Ridhmedia - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikhawatirkan bakal kesulitan mengejar aktor intelektual dalam kasus dugaan suap yang melibatkan Komisioner KPK, Wahyu Setiawan, dan petinggi PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, lantaran kendala administrasi dan birokrasi di Dewan Pengawas.
Kekhawatiran ini diungkapkan para pegiat antikorupsi setelah KPK mengaku penggeledahan kantor Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) – dalam kasus dugaan suap Komisioner KPU, Wahyu Setiawan – menunggu persetujuan Dewan Pengawas KPK.
Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, mengakui ada risiko hilangnya alat bukti dalam jeda menunggu persetujuan Dewan Pengawas KPK.
Risiko tersebut, katanya, tak bisa dihindari lantaran penyidik harus taat pada prosedur yang baru.
"Tentu saja ada kemungkinan alat bukti hilang, karena ada jeda waktu. Tapi kami tidak bisa berbuat lain, karena prosedurnya begitu. Jadi kami akan ikuti dengan segara risikonya," ujar Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron kepada BBC, Senin (13/01).
"Risiko selama jeda waktu memungkinkan adanya kehilangan atau pemusnahan alat bukti, itu risiko normatif yang kami tidak mampu menjamin. Jadi mohon dipahami bahwa kami taat prosedur sesuai norma aturan baru," sambungnya.
Kendati demikian, ia berjanji akan seoptimal mungkin mengungkap kasus tersebut hingga ke otak penyuapan berdasarkan pemeriksaan para tersangka dan saksi.
Namun ke depan untuk menjaga barang bukti sembari menunggu izin Dewan Pengawas, KPK akan menyegel tempat yang disasar terlebih dahulu.
"Kalau nggak bisa menggeledah dan menyita langsung, kami datangi untuk diberi KPK Line dulu. Sementara triknya gitu supaya kemudian barang-barang yang ada di lokasi yang rencananya kami sita, tidak terganggu, tidak hilang, kami KPK Line dulu."
Dalam proses penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan, Pimpinan KPK menyerahkan surat permohonan kepada Dewan Pengawas. Tapi seperti apa mekanisme persetujuan para anggota dewan, Nurul Ghufron, tak mengetahui.
"Dari sana mekanismenya seperti apa, itu ya tanya ke Dewan Pengawas. Kami tidak bisa masuk ke dapur orang lain."
"Kami hormati otonomi dan otoritas mereka untuk memberi izin dengan kemudian mengatur skemanya sendiri. Kami tidak bisa ikut campur ke sana."
BBC Indonesia berupaya menghubungi Anggota Dewan Pengawas, Syamsuddin Haris, tapi ia menolak berkomentar.
Kesulitan mengejar aktor intelektual korupsi
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, menyebut kegagalan penyidik KPK menggeledah kantor DPP PDI Perjuangan pada Kamis (09/01) lalu sudah diperkirakan sebelumnya ketika Revisi Undang-Undang KPK digodok pemerintah bersama DPR.
Kekhawatiran itu pun akhirnya betul terjadi dalam kasus dugaan suap terhadap Komisioner KPU, Wahyu Setiawan.
Menurut Donal, hal itu tak semestinya terjadi jika Dewan Pengawas KPK—yang kewenangannya tumpang tindih dengan posisi Pimpinan KPK—tidak ada. Sebab penyidik harus mengantongi izin penggeledahan, penyadapan, dan penyitaan dari pimpinan serta dewan sekaligus.
Imbasnya proses penegakan hukum yang semestinya berjalan cepat dan efisien, menjadi berbelit akibat birokrasi yang panjang.
"Karena itulah kami menolak Dewan Pengawas," ujar Donal Fariz kepada BBC, Senin (13/01).
"Yang mendasar dalam kasus ini adalah birokratisasi penegakan hukum," sambungnya.
Donal menjelaskan, sebelum ada beleid baru yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, tindakan penangkapan serta penggeledahan kerap bersamaan dan atas izin pimpinan. Tujuannya agar penyidik tidak kehilangan barang bukti yang relevan.
Tapi dengan keberadaan Dewan Pengawas KPK, proses penegakan hukum menjadi macet dan berpotensi hilangnya alat bukti dalam proses jeda menunggu persetujuan Dewan Pengawas.
