Andai Konflik Dengan China

Ridhmedia
05/01/20, 07:54 WIB

Oleh:M Rizal Fadillah
 PELANGGARAN kedaulatan Negara RI oleh China dengan klaim kepemilikan perairan Kepulauan Natuna menyentak publik. Berbagai komentar sebagai respon cukup beragam. Sikap pejabat publik juga macam macam. Akan tetapi di samping basa basi ketegasan sikap RI bahkan dengan pengerahan "ala kadarnya" pasukan ke  Kepulauan Natuna, nyatanya terasa ada kelemahan nyali menghadapi manuver China tersebut. Para petinggi negeri agak gemetaran mengomentari.

Memang dipastikan kekuatan angkatan perang China jauh lebih unggul daripada Indonesia. Tentara China aktif, cadangan, dan para militer berjumlah 4,5 Juta sementara Indonesia maksimal 1 juta saja. Total aset Angkatan Laut China 714 sedang Indonesia 221 dengan kapal selam 76 berbanding 5. Pesawat tempur 3.187 kita hanya 451. Hampir di semua elemen alat perang kita kalah jauh dari pasukan China.

Di samping pasukan, China juga punya kekuatan lain di Indonesia yaitu potensi kekuatan dalam negeri baik jumlah banyak bangsa China warga negara Indonesia yang tersebar di seluruh daerah, juga para taipan penguasa duit di negeri ini. Mereka potensial menjadi penghianat dalam konflik atau perang seperti ini.

Meski demikian perang sebagai konsekuensi konflik senantiasa tidak hanya bilateral. Ada kepentingan global yang menyertainya. Oleh karenanya keterlibatan pihak ketiga juga tidak terhindarkan. Meski negara yang berperang biasanya harus  "habis habisan" mengorbankan miliknya sebagai konsesi atau kompensasi dari keterlibatan pihak ketiga tersebut.

Jika suasana semakin memanas, maka Presiden dan jajaran Pemerintah akan meminta rakyat untuk siap siaga. Disini umat Islam sebagai mayoritas akan digerakkan sebagai kekuatan perlawanan. Santri, ulama dan tokoh Islam menjadi penting. Radikalisme dan "intoleransi" menjadi keniscayaan dan perlu. Kurikulum jihad, perang dan kekhalifahan dihidupkan. Mereka yang kini menyerukan moderasi, deradikalisasi, atau toleransi menjadi tidak laku.

Sekarang pula kita sadar bahwa program One Belt One Road China yang disambut gembira itu ternyata berbahaya. Daerah pembangunan di pantai pantai utara Jawa, Sumatera, Kalimantan atau Sulawesi akan menjadi pangkalan penyerbuan. Menteri Kemaritiman dan Investasi yang berperilaku seperti agen China ini harus bertanggungjawab atas dosa besarnya atas bangsa dan negara Indonesia.

Pemindahan Ibukota ke Kalimantan juga rawan, apalagi dengan investasi terbesar adalah China. Kalimantan dengan lahan yang luarbiasa besar dan kosong merupakan  sasaran strategis sebagai basis pendudukan pasukan China. Geostrategis dan geopolitis peperangan akan mengkalkulasi seperti ini.

Oleh karenanya menghadapi potensi konflik dengan RRC maka langkah yang bisa diambil adalah :

Pertama, bawa kasus sengketa Natuna ke peradilan PBB sehingga ketika klaim China dikalahkan dan negara ini memaksakan maka PBB akan ikut turun tangan membantu Indonesia. Kemenangan Filipina atas China bisa dicontoh.

Kedua, jangan mengalah pada gertak China karena mengalah berarti memberi kesempatan China untuk "menyiapkan" penaklukan lanjutan melalui program kemaritiman. Landasan pendaratan sudah disiapkan oleh kebodohan kita sendiri.

Ketiga, waspadai dan ambil kebijakan pembatasan pada bangsa China diaspora yang ada di Indonesia. Sebab dengan aset yang dikuasai akan menjadi modal besar andai mereka berubah status menjadi bagian dari pasukan China.

Keempat, pelihara hubungan keagamaan dengan umat Islam khususnya.
Ulama dan tokoh umat yang militan adalah penggerak umat dan rakyat untuk melakukan perjuangan perlawanan. Jangan salah mengambil kebijakan pragmatis atau sekuler yang menepikan agama dari bangsa.

Nah persoalannya adalah jika kasus Natuna saat ini ternyata menjadi mainan bersama antara Penguasa China dengan Penguasa Indonesia tertentu yang memiliki kepentingan besar ke depan. Disinilah intelijen kita harus mengendus dan memporak porandakan rencana jahat para kokaborator tersebut. Hukum mati para penghianat bangsa.

(Pemerhati Politik)
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+