Ridhmedia - Sejumlah kapal asing mulai berani masuk ke wilayah laut Indonesia. Terbaru, kabar soal kapal coast guard China mengawal kapal-kapal dari negaranya kemudian mencuri ikan di perairan Indonesia.
Merujuk data Automatic Identification System (AIS) pada 28 Desember 2019, kapal coast guard China yang mengawal kapal ikan asing berada sekitar 3.8 Nautical Miles (mil laut) dari Garis Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia-Malaysia.
Pemerintah RI tak tinggal diam. Kementerian Luar Negeri RI langsung memanggil Dubes Republik Rakyat China (RRC) di Jakarta. Kemlu menyampaikan protes keras soal kejadian tersebut dan nota diplomatik protes juga sudah disampaikan.
"Pada Senin (30/12), hasil rapat antar kementerian di Kemenlu mengonfirmasi terjadinya pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, termasuk kegiatan IUU fishing, dan pelanggaran kedaulatan oleh Coast Guard RRC di perairan Natuna," demikian pernyataan resmi Kemlu RI, Senin (30/12).
Kemlu mencatat, ZEE Indonesia telah ditetapkan sesuai Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). RRC sebagai pihak pada UNCLOS, harus menghormatinya.
"Menegaskan kembali bahwa Indonesia tidak memiliki overlapping jurisdiction dengan RRC. Indonesia tidak akan pernah mengakui 9 dash-line RRC karena penarikan garis tersebut bertentangan dengan UNCLOS sebagaimana diputuskan melalui Ruling Tribunal UNCLOS tahun 2016."
Masuknya kapal ke perairan Natuna tersebut juga menjadi perhatian khusus Bakamla. Kepala Bakamla, Laksdya TNI Achmad Taufiqoerrochman menyebut sudah melaporkan hal tersebut ke Presiden Joko Widodo.
"Ini sudah kami koordinasi kan kepada kemenkopolhukam, kementerian luar negeri. Karena walaupun bagaimana tentunya kita harus melakukan suatu kegiatan yang ada orkestra dari segi diplomasi ada di kementerian luar negeri," ujar Taufiq di kantor Bakamla, Jakarta Pusat, Senin (30/12).
"Kami laporkan, sudah sampai ke Presiden," tutur dia.
Ia bercerita, sebenarnya Bakamla sudah berupaya untuk mengusir kapal-kapal tersebut. Seolah tak jera, kapal-kapal tersebut kembali lagi ke perairan Natuna.
"Diperkirakan tanggal 17 (Desember) mereka masuk ternyata mereka masuk tanggal 19 nah kita temukan kita usir," kata Taufiq.
"Tapi tanggal 24 dia (kapal asing) kembali, kembali lagi dengan perbuatan nah kita tetap hadir di sana," imbuh dia.
Sebelumnya, ramai video menunjukkan kehadiran kapal asing di perairan Natuna. kumparan memperoleh video itu dari Herman, Ketua Nelayan Lubuk Lumbang, Kelurahan Bandarsyah, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna.
Kapal-kapal ikan asing dari Vietnam dan China semakin berani. Bahkan kapal coast guard China turut mengawal kapal-kapal ikan dari negaranya yang mencuri di perairan Indonesia. Bahkan pada 26 Oktober 2019 anggota kelompoknya sempat diusir oleh kapal coast guard China, padahal sedang berada di wilayah RI.
"Coast guard China ikut mengawal, ngusir nelayan anggota saya. Padahal nelayan saya dikasih peta TNI AL, berdasarkan peta itu masih di laut kita," ujar Herman kepada kumparan, Minggu (29/12).
Komisi I DPR RI yang membidangi pertahanan menyesalkan tindakan China tersebut. Anggota Komisi I Charles Honoris menyebut Pemerintah RI punya opsi memilih respons lebih keras untuk China, tujuannya tak lain menjaga kedaulatan RI.
"Pemerintah bisa mengkaji kembali keterlibatan RI dalam inisiatif-inisiatif multilateral yang diinisiasi oleh Tiongkok di forum internasional, seperti inisiatif One Belt One Road (konektivitas dagang di Jalur sutra)," katanya.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana turut menyampaikan komentarnya. Ia menyebut sebanyak-banyaknya protes diplomatik tidak akan berpengaruh pada aktivitas para nelayan dan Coast Guard China.
Alasannya, mereka masih berpegangan pada peta 9-dash. Dalam peta itu Natuna diklaim masuk ke dalam teritori penangkapan tradisional nelayan mereka.
"Ini karena China menganggap ZEE Natuna tidak ada. Justru yang dianggap ada adalah wilayah penangkapan ikan tradisional nelayan China," ungkap Hikmahanto dalam keterangan tertulisnya, Selasa (31/12).
"Oleh karenanya yang dibutuhkan tidak sekedar protes diplomatik oleh pemerintah Indonesia, tetapi kehadiran secara fisik otoritas perikanan Indonesia di ZEE Indonesia. Mulai dari KKP, TNI AL dan Bakamla," sebutnya.
Kehadiran tersebut bisa seperti upaya mendorong nelayan RI mengeksploitasi ZEE Natuna. Mereka juga harus dikawal oleh otoritas Indonesia.
