Oleh: Chusnatul Jannah - Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
China berulah. Bermula dari masuknya kapal ikan China di perairan Natuna. Pemerintah Indonesia menegaskan China telah melakukan pelanggaran batas wilayah di Laut Natuna. TNI pun melaksanakan operasi siaga tempur terkait dengan adanya pelanggaran di kawasan tersebut. China sendiri mengklaim daerah yang dilalui kapalnya di Natuna merupakan daerah teritorinya sendiri. China mengklaim ada garis Nine Dash alias sembilan garis putus-putus, hal ini lah yang membuat permasalahan ini menjadi panas. (detikfinance, 4/1/2020).
Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi mengatakan China telah melakukan pelanggaran batas wilayah dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Menurut hukum konvensi PBB, ZEE Indonesia telah ditetapkan berdasarkan hukum internasional yaitu United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982). China menjadi salah satu partisipan UNCLOS 1982. Artinya, China semestinya menghormati implementasi dari UNCLOS tersebut. Namun, mereka lebih memilih sok gagah. China mengklaim berdaulat atas perairan Natuna. Bahkan dengan angkuh mereka mengatakan, "RI terima atau tidak, kami berhak disitu," Ujar juru bicara Menlu China, Geng Shuang.
TNI pun bereaksi atas sikap bebal China. Siaga tempur dikerahkan untuk melindungi teritori perairan Natuna. Bahkan TNI sudah menerjunkan tiga KRI, satu pesawat intai maritim, dan pesawat Boeing TNI AU untuk memantau pergerakan kapal China yang melintasi perairan Natuna. Beda TNI, beda Menhan. Menteri Pertahanan justru berbanding terbalik dengan sikap TNI yang siap tempur. Prabowo malah cool dan santuy. Ia mengatakan akan mencari solusi damai karena bagaimanapun China adalah negara sahabat. Sikap lembek Prabowo ini disayangkan banyak pihak. Sebab, sikapnya yang sekarang sangat berbeda jauh dengan sebelum ia bergabung dengan rezim saat ini. Tak ubahnya macan ompong.
Senada dengan Prabowo, Menko Kemaritiman dan Investasi meminta persoalan Natuna tak dibuat ribut karena hal itu akan mengganggu investasi. Hal ini mendapat sindiran dari Mantan Menteri Perikanan dan Kelautan, Susi Pudjiastuti. Bu Susi mengatakan Indonesia harus bisa membedakan antara investasi dengan pencurian. Harusnya masuknya kapal ikan China di perairan Natuna bisa ditindak menggunakan UU Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan. Beda Susi, Beda pula respon Luhut dan Prabowo. Pemerintah terkesan terlalu lunak terhadap China.
Ketergantungan Indonesia terhadap investasi dan impor dari China membuat Indonesia dilema menyikapi China. Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2019 mencatat China masih menjadi negara asal impor terbesar bagi Indonesia dengan peran sebesar 29,08% atau US$67,2 miliar (Januari-Juli 2019). Sejumlah proyek-proyek besar seperti Kereta Cepat Bandung-Jakarta dan Kawasan Industri Morowali misalnya, investasinya bersumber dari China. Dari data Kemenperin, China merupakan penanam modal asing sektor manufaktur urutan ketiga dengan nilai US$ 2 miliar. Ini tersebar pada 594 proyek. Nilai ini meningkat 839% dibanding periode yang sama tahun 2015. Indonesia juga masih menanggung utang ke China. Berdasarkan data statistik utang luar negeri Indonesia (SULNI) yang dirilis Bank Indonesia (BI) periode terbaru, yakni per September 2019 menurut negara pemberi kredit, utang Indonesia yang berasal dari China tercatat sebesar 17,75 miliar dollar AS atau setara Rp 274 triliun (kurs Rp 13.940).
Utang, investasi, dan impor menjadi alasan kuat mengapa Indonesia tak bersikap tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan China. Itulah diantara jebakan China. Menjerat negara berkembang dengan investasi dan utang agar tak bertindak macam-macam terhadap mereka. Kita tentu masih mengingat betapa lembeknya Indonesia menyikapi pelanggaran HAM yang dilakukan China terhadap muslim Uyghur. Sungguh menyedihkan! Tak mampu menunjukkan taji dan kedaulatan lantaran kedekatannya terhadap investasi dan utang China.
Laut China Selatan, Primadona di Samudra Pasifik
Melansir dari wikipedia, Laut China Selatan adalah laut tepi, bagian dari Samudra Pasifik, yang membentang dari Selat Karimata dan Selat Malaka hingga Selat Taiwan dengan luas kurang lebih 3500000 kilometer persegi (1400000 sq mi). Laut ini memiliki potensi strategis yang besar karena sepertiga kapal di dunia melintasinya. Laut ini juga memiliki kekayaan makhluk hidup yang mampu menopang kebutuhan pangan jutaan orang di Asia Tenggara sekaligus cadangan minyak dan gas alam yang besar.
