RIDHMEDIA - Dua dekade lebih reformasi berjalan, praktik korupsi justru seperti makin marak. Termasuk yang dilakukan sejumlah oknum partai politik dalam memuluskan langkah dan tujuan mereka.
Karena itu, ketika KPK sukses mengungkap praktik suap di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan PDIP, tak lantas banjir pujian. KPK justrumendapat kritik dari ekonom Universitas Gajah Mada (UGM) Rimawan Pradiptyo.
Rimawan mengatakan, penuntasan kasus ini belum maksimal dan tidak menunjukan adanya penguatan lembaga antarasuah. Terutama setelah UU 30/2002 direvisi menjadi UU 19/2019.
"Ini tadi yang saya sebut sebagai reformasi setengah hati," ujar Rimawan dalam diskusi online di WhatsApp Group 'Jurnalisme & Demokrasi', Minggu (19/1).
Selain itu, Koordinator Aliansi Akademisi Anti Korupsi Indonesia ini juga melihat dari kasus PDIP tentang sistem pendanaan parpol yang tidak sehat.
Di mana, transaksi politik uang di internal maupun eksternal partai politik masih terus terpelihara pascareformasi 1998 hingga saat ini.
"Amanah reformasi menguap, sementara korupsi makin merajalela. Kalau sudah demikian, upaya mencapai cita-cita nasional ya tidak akan pernah tercapai (amanah konstitusi)," tutur Rimawan.
"OTT yang terjadi di awal tahun 2020 dan rentetan peristiwa yang terjadi kemudian, menunjukkan kekawatiran para akademisi di atas menjadi kenyataan," sambung Rimawan.
Oleh karena itu, Rimawan bersama-sama 255 ekonom membuat kajian tentang efek revisi UU KPK. Di dalam kesimpulan kajian tersebut muncul rekomendasi tentang penerbitan Perppu oleh Presiden Joko Widodo.
"Semua ekonom sepakat KPK bukan penghalang investasi. Justru korupsi yang marak itulah yang menghalangi investasi," demikian Rimawan.\
sumber: rmol.id