Kapitalisme Menyuburkan Praktek Suap-Menyuap

Ridhmedia
09/01/20, 04:21 WIB
Penulis: Nahdoh Fikriyyah Islam
Dosen dan Pengamat Politik

Berharap Bebas, Tuntutan Romy Digelar Hari Ini. Terdakwa kasus dugaan korupsi jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama (Kemenang), Romahurmuziy, berharap dituntut bebas oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Laki-laki yang akrab disapa Romy tersebut akan menjalani sidang dengan agenda pembacaan tuntutan yang digelar hari ini di Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat. Hal tersebut langsung dikonfirmasi oleh Penasehat Hukum Romahurmuziy. Maqdir berharap kliennya tersebut dituntut bebas. Bukan tanpa alasan, dirinya yakin bahwa Romy tidak ada niat untuk menerima hadiah atau suap dari mantan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kemenang Jawa Timur, Haris Hasanuddin dan Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Muafaq Wirahadi. Dirinya juga disebut menerima Rp91,4 juta dari Muafaq.

Suap diterima Romy secara bertahap dari Januari hingga Maret 2019. Perbuatan tersebut diduga dilakukan bersama-sama dengan mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.

Romy didakwa melanggar Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. (OL-11). (Senin, 06/12/2020).

Betapa bahagianya para pelaku suap di negeri ini. Meski telah terdakwa bersalah dan mengaku, namun masih berani berharap bebas. Dengan dalih uang suap yang diterima telah dikembalikan. Romi menurut kuasa hukumnya punya peluang bebas seperti terdakwa-terdakwa lain yang juga telah bebas dari jerat pasal-pasal Tipikor. Pada skhirnya, settiap terdakwa di kasus Tipikor punya harapan besar untu bebas tanpa syarat.  Sebelum memberikan dukungan maupun penolakan bagi harapan Romy, tidak ada salahnya jika menaganlisis kasus Romy dari beberapa persoalan berikut.

Pertama, kasus suap Romy yang terjadi di Kementerian agama ini kelihatannya begitu bertele-tele dan panjang. Sebab kasus ini sudah ada sejak masa pemerintahan Jokowi jilid I. Namun belum berujung pada vonis hakim yang dinanti. Sebagai terdakwa, Romi memang berhak melakukan berbagai cara untuk membela dirinya di pengadilan. Apalagi ia adalah orang yang sangat dekat dengan Penguasa negeri ini. Selain itu, sikap mengakui kesalahan tersebut dan mengembalikan uang suap yang ia terima dianggap sebagai sikap “gentlement” dan sikap yang baik dari seorang terdakwa.

Kedua, Mungkin kasus suap jabatan di kalangan Kementerian Agama yang tidak terungkap sebenarnya marak, bukan hanya Romy dan Lukman Hakim. Hanya saja, Romy tidak memegang kartu ‘hoki” pada kasus ini. Hingga kesialan menimpanya. Dan kasus lain yang senada tertuutupi. Ada apa? Jika kita melihat jumlah yang diterima Romy sebenarnya hanya ‘recehen” jika bicara “suap’. Sebab jumlah suap dan korupsi yang lain banyak mencapai miliyaran bahkan triliyunan rupiah, tetapi lenyap bak ditelan bumi. Hingga banyak bermunculan spekulasi-spekulasi, seperti kasus suap Romy hanya sebagai pengalihan isu berita penting yang lain. Dillihat dari segi kedekatan relasi, Romy sangat dekat denagn Presiden Jokowi dan digadang-gadang sebelumnya bakal calon wakil presiden. Ternyata, malah masuk buih. Orang  yang hanya berjarak 1 cm  dengan Presiden bisa ketangkap? Atau mungkin hanya sekedar ingin membangun “image” bahwa ‘penjahat’ tidak pandang bulu akan “disikat”.  Atau juga ada pihak – pihak tertentu yang sengaja ingin menjatuhkan relasi – relasi Jokowi. Intinya, apapun alasan dibalik penangkapan Romy, secara perbuatan ia terbukti melakukan dan sudah terjadi. Seharusnya pelaku kejahatan layak mendapatkan hukuman.

Ketiga, suap adalah yang ‘membudaya’ di kalangan masyarakat negeri ini. Mulai dari bawah hingga lapisan pemerintah. Tidak perlu kaget sebenarnya jika di Kemenag ada “suap menyuap” jabatan. Uang “receh” yang diterima Romy tidak sepantastis suap CPNS, konon kabarnya memembus angka ratusan rupiah. Fantastis bukan? Belum lagi lelang jabatan di tempat lain, seperti jabatan Kadis, Kabag, Kasi, hingga kepala Sekolah. Semua terlibat suap menyuap jika pemerintah tegas menyisir parktek haram ini. Kasus kecil saja ‘mengurus’ surat keterangan di kantor kepolisian saja, ada “salaman” dengan pihak yang bertugas. Meski sudah jelas tertulis “ Dilarang Pungli”. Bukankah Pungli = suap? Dan merupakan tindakan yang dikenai sanksi “Tipikor”? lalu, kapan semua ini diusut tuntas?

Beginilah gambaran Negara yang mengadopsi kapitalisme. Modal (materi) adalah kekuatan mutlak yang harus dimiliki jika ingin meraih sesuatu. Merampas hak orang lain, menabrak aturan Negara adalah hal wajar. Sebab, hukum juga dapat disandera dengan transaksi ”money politik”. Ketika yang tertangkap adalah orang-orang terdekat penguasa, maka angin segar kebebasan dapat menghampirinya. Namun bagaimana dengan masyarakat biasa? Terbukti bahwa dalam kapitalisem hukum sellau akan tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Rakyat disuruh menaati hkum yang dilahirkan penguasa mereka. Tapi penguasa-pernguasa tersebut sibuk melanggarnya dan bahkan merubah atau menambah pasal sesuai kebutuhan mereka. Dengan kata lain, praktek-praktek haram tersebut sudah menjamur dan meliputi semua kalangan.

Dalam kapitalisme, dosa–dosa besar tidak akan dianggap sebagai hal yang harus ditinggalkan. Ketika dosa itu justru itu bermanfaat, kenapa tidak dilakukan? Praktek suap menyuap jelas bermanfaat bagi mereka yang ingin menguasai suatu jabatan. Dengan praktik suap-menyuap urusan akan mulus dan lancar. Padahal Rasulullah saw melarang perbuatan terebut dalam hadistnya,

عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال : لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الراشي و المرتشي
 هذا حديث صحيح الإسناد
Dari Abdullah bin Umar ra berkata, "Rosulullah melaknat bagi penyuap dan yang menerima suap."  (HR. Al-Khamsah dishohihkan oleh at-Tirmidzi)

Islam telah memberikan larangan yang tegas untuk menjauhi dan meninggalkan ‘suap’ sebab baik pelaku dan yang menerima suap, keduanya terlaknat. Namun karena Islam tidak dijadikan sebagai hukum yang menyelesaikan persoalan suap dan turunannya, maka praktek suap menyuap akan terus subur terjadi. Tidak  ada solusi yang mampu menyapu bersih  kasus suap hingga ke akar-akarnya kecuali menjadikan syariat Islam sebagai hukum dalam bernegara. Wallahu a’alam.
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+