemudian hidup kembali (paskah). Dalam perspektif keyakinan ummat Kristiani, nabi Isa ‘alaihissalam (Jesus) lahir di musim dingin ketika para pengembala domba tidak mengijinkan domba-domba mereka keluar karena suhu dingin,(winter) yakni di bulan Desember. Dan hal tersebut tidak sama dengan apa yang diyakini oleh ummat Islam.
Nabi Isa ‘alaihissalam menuut ajaran Islam lahir saat musim kurma berbuah. Karena ketika Maryam binti Imran melahirkan nabi Isa ‘alaihissalam, ia sedang berada di bawah pohon kurma yang sedang berbuah lebat hingga merunduk. Maryam dapat mengambil kurma tersebut untuk dimakan. Dan menurut para ahli tafsir, bahwa musim kurma di saat Maryam melahirkan nabi Isa ‘alaihisslam bukan musim dingin (winter) melainkan musim panas. Dari sejarah kelahirannnya pun, tidak ada pertemuan tali sejarah antara informrasi Alquran dan Bibel. Lalu, dimana letak kebolehan ummat Islam mengikuti perayaan natal? Atau meski sebatas mengucapkan “selamat”?, sementara sumber informasi dan peristiwanya saja tidak punya titik temu.
Ketiga, alasan kebolehan mengucapkan selamat natal atau perayaan agama lain, selalu dikaitkan dengan “toleransi”. Ketika seorang muslim mengucapkan “selamat natal” kepada ummat Kristiani akan diangggap sebagai muslim yang toleran. Dalam mafhum mukhalafahnya berarti yang tidak mengucapkan adalah “muslim intoleran”. Benarkah demikian? Lihatlah betapa “tolerannnya” Barat dan Komunisme kepada ummat Islam ketika merayakan hari-hari besar islam. Mereka turut andil mencampuri dan mengucapkan “selamat”. Namun lihat juga kemana senjata mereka arahkan? Bukankah ke Iraq? Afhganistan? Suriah? Palestina? Rohingya? Uyhgur? Kahmir? Adakah negeri-negeri muslim ini pernah terdengar membantai ummat kristiani atau agama lainnya? Ataukah jangan – jangan toleransi memanag harus mengorbankan semua ini?.
Keempat, Menteri agama mengklaim kebolehan mengucapkan selamat natal sebagai bentuk toleransi pada hakikatnya bertentangan dengan aqidahnya sebagai muslim. Apakah ia sadar atau tidak. Allah swt telah berfirman dalam surat Al-Kafirun:
قُلْ يٰٓاَيُّهَا الْكٰفِرُوْنَۙ
لَآ اَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَۙ وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُد
وَلَآ اَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُّمْۙ وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۗ
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir!
aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”
Hari besar agama adalah ekpresi keyakinan. Artinya berhubungan dengan aqidah. Jika kita mengucakan ‘selamat” kepada keyakinan di luar Islam, itu artinya kita ikut mengakuinya. Padahal, Allah juga sudah berfirman dalam Alquran :
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” [TQS. Ali ‘Imran: 19].
Ayat tersebut menyiratkan bahwa tidak patut atau tidak layak seoarang muslim meyakini agama lain selain Islam. Karena hanya Islam sajalah agama disisi Allah. Jelaslah bahwa mengucapkan selamat kepada hari besar agama lain adalah bentuk mengakui dan mengikuti keyakinannya.
Inilah akibat penerapan ideologi sekuler. Memisahkan agama dari urusan kehiudupan duniawi. Seolah – olah Islam tidak mampu mengurus interaksi antar ummat beragama. Padahal jelas, Islam telah mengaturnya. Islam tidak pernah memaksakan keyakian kepada mereka yang bukan muslim. Tidak pernah menghimbau non muslim untuk mengikuti perayaan hari besar ummat Islam meskpiun hanya sekedar mengucapkan, “selamat”. Karena Islam mengajarkan batas-batas keyakinan.Yang memnag nyata berbeda seperti aqidah tidak perlu disamakan dan dicampuradukkan.
Toleransi bukan berarti mengikuti atau mencampuri. Tetapi toleransi adalah “membiarkan”.
