SEPATUTNYA kita memberi hormat kepada tim penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi yang dengan gigih berupaya menangkap Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto. Di tengah merosotnya kepercayaan publik kepada KPK, mereka berani melawan berbagai tekanan ketika membongkar kasus dugaan suap komisioner Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, yang ikut menyeret Hasto.
Wahyu diringkus pada Rabu, 8 Januari lalu, bersama sejumlah orang yang dua di antaranya orang dekat Hasto. Ia diduga meminta duit Rp 900 juta untuk meloloskan Harun Masiku, calon legislator PDIP dari daerah pemilihan Sumatera Selatan I yang gagal terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Suap itu diduga untuk mempermulus pelengseran Riezky Aprilia, anggota DPR yang telah dilantik, melalui mekanisme pergantian antarwaktu di KPU. Riezky ditetapkan KPU sebagai anggota DPR menggantikan Nazarudin Kiemas, yang meninggal. Riezky adalah peraih suara pemilu terbanyak setelah Nazar. Diduga sebagian duit yang diberikan kepada komisioner KPU berasal dari Hasto.
Namun upaya menciduk Hasto gagal total. Tim penindakan KPK yang mencoba masuk ke Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, yang diperkirakan menjadi tempat persembunyian Hasto, dihalang-halangi sejumlah polisi. Petugas komisi antirasuah sempat ditahan, bahkan diteror dengan uji urineseolah-olah mereka pemadat narkotik. Tim KPK pun tak bisa menyegel ruangan Hasto di kantor PDI Perjuangan karena dihalangi petugas di partai banteng.
Kegagalan itu terasa lebih pahit karena pimpinan dan sejumlah petinggi KPK menolak menetapkan Hasto sebagai tersangka. Mereka tak mengacuhkan dua bukti permulaan yang cukup untuk menjerat Hasto. Satu anggota staf Hasto menjadi tersangka, tapi orang dekatnya yang disebut Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar ikut menjadi perantara dan menikmati suap dibebaskan karena dianggap kooperatif.
Pimpinan KPK jelas telah mencoreng wajah korps pemberantas korupsi karena tunduk kepada petinggi PDIP. Alih-alih berdiri di depan untuk membela anak buahnya, mereka malah menyalahkan tim penindakan yang mencoba menyegel ruang kerja Hasto. Padahal tak ada prosedur yang dilanggar tim tersebut. Pimpinan KPK malah menginstruksikan tiada lagi penyegelan setelah peristiwa itu.
Inilah bukti telak kekhawatiran publik terhadap rekam jejak tercela sejumlah pemimpin KPK yang dipersoalkan saat proses seleksi lalu. Belum juga sebulan bekerja setelah dilantik pada 20 Desember 2019, mereka malah menyabotase pemberantasan korupsi. Sulit rasanya mengharapkan KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri, yang rekam jejaknya juga menjadi sorotan, bisa dan mau membongkar kasus korupsi yang melibatkan nama besar. Sangat mungkin di kemudian hari bakal lebih banyak pelaku kejahatan yang tak tersentuh hukum.
Kejadian memalukan ini adalah buah dari pelemahan KPK secara sistematis dan terstruktur oleh pemerintah Joko Widodo dan DPR. Bukannya meloloskan calon pemimpin yang berintegritas, Presiden Jokowi dan DPR memilih orang-orang bermasalah. Ditambah lagi, pemerintah dan parlemen bersekongkol memangkas kewenangan KPK melalui revisi undang-undang.
Sudah seharusnya Mahkamah Konstitusi menerima uji materi yang diajukan mantan pemimpin KPK dan pegiat antikorupsi untuk mendukung pemberantasan korupsi di negeri ini. Apalagi Ombudsman Republik Indonesia telah menemukan dugaan awal pembahasan revisi itu cacat hukum.
Sulit berharap KPK akan mengambil langkah untuk memulihkan kepercayaan publik kepadanya. Patut diduga mereka tak akan mengusut tuntas perkara suap ini dan tak menindak semua pihak yang terlibat. Mereka yang menghalang-halangi para penyelidik dan penyidik akan dibiarkan tanpa sanksi, bahkan boleh jadi para penyidiklah yang dianggap bersalah.
Seperti diduga sebelumnya, Dewan Pengawas KPK tidak akan punya banyak peran untuk membuat perkara ini jernih. Meski diisi tokoh-tokoh dengan rekam jejak baik, Dewan Pengawas dirancang bukan sebagai lembaga pelaksana yang punya hak eksekusi.
Perlindungan PDI Perjuangan yang berlebihan kepada Hasto mengindikasikan perkara ini pun boleh jadi bukan urusan Hasto semata. Sudah lama jadi omongan: banyak partai mencari pemasukan dari tempat gelap, termasuk suap anggotanya sendiri. Yang kerap terjadi adalah lewat mahar penetapan calon kepala daerah. Rasuah pergantian antarwaktu adalah modus yang baru terungkap ke publik. Upaya menghalangi petugas KPK oleh petugas partai dapat dibaca sebagai upaya melindungi perbuatan lancung oleh partai sebagai organisasi.
Praktik buruk partai politik itu kini makin gelap dan sulit terungkap. Yang menyedihkan: semua terjadi di era Jokowi, presiden yang mengaku bukan orang partai dan mengklaim tak ingin tunduk kepada oligarki partai.
Source: tempo