Ridhmedia - Selama 10 tahun terakhir, baru di pemerintahan Presiden Joko Widodo pendapatan negara di sektor Pajak seret parah.
Pasalnya, jika menengok pendapatan pajak tahun 2009 silam, Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berhasil mengumpulkan uang pajak sebanyak Rp 545 triliun atau 94,5 persen dari target Rp 577 triliun. Artinya kekurangan penerimaan pajak hanya sebesar Rp 32 triliun.
Sementara di era Presiden Joko Widodo, sebagaimana data yang dihimpun Kantor Berita Politik RMOL hingga pukul 10.30 WIB, Selasa (31/12), pendapatan negara dari pajak hanya mencapai Rp 1.310,04 atau 83,04 persen dari target Rp 1.577,6, atau masih kurang Rp 267 triliun.
Bahkan, jika dibandingkan dengan penerimaan terseret sebelumnya pada tahun 2015, yakni disaat periode pertama Presiden Jokowi memimpin, kekurangan penerimaan pajak masih lebih rendah dibanding akhir tahun 2019 ini, yaitu sekitar Rp 239 triliun dari target Rp 1.294 triliun.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad, penerimaan pajak yang merosot disebabkan asumsi makro pemerintahan Jokowi salah kaprah.
Tauhid mengaku telah melihat sejak awal tahun 2019, bahwa proyeksi pemerintah untuk penerimaan pajak terlalu tinggi. Sementara di sisi yang lain, gejolak ekonomi global yang sedang mengalami perang dagang, tidak bisa diantisipasi.
Padahal, gejolak ekonomi dan politik global bakal turut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga akhir tahun ini.
"Normalnya kan pertumbuhan penerimaan pajak per tahun rata-rata 8 sampai 9 persen. Namun pemerintah meyakini bisa mencapai 11 persen, sehingga terlalu berat melewati pertumbuhan alamiahnya," ujar Tauhid saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (31/12).
Selain itu, lanjut Tauhid, ramalan pemerintah tentang pertumbuhan pajak yang meleset, diiringi dengan kekeliruan dalam memprediksi pertumbuhan sektor industri manufaktur.
Padahal, ketepatan dalam memprediksi pertumbuhan industri manufaktur sangatlah mempengaruhi besaran atau jumlah penerimaan pajak disuatu negara.
"Maka sebenarnya itu tidak disadari pemerintah bahwa pertumbuhan industri yang berada dibawah 5 persen akan menjadi cerminan bahwa penerimaan pajak akan jauh lebih sulit," tutur Tauhid.
Selain itu, faktor kepatuhan membayar pajak juga menjadi persoalan seretnya penerimaan pajak tahun 2019 ini.
Tauhid mengatakan, kepatuhan pajak masyarakat Indonesia masih terbilang rendah, yakni baru sekitar 60 persen dari total wajib pajak yang seharusnya membayar.
"Sehingga sulit mengejar pada angka 70 persen ke atas seperti diasumsikan pemerintah," pungkas Tauhid.(rmol)