Memberikan ummat agama lain kesempatan untuk merayakan keyakinannya menurut ajaran agamanya. Tidak mengganggunya dengan mencampuri ucapan selamat. Penempatan makna toleransi yang salah kaprah kini telah mengorbankan akidah ummat beragama. Padahal. Seharusnya hal tersebut tidak perlu terjadi. Islam pernah menjadi adikuasa dengan menaungi beragam agama dan suku. Namun tidak pernah ada ummat agama lain yang merasa dirugikan atau diganggu meskipun Khalifah, jajaran pemerintahannya dan juga masyarakat yang muslim tidak mengucapkan “ selamat”. Jadi, sebenarnya tidak ada korelasi antara toleransi dan ucapan selamat. Harusnya, Kementerian agama memberikan informasi dan hukum yang jelas kepada ummat agar tidak rancu. Karena kelak, keemimpinannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. jangan sampai atas nama toleransi justru mengorbankan aqidah dan menjerusmuskan ummat Islam ke jurang neraka.
Menteri Agama Fachrul Razi menyatakan, setiap warga memiliki hak untuk menentukan sikap dalam mengucapkan 'Selamat Hari Natal' kepada umat Kristiani. Menurutnya, selama mengucapkan selamat hari raya kepada umat agama yang berbeda tidak mengganggu akidah (iman) artinya hal itu tetap dapat dilakukan. Fachrul Razi menyatakan, sikap menghargai dan tenggang rasa harus selalu dijaga sebab hal itu merupakan budaya Indonesia.
"Pasti jelas (mengucapkan selamat Natal) sama sekali tidak akan mengganggu akidah masing-masing orang," ujar Fachrul Razi dilansir dari kanal YouTube KompasTV, Jumat (20/12/2019).
Lebih lanjut, mengutip dari Kompas.com, menurut Fachrul Razi, masing-masing agama mempunyai tingkat keimanan yang tinggi. Sehingga, kerukunan yang terjalin antar umat beragama mampu membangun bangsa Indonesia yang lebih baik lagi.
"Menjelang malam Natal 25 Desember, sudah semestinya kita memberikan kesempatan kepada pemeluk agama lain untuk beribadah," kata Fachrul Razi. (tribunnews.com. 21/12/2019).
Menteri Agama mengeluarkan fatwa yang telah didengarkan rakyat Indonesia. Rakyat yang mayoritas muslim terbesar di dunia. Tentunya, pernyataan /fatwa tersebut akan memberikan dampak kepada pemkiriran ummat islam di negeri ini dalam menyikapi perayaan hari sacral agama lain, khususnya hari Natal dan Tahun Baru. Namun, betulkah sikap kementerian agama tersebut menurut aqidah Islam? Menjawab hal tersbut, perlu diperhatikan beberapa berikut.
Pertama, hari raya Natal adalah hari besar bagi ummat Kristiani. Keyakinan mereka atas kelahiran Yesus Kristus di tanggal tersebut, telah membuat ummat Kristiani merasa bersuka cita untuk mengingatnya. Sehingga mereka merasa perlu untuk merayakannnya sebagai wujud keyakinan dan mengangungkan Yesus Kristus. Agama Kristen menyampaikan ajaran agama yang diikuti ummatnya sebagai konsekwensi aqidah (keyakinan) mereka kepada agama yang mereka anut. Nah, sampai disini, adakah keterikatannya dengan aqidah Islam? Tentu jawabannya tidak. Karena setiap aqidah memiliki ajaran keyakinan masing-masing. Lalu, untuk apa ummat Islam terlibat didalamnya?
Kedua, aqidah Islam memandang berbeda perjalanan sejarah dan kisah Nabi Isa ‘alaihissalam, yang dalam bahasa Ibrani disebut Jesus oleh ummat Kristiani. Bagi ummat Kristiani Nabi Isa as (Jesus) telah wafat disalib sebagai penebus dosa-dosa ummatnya. Kemudian hidup kembali (paskah). Dalam perspektif keyakinan ummat Kristiani, nabi Isa ‘alaihissalam (Jesus) lahir di musim dingin ketika para pengembala domba tidak mengijinkan domba-domba mereka keluar karena suhu dingin,(winter) yakni di bulan Desember. Dan hal tersebut tidak sama dengan apa yang diyakini oleh ummat Islam.