Dalam konsep hukum internasional klaim atas suatu wilayah tidak cukup sebatas klaim di atas peta atau melakukan protes diplomatik saja. Akan tetapi, harus ada penguasaan secara efektif (effecive control) wilayah tersebut. [kumparan.com]
Merujuk data Automatic Identification System (AIS) pada 28 Desember 2019, kapal coast guard China yang mengawal kapal ikan asing berada sekitar 3.8 Nautical Miles (mil laut) dari Garis Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia-Malaysia.
Pemerintah RI tak tinggal diam. Kementerian Luar Negeri RI langsung memanggil Dubes Republik Rakyat China (RRC) di Jakarta. Kemlu menyampaikan protes keras soal kejadian tersebut dan nota diplomatik protes juga sudah disampaikan.
"Pada Senin (30/12), hasil rapat antar kementerian di Kemenlu mengonfirmasi terjadinya pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, termasuk kegiatan IUU fishing, dan pelanggaran kedaulatan oleh Coast Guard RRC di perairan Natuna," demikian pernyataan resmi Kemlu RI, Senin (30/12).
Kemlu mencatat, ZEE Indonesia telah ditetapkan sesuai Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). RRC sebagai pihak pada UNCLOS, harus menghormatinya.
"Menegaskan kembali bahwa Indonesia tidak memiliki overlapping jurisdiction dengan RRC. Indonesia tidak akan pernah mengakui 9 dash-line RRC karena penarikan garis tersebut bertentangan dengan UNCLOS sebagaimana diputuskan melalui Ruling Tribunal UNCLOS tahun 2016."
Masuknya kapal ke perairan Natuna tersebut juga menjadi perhatian khusus Bakamla. Kepala Bakamla, Laksdya TNI Achmad Taufiqoerrochman menyebut sudah melaporkan hal tersebut ke Presiden Joko Widodo.
"Ini sudah kami koordinasi kan kepada kemenkopolhukam, kementerian luar negeri. Karena walaupun bagaimana tentunya kita harus melakukan suatu kegiatan yang ada orkestra dari segi diplomasi ada di kementerian luar negeri," ujar Taufiq di kantor Bakamla, Jakarta Pusat, Senin (30/12).
"Kami laporkan, sudah sampai ke Presiden," tutur dia.
Ia bercerita, sebenarnya Bakamla sudah berupaya untuk mengusir kapal-kapal tersebut. Seolah tak jera, kapal-kapal tersebut kembali lagi ke perairan Natuna.
"Diperkirakan tanggal 17 (Desember) mereka masuk ternyata mereka masuk tanggal 19 nah kita temukan kita usir," kata Taufiq.
"Tapi tanggal 24 dia (kapal asing) kembali, kembali lagi dengan perbuatan nah kita tetap hadir di sana," imbuh dia.
Sebelumnya, ramai video menunjukkan kehadiran kapal asing di perairan Natuna. kumparan memperoleh video itu dari Herman, Ketua Nelayan Lubuk Lumbang, Kelurahan Bandarsyah, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna.
Kapal-kapal ikan asing dari Vietnam dan China semakin berani. Bahkan kapal coast guard China turut mengawal kapal-kapal ikan dari negaranya yang mencuri di perairan Indonesia. Bahkan pada 26 Oktober 2019 anggota kelompoknya sempat diusir oleh kapal coast guard China, padahal sedang berada di wilayah RI.
"Coast guard China ikut mengawal, ngusir nelayan anggota saya. Padahal nelayan saya dikasih peta TNI AL, berdasarkan peta itu masih di laut kita," ujar Herman kepada kumparan, Minggu (29/12).
Komisi I DPR RI yang membidangi pertahanan menyesalkan tindakan China tersebut. Anggota Komisi I Charles Honoris menyebut Pemerintah RI punya opsi memilih respons lebih keras untuk China, tujuannya tak lain menjaga kedaulatan RI.
"Pemerintah bisa mengkaji kembali keterlibatan RI dalam inisiatif-inisiatif multilateral yang diinisiasi oleh Tiongkok di forum internasional, seperti inisiatif One Belt One Road (konektivitas dagang di Jalur sutra)," katanya.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana turut menyampaikan komentarnya. Ia menyebut sebanyak-banyaknya protes diplomatik tidak akan berpengaruh pada aktivitas para nelayan dan Coast Guard China.
Alasannya, mereka masih berpegangan pada peta 9-dash. Dalam peta itu Natuna diklaim masuk ke dalam teritori penangkapan tradisional nelayan mereka.
"Ini karena China menganggap ZEE Natuna tidak ada. Justru yang dianggap ada adalah wilayah penangkapan ikan tradisional nelayan China," ungkap Hikmahanto dalam keterangan tertulisnya, Selasa (31/12).
"Oleh karenanya yang dibutuhkan tidak sekedar protes diplomatik oleh pemerintah Indonesia, tetapi kehadiran secara fisik otoritas perikanan Indonesia di ZEE Indonesia. Mulai dari KKP, TNI AL dan Bakamla," sebutnya.
Kehadiran tersebut bisa seperti upaya mendorong nelayan RI mengeksploitasi ZEE Natuna. Mereka juga harus dikawal oleh otoritas Indonesia.
Dalam konsep hukum internasional klaim atas suatu wilayah tidak cukup sebatas klaim di atas peta atau melakukan protes diplomatik saja. Akan tetapi, harus ada penguasaan secara efektif (effecive control) wilayah tersebut. [kumparan.com]