"Kalau alat bukti sudah hilang, kasus akan makin sulit dan tersangka sulit ditangkap. Dalam kasus ini (suap Wahyu Setiawan), belum terlihat aktor intelektual terungkap. Sehingga tentu akan sulit mengejar aktor-aktor yang punya peran penting yang lebih tinggi," jelas Donal.
"Padahal hitungannya menit untuk mengejar alat bukti, kalau tidak bisa raib karena dilenyapkan pelaku-pelaku lainnya."
Sejalan dengan ICW, Peneliti dari Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju, menilai Dewan Pengawas menjadi batu sandungan.
Sebab lembaga itu tak terlibat langsung dalam proses penindakan oleh penyidik sehingga penyidik harus meyakinkan seluruh anggota Dewan Pengawas bahwa penggeledahan maupun penyadapan atau penyitaan, penting dilakukan bersamaan.
"Sekarang jauh lebih rumit, Dewan Pengawas orangnya ada lima. Rumit karena mereka harus diskusi lagi dan keputusannya harus kolektif kolegial," ujar Anggara Suwahju kepada BBC.
"Butuh effort yang lebih keras dari penyidik untuk meyakinkan Dewan Pengawas dan membuat seluruh anggota Dewan Pengawas kumpul."
"Jadi menebalkan birokrasi ketimbang efisiensi."
Untuk itu, ia menyarankan Dewan Pengawas dan Pimpinan KPK membuat terobosan untuk mempermudah proses penindakan. Semisal mewakilkan keputusan lembaga itu kepada satu orang dewan jika dalam kondisi genting.
"Misalnya untuk penggeledahan sama si A atau B. Penyidik cukup berhubungan dengan orang tertentu saja untuk tindakan-tindakan tertentu dan tidak boleh diartikan `jam kantor`."
"Kapan pun anggota Dewan Pengawas harus bisa ditelepon. Sebab kalau nunggu kumpul lima-limanya, keburu bubar itu kasus."
PDIP: Silakan geledah asal jelas objeknya
Politikus PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu, menyebut rencana penggeledahan di ruang sekretariat DPP PDI Perjuangan tak dikabulkan karena penyidik KPK tak bisa menunjukkan surat tugas.
"Kita hormati tugas penyidik KPK di lapangan tapi penyidik tidak mampu menunjukkan dan membacakan surat tugas kedatangannya ke DPP PDIP," ujar Masinton kepada BBC.
"Baik perkara apa, kemudian objek yang mau digeledah apa. Dengan berlakunya UU yang baru, dirancang untuk petugas KPK taat pada prosedur hukum acara," sambungnya.
"Kalau (surat tugas dan izin penggeledahan) itu tidak dilengkapi, kita tidak tahu itu petugas apa. Cuma ngaku-ngaku doang dari KPK."
"Tim lapangan bertindak ugal-ugalan."
Namun begitu PDI Perjuangan, katanya, berkomitmen membantu KPK mengungkap dugaan suap yang melibatkan kadernya, Harun Masiku. Komitmen yang dimaksudnya termasuk membiarkan ruangan kantor PDIP digeledah.
"Ya kalau dugaan mau ke siapapun, silakan asal sesuai prosedur hukum."
"Silakan saja (digeledah) asal jelas objeknya mana, sehingga penegakan hukum jangan menabrak aturan hukum."
Dalam ini, KPK telah menetapkan empat tersangka yang diduga sebagai penerima adalah Wahyu Setiawan dan Agustiani Tio Fridelina, orang kepercayaan Wahyu sekaligus mantan anggota Badan Pengawas Pemilu. KPK juga menetapkan status tersangka kepada Harun Masiku dan Saeful Bahri yang diduga sebagai pemberi.
Namun, tersangka Harun Masiku hingga kini berstatus buron.
Kasus ini bermula ketika Wahyu Setiawan diduga meminta uang sebesar Rp900 juta kepada Harun Masiku agar ditetapkan oleh KPU menjadi anggota DPR RI pengganti antar waktu menggantikan caleg yang meninggal, Nazaruddin Kiemas.
Padahal, keputusan KPU pada 31 Agustus 2019 menyatakan Riezky Aprilia sebagai pengganti mendiang Nazaruddin Kiemas lantaran memperoleh suara terbanyak kedua di dapil Sumsel I.
Keputusan KPU dalam rapat pleno 7 Januari 2020 juga menyatakan menolak surat permohonan PDI Perjuangan yang meminta KPU menetapkan Harun Masiku sebagai anggota DPR pengganti Nazaruddin.(*)