Nabi Isa ‘alaihissalam menuut ajaran Islam lahir saat musim kurma berbuah. Karena ketika Maryam binti Imran melahirkan nabi Isa ‘alaihissalam, ia sedang berada di bawah pohon kurma yang sedang berbuah lebat hingga merunduk. Maryam dapat mengambil kurma tersebut untuk dimakan. Dan menurut para ahli tafsir, bahwa musim kurma di saat Maryam melahirkan nabi Isa ‘alaihisslam bukan musim dingin (winter) melainkan musim panas. Dari sejarah kelahirannnya pun, tidak ada pertemuan tali sejarah antara informrasi Alquran dan Bibel. Lalu, dimana letak kebolehan ummat Islam mengikuti perayaan natal? Atau meski sebatas mengucapkan “selamat”?, sementara sumber informasi dan peristiwanya saja tidak punya titik temu.
Ketiga, alasan kebolehan mengucapkan selamat natal atau perayaan agama lain, selalu dikaitkan dengan “toleransi”. Ketika seorang muslim mengucapkan “selamat natal” kepada ummat Kristiani akan diangggap sebagai muslim yang toleran. Dalam mafhum mukhalafahnya berarti yang tidak mengucapkan adalah “muslim intoleran”. Benarkah demikian? Lihatlah betapa “tolerannnya” Barat dan Komunisme kepada ummat Islam ketika merayakan hari-hari besar islam. Mereka turut andil mencampuri dan mengucapkan “selamat”. Namun lihat juga kemana senjata mereka arahkan? Bukankah ke Iraq? Afhganistan? Suriah? Palestina? Rohingya? Uyhgur? Kahmir? Adakah negeri-negeri muslim ini pernah terdengar membantai ummat kristiani atau agama lainnya? Ataukah jangan – jangan toleransi memanag harus mengorbankan semua ini?.
Keempat, Menteri agama mengklaim kebolehan mengucapkan selamat natal sebagai bentuk toleransi pada hakikatnya bertentangan dengan aqidahnya sebagai muslim. Apakah ia sadar atau tidak. Allah swt telah berfirman dalam surat Al-Kafirun:
قُلْ يٰٓاَيُّهَا الْكٰفِرُوْنَۙ
لَآ اَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَۙ وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُد
وَلَآ اَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُّمْۙ وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۗ
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang-orang kafir!
aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”
Hari besar agama adalah ekpresi keyakinan. Artinya berhubungan dengan aqidah. Jika kita mengucakan ‘selamat” kepada keyakinan di luar Islam, itu artinya kita ikut mengakuinya. Padahal, Allah juga sudah berfirman dalam Alquran :
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” [TQS. Ali ‘Imran: 19].
Ayat tersebut menyiratkan bahwa tidak patut atau tidak layak seoarang muslim meyakini agama lain selain Islam. Karena hanya Islam sajalah agama disisi Allah. Jelaslah bahwa mengucapkan selamat kepada hari besar agama lain adalah bentuk mengakui dan mengikuti keyakinannya.
Inilah akibat penerapan ideologi sekuler. Memisahkan agama dari urusan kehiudupan duniawi. Seolah – olah Islam tidak mampu mengurus interaksi antar ummat beragama. Padahal jelas, Islam telah mengaturnya. Islam tidak pernah memaksakan keyakian kepada mereka yang bukan muslim. Tidak pernah menghimbau non muslim untuk mengikuti perayaan hari besar ummat Islam meskpiun hanya sekedar mengucapkan, “selamat”. Karena Islam mengajarkan batas-batas keyakinan.Yang memnag nyata berbeda seperti aqidah tidak perlu disamakan dan dicampuradukkan.
Toleransi bukan berarti mengikuti atau mencampuri. Tetapi toleransi adalah “membiarkan”.
Memberikan ummat agama lain kesempatan untuk merayakan keyakinannya menurut ajaran agamanya. Tidak mengganggunya dengan mencampuri ucapan selamat. Penempatan makna toleransi yang salah kaprah kini telah mengorbankan akidah ummat beragama. Padahal. Seharusnya hal tersebut tidak perlu terjadi. Islam pernah menjadi adikuasa dengan menaungi beragam agama dan suku. Namun tidak pernah ada ummat agama lain yang merasa dirugikan atau diganggu meskipun Khalifah, jajaran pemerintahannya dan juga masyarakat yang muslim tidak mengucapkan “ selamat”. Jadi, sebenarnya tidak ada korelasi antara toleransi dan ucapan selamat. Harusnya, Kementerian agama memberikan informasi dan hukum yang jelas kepada ummat agar tidak rancu. Karena kelak, keemimpinannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. jangan sampai atas nama toleransi justru mengorbankan aqidah dan menjerusmuskan ummat Islam ke jurang neraka.