Negara-negara dan wilayah yang berbatasan dengan laut ini (searah jarum jam dari utara) adalah Republik Rakyat Tiongkok (termasuk Makau dan Hong Kong), Republik Tiongkok (Taiwan), Filipina, Malaysia, Brunei, Indonesia, Singapura, dan Vietnam. Laut China Selatan menyimpan potensi ekonomi yang sangat luar biasa. Nilai perdagangan jalur ini tak kurang dari 5,3 triliun dolar AS tiap tahunnya. Data Badan Informasi Energi AS menyebutkan, di kawasan ini tersimpan cadangan minyak bumi sebesar 11 miliar barel serta gas alam hingga 190 triliun kaki kubik. Tak hanya itu, 90 persen lalu lintas pengangkutan minyak bumi dari Timur Tengah menuju Asia pada 2035 akan melintasi perairan tersebut. (Eramuslim, 4/1/2020).
Sementara Natuna adalah kepulauan paling utara di selat Karimata. Natuna berada pada jalur pelayaran internasional Hongkong, Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Kabupaten ini terkenal dengan penghasil minyak dan gas. Cadangan minyak bumi Natuna diperkirakan mencapai 1. 400.386.470 barel, sedangkan gas bumi 112.356.680.000. barel.
Melihat potensi geografi, ekonomi, dan kekayaan alamnya siapa yang tak tergiur dengan Natuna? Ambisi besar China menguasai seluruh kawasan Laut China Selatan itu pun diprotes banyak negara. Bahkan sengketa China dengan negara-negara yang bersinggungan dengan perairan tersebut kerap terjadi. Dan kali ini Indonesia teruji. Memilih kedaulatan atau kedekatan? Meski armada militer yang dimiliki masih jauh dibawah China, semestinya sikap tegas itu ditampakkan. Agar negeri ini masih dianggap memiliki taring di hadapan negara besar seperti China.
Rakyat tengah menunggu sikap tegas pemerintah. Mampukah berlepas diri dari jerat-jerat kapitalis? Atau malah berdiam diri melihat negeri ini tak lagi berdaulat? Lepas dari jebakan kapitalis Barat (AS), Indonesia malah terpuruk di tangan kapitalis timur (China). Negara kapitalis tak akan membiarkan negara berkembang seperti Indonesia berdikari dan bertaji. Karena kerakusan dan keserakahan kapitalisme meniscayakan hal itu terjadi. Nafsu berkuasa menghalalkan segala cara meski menabrak aturan yang ada. Begitulah kapitalisme bekerja.
Indonesia harus bisa berlepas diri dari sistem despotik ini. Tegas, mandiri, dan berdaulat. Semua itu hanya terwujud manakala negeri ini berani menanggalkan kapitalisme dan menerapkan sistem pengganti yang lebih manusiawi. Sistem yang jauh dari kepentingan manusia. Mengedepankan amanah dan menunjukkan ketaatannya pada Sang Pencipta. Lagipula, apa untungnya mempertahankan kapitalisme? Dibawah asuhan kapitalisme, negeri ini tak berdaya melawan negara adidaya.
China berulah. Bermula dari masuknya kapal ikan China di perairan Natuna. Pemerintah Indonesia menegaskan China telah melakukan pelanggaran batas wilayah di Laut Natuna. TNI pun melaksanakan operasi siaga tempur terkait dengan adanya pelanggaran di kawasan tersebut. China sendiri mengklaim daerah yang dilalui kapalnya di Natuna merupakan daerah teritorinya sendiri. China mengklaim ada garis Nine Dash alias sembilan garis putus-putus, hal ini lah yang membuat permasalahan ini menjadi panas. (detikfinance, 4/1/2020).
Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi mengatakan China telah melakukan pelanggaran batas wilayah dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Menurut hukum konvensi PBB, ZEE Indonesia telah ditetapkan berdasarkan hukum internasional yaitu United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982). China menjadi salah satu partisipan UNCLOS 1982. Artinya, China semestinya menghormati implementasi dari UNCLOS tersebut. Namun, mereka lebih memilih sok gagah. China mengklaim berdaulat atas perairan Natuna. Bahkan dengan angkuh mereka mengatakan, "RI terima atau tidak, kami berhak disitu," Ujar juru bicara Menlu China, Geng Shuang.
