Alhamdulillah, Akhirnya Jokowi Sadar Juga

Ridhmedia
03/01/20, 07:28 WIB

Oleh: QINTHARRA NOVELIA KRISTTI (Mahasiswi Fakultas Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

PRESIDEN Joko Widodo, menyikapi bencana “Banjir 2020” pada 169 titik di Jabodetabek dan Banten, menyinggung soal kerusakan ekologis, ekosistem, dan perilaku buruk masyarakat.

Bagi sebuah negeri yang sudah merdeka hampir 75 tahun, persoalan ekologi, ekosistem, dan character building tentunya tak lepas dari kebijakan politis pemerintah, yang —antara lain— direalisasikan lewat sederet aturan hukum.

Tak ada alasan bagi Indonesia untuk menyalahkan bangsa lain, toh kita sudah merdeka dan memiliki keleluasaan mengelola kondisi negerinya sendiri.

Tak ada alasan untuk menuding bencana “Banjir 2020” sebagai sesuatu yang tak terprediksi, toh kita sudah sangat paham dengan struktur dan komposisi alam dari negeri ini.

Bicara soal kebijakan pemerintah dalam mengelola lingkungan hidup, ada “kado pahit” bagi rezim Jokowi di penghujung tahun 2019.

Lembaga yudisial tertinggi di Tanah Air, Mahkamah Agung, mengabulkan permohonan uji materi atau judicial review atas Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.

Berdasarkan putusan itu, tak ada lagi alasan bagi pemerintah untuk terus membiarkan aturan yang merusak lingkungan tersebut. Mereka harus segera mencabutnya.

Gugatan itu sendiri diajukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Perkumpulan Bantuan Hukum Kalimantan pada Oktober 2019.

Regulasi itu menjadi perdebatan karena mengizinkan perusahaan perkebunan mengelola kawasan hutan lindung untuk perkebunan selama satu daur tanaman pokok.

Bermodalkan “kelembekan terselubung” itu, sejumlah korporasi perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit, seolah mendapat lisensi untuk merusak hutan.

Senyatanya, sejak disahkan pada awal periode pertama Presiden Jokowi, regulasi itu memang sudah bermasalah.

Ia, secara terang benderang, bertentangan dengan UU Kehutanan, UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, UU Penataan Ruang, serta UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Ujung-ujungnya, eksistensi PP Nomor 104/2015 itu telah sekaligus menjegal upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran undang-undang yang lain.

Polisi dan Kementerian Lingkungan Hidup kebingungan harus mengacu pada peraturan yang mana.

Sekadar ilustrasi, laporan Perkumpulan Bantuan Hukum Kalimantan, soal 13 perusahaan perkebunan di Kalimantan Barat yang beroperasi di kawasan hutan lindung, hingga detik ini tak bisa ditindaklanjuti.

Betul, peraturan ini memang merupakan perluasan dari regulasi yang diterbitkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Kala itu, menurut data Yayasan Kehati, ada sekitar 3,4 juta hektare kebun sawit yang berada di kawasan hutan.

Demi meredam sengketa lebih dalam, SBY menerbitkan regulasi yang memutihkan keberadaan perkebunan di kawasan hutan, selama bukan area hutan konservasi.

Nah, tahun 2015, atau hanya setahun setelah dilantik, Presiden Jokowi mengambil tindakan lebih jauh lagi.

Ia merevisi peraturan SBY itu, dan memutihkan semua perkebunan, termasuk yang berada di kawasan hutan lindung.

Blunder kebijakan (politis?) Jokowi itulah yang kini dikoreksi oleh putusan MA. Dalam konteks ini, tentunya publik wajib berujar salut atas keberpihakan MA kepada perlindungan hutan dan upaya mitigasi perubahan iklim.

Bagaimanapun, pembiaran alih fungsi kawasan hutan lindung adalah pintu pembuka menuju bencana ekosistem.

Selain berguna untuk menyimpan karbon dan menjaga iklim Bumi, hutan lindung merupakan habitat asli bagi flora dan fauna yang dilindungi.

Jika habitat asli itu berubah, maka konflik antara manusia dengan satwa pun tentunya menjadi sesuatu yang tak terhindarkan lagi. Bukankah sekarang saja fenomena kobra masuk dapur pun sudah begitu meresahkan?

Juga, punahnya keanekaragaman hayati, akibat musnahnya habitat asli, dapat dipastikan bakal segera tergelar di depan mata.

Masyarakat adat, yang hidup di sekeliling hutan, merupakan korban yang juga wajib didengar.

Selama ini, mereka kerap terpinggirkan, karena Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 tadi melegalkan perampasan tempat mereka hidup turun temurun.

Maka, putusan MA yang memberangus PP Nomor 104/2015 pun harus menjadi peringatan super-keras bagi pemerintah.

Produksi aturan yang pro-investasi janganlah sampai menghalalkan segala cara. Membiarkan korporasi merusak hutan lindung sama saja dengan menggadaikan masa depan bangsa.

Semoga kesadaran Presiden Jokowi akan kerusakan ekologis, ekosistem, dan perilaku buruk terkait bencana “Banjir 2020” tadi merupakan (salah satu) refleksi dari keinsyafan terhadap kekhilafannya di tahun 2015.

Mudah-mudahan juga itu adalah kode bahwa ambisinya memindahkan ibu kota ke Bumi Borneo bukanlah sekadar menciptakan kemacetan dan kerusakan ekosistem yang baru.

Jangan lupa, salah satu bahan dasar utama produksi meubel itu adalah kayu. Dan, “habitat” kayu itu ada di hutan —penopang utama lingkungan hidup alami.
Komentar

Tampilkan

Terkini