Uighur di Antara Kepentingan Cina dan Amerika

Ridhmedia
21/12/19, 18:56 WIB

Oleh: Ainul Mizan*

Kaum muslim Uighur saat ini menjadi isu yang seksi untuk ditarik sesuai kepentingan masing – masing.

Kaum muslim Uighur yang tinggal di daerah China menjadi bahan perang proxy antara USA dengan China. China yang ingin menjadi raksasa ekonomi di kawasan. Sedangkan USA melihat China sebagai ancaman serius bagi hegemoninya terutama di kawasan laut China selatan.

USA menyatakan bahwa penganiayaan China atas Uighur termasuk terkait penahanan 1 juta etnis Uighur merupakan catatan kelam HAM di abad ini. Sebuah dokumen yang berisi kebijakan China atas Uighur telah bocor ke ruang publik. The New York Times melangsir isi dokumen tersebut.

China telah menyediakan kamp konsentrasi bagi etnis Uighur dan beberapa etnis lain di Xinjiang.

Kamp tersebut dituliskan sebagai kamp re-edukasi terhadap etnis Uighur. Di samping itu, dokumen memberikan panduan cara memburu seseorang.

Kamp re-edukasi yang dimaksud merupakan kamp guna mendidik etnis Uighur agar bisa membaur dengan etnis mayoritas Hans di China. Penanaman nasionalisme China ditekankan. Salah satu wujudnya dengan adanya menyanyi bersama memakai bahasa mandarin. Di samping itu isu mengendalikan ekstremisme dan radikalisme menjadi alibi. Hal ini dilakukan dengan menekankan kesetiaan kepada ideologi Komunisme.

Reaksi China seperti kebakaran jenggot. Abduweli Ayup melaporkan bahwa aparat China telah menahan orang tua, kerabat hingga ipar istrinya. Penahanan terhadap mereka karena dianggap ikut andil membocorkan dokumen tersebut. Juga pengakuan Asiye Abdulaheb, perempuan Uighur di Belanda. Kepada surat kabar De Volksrant, ia mengakui ikut menyebarkan dokumen. Akibatnya ia mendapat ancaman kematian dari agen mata – mata China.

Assosiated Press di Xinjiang memberitakan bahwa China melakukan pengetatan kendali informasi di wilayah itu sejak oktober lalu. Pejabat setempat telah menghapus dengan cara dibakar semua data tentang orang – orang Uighur yang ditangkap (www.cnnindonesia.com, 16/12/2019).

Baru – baru ini Wall Street Journal juga menurunkan berita bahwa China telah meminta sejumlah ormas Islam di Indonesia untuk bungkam soal Uighur. Termasuk di dalamnya ada NU dan Muhammadiyah.

Tentunya hal demikian patut untuk dicermati. PBNU melalui Said Aqil Siradj memberi jaminan tidak ada persekusi terhadap Uighur di China (cnnindonesia, 17/07/2019). Hal ini mengkonfirmasi kebenaran laporan Wall Street Journal tersebut.

Adapun reaksi dunia terkait kamp re-edukasi Uighur membelah menjadi 2 kubu, yakni sebagian mengecam dan sebagian membela. Yang mengecam ada 22 negara yang sebagiannya dari Uni Eropa. Australia, Selandia Baru, Jepang dan Kanada termasuk yang mengecam.

Sebagian yang membela China, seperti yang dilaporkan Channel News Asia, 13 Juli 2019, di antaranya Rusia, Arab Saudi, Nigeria, Korea, Al jazair, dan Korea Utara.

Mereka memberikan catatan akan kemajuan penanganan ekstremisme dan radikalisme di China. Radikalisme itu telah banyak menyebabkan kerusakan pada keseluruhan etnis di Xinjiang.

Alasan demikian sejalan dengan kepentingan China. China menggunakan narasi guna memerangi radikalisme di Xinjiang. Hal tersebut digunakannya untuk melegitimasi adanya kamp khusus re-Erika’s I yang dilakukannya. Sejak pasca 11 september 2001, China menggunakan alibi radikalisme. Menurutnya banyak etnis di Xinjiang yang berafiliasi dengan jaringan ISIS dan al Qaeda.

Sebenarnya alasan China tidak hanya itu. Sebagaimana yang dilangsir oleh Republika bahwa telah ditemukan ladang gas besar di wilayah Xinjiang, tentunya menjadi aset berharga dalam memenangkan perang dagang dunia. Mulai Nopember segera petrochina mengelolanya.

Dari sini bisa dipahami bahwa Xinjiang menjadi wilayah yang potensial bagi ambisi China menjadi raksasa ekonomi di kawasan. Walaupun notabenenya Xinjiang itu wilayah otonomi, tapi China tidak akan melepaskannya. Isu radikalisme maupun ekstremisme dihembuskan sebagai legitimasi dalam hal ini.

Dalam sejarah, tidak bisa dipungkiri bahwa China mempunyai trauma terhadap Islam dengan keKhilafahannya.

Kaisar China pada abad 18 pernah meminta berunding kepada panglima Islam, Qutaibah bin Muslim.

Hal demikian dilakukannya karena Kaisar China merasa tidak akan mampu membendung ekspansi Islam ke wilayahnya. Pertimbangannya, dengan berunding, ekspansi Islam tidak akan memasuki wilayahnya.

Jejak ketakutan China terhadap Khilafah Islam juga diikuti oleh Lenin dan Stalin. Lenin sangat anti terhadap gerakan Pan Islamisme, yang menurutnya merupakan gelombang Islam melawan kolonialisme dunia Islam. Kebijakan Lenin ini pernah ditentang Tan Malaka. Alasannya kebijakan Lenin yang anti Islam menyebabkan Sarekat Islam pecah menjadi 2 kubu yakni kubu Islam dan kubu Komunis. Padahal menurut Tan Malaka, adanya Pan Islamisme justru menguntungkan. Hematnya bisa digunakan untuk membendung pengaruh barat dengan Kapitalismenya.

Terlihat jelas bahwa baik USA maupun China tidak menjadikan kepentingan umat Islam sebagai prioritas kebijakannya.

Keduanya hanya mengedapankan kepentingan hegemoninya. Kaum muslimin berusaha untuk ditarik ikut bermain dalam pusaran proxy yang mereka jalankan.

Hasilnya umat Islam terbelah. Dengan demikian, umat Islam menjadi lemah dan nasibnya tetap berada di dalam cengkeraman penjajahan baik oleh Kapitalisme maupun Komunisme.

Mengenai cuitan Mesut Ozil tentang Uighur yang membuat China berang, itu adalah reaksi dari seorang muslim yang peduli dengan nasib saudaranya. Atas dasar iman, Ozil melakukan kecaman terhadap kekejaman China dan diamnya penguasa muslim.

Mestinya keberanian iman dari Ozil beresonansi kepada seluruh pemuda Islam dan dunia Islam secara umum.

Sudah semestinya dunia Islam berdiri pada kakinya sendiri. Mereka berkumpul dan bangkit untuk melenyapkan kerusakan dunia akibat penjajahan Kapitalisme maupun Komunisme.

Umat ini mempunyai potensi besar membuat gentar China untuk kedua kalinya. Termasuk membuat gentar negara adikuasa, USA. Tentunya dengan KeKhilafahannya, hal tersebut bisa dilakukan.

*) Penulis tinggal di Malang
Komentar

Tampilkan

Terkini