TNI pun bereaksi atas sikap bebal China. Siaga tempur dikerahkan untuk melindungi teritori perairan Natuna. Bahkan TNI sudah menerjunkan tiga KRI, satu pesawat intai maritim, dan pesawat Boeing TNI AU untuk memantau pergerakan kapal China yang melintasi perairan Natuna. Beda TNI, beda Menhan. Menteri Pertahanan justru berbanding terbalik dengan sikap TNI yang siap tempur. Prabowo malah cool dan santuy. Ia mengatakan akan mencari solusi damai karena bagaimanapun China adalah negara sahabat. Sikap lembek Prabowo ini disayangkan banyak pihak. Sebab, sikapnya yang sekarang sangat berbeda jauh dengan sebelum ia bergabung dengan rezim saat ini. Tak ubahnya macan ompong.
Senada dengan Prabowo, Menko Kemaritiman dan Investasi meminta persoalan Natuna tak dibuat ribut karena hal itu akan mengganggu investasi. Hal ini mendapat sindiran dari Mantan Menteri Perikanan dan Kelautan, Susi Pudjiastuti. Bu Susi mengatakan Indonesia harus bisa membedakan antara investasi dengan pencurian. Harusnya masuknya kapal ikan China di perairan Natuna bisa ditindak menggunakan UU Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan. Beda Susi, Beda pula respon Luhut dan Prabowo. Pemerintah terkesan terlalu lunak terhadap China.
Ketergantungan Indonesia terhadap investasi dan impor dari China membuat Indonesia dilema menyikapi China. Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2019 mencatat China masih menjadi negara asal impor terbesar bagi Indonesia dengan peran sebesar 29,08% atau US$67,2 miliar (Januari-Juli 2019). Sejumlah proyek-proyek besar seperti Kereta Cepat Bandung-Jakarta dan Kawasan Industri Morowali misalnya, investasinya bersumber dari China. Dari data Kemenperin, China merupakan penanam modal asing sektor manufaktur urutan ketiga dengan nilai US$ 2 miliar. Ini tersebar pada 594 proyek. Nilai ini meningkat 839% dibanding periode yang sama tahun 2015. Indonesia juga masih menanggung utang ke China. Berdasarkan data statistik utang luar negeri Indonesia (SULNI) yang dirilis Bank Indonesia (BI) periode terbaru, yakni per September 2019 menurut negara pemberi kredit, utang Indonesia yang berasal dari China tercatat sebesar 17,75 miliar dollar AS atau setara Rp 274 triliun (kurs Rp 13.940).
Utang, investasi, dan impor menjadi alasan kuat mengapa Indonesia tak bersikap tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan China. Itulah diantara jebakan China. Menjerat negara berkembang dengan investasi dan utang agar tak bertindak macam-macam terhadap mereka. Kita tentu masih mengingat betapa lembeknya Indonesia menyikapi pelanggaran HAM yang dilakukan China terhadap muslim Uyghur. Sungguh menyedihkan! Tak mampu menunjukkan taji dan kedaulatan lantaran kedekatannya terhadap investasi dan utang China.
Laut China Selatan, Primadona di Samudra Pasifik
Melansir dari wikipedia, Laut China Selatan adalah laut tepi, bagian dari Samudra Pasifik, yang membentang dari Selat Karimata dan Selat Malaka hingga Selat Taiwan dengan luas kurang lebih 3500000 kilometer persegi (1400000 sq mi). Laut ini memiliki potensi strategis yang besar karena sepertiga kapal di dunia melintasinya. Laut ini juga memiliki kekayaan makhluk hidup yang mampu menopang kebutuhan pangan jutaan orang di Asia Tenggara sekaligus cadangan minyak dan gas alam yang besar.
Negara-negara dan wilayah yang berbatasan dengan laut ini (searah jarum jam dari utara) adalah Republik Rakyat Tiongkok (termasuk Makau dan Hong Kong), Republik Tiongkok (Taiwan), Filipina, Malaysia, Brunei, Indonesia, Singapura, dan Vietnam. Laut China Selatan menyimpan potensi ekonomi yang sangat luar biasa. Nilai perdagangan jalur ini tak kurang dari 5,3 triliun dolar AS tiap tahunnya. Data Badan Informasi Energi AS menyebutkan, di kawasan ini tersimpan cadangan minyak bumi sebesar 11 miliar barel serta gas alam hingga 190 triliun kaki kubik. Tak hanya itu, 90 persen lalu lintas pengangkutan minyak bumi dari Timur Tengah menuju Asia pada 2035 akan melintasi perairan tersebut. (Eramuslim, 4/1/2020).
Sementara Natuna adalah kepulauan paling utara di selat Karimata. Natuna berada pada jalur pelayaran internasional Hongkong, Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Kabupaten ini terkenal dengan penghasil minyak dan gas. Cadangan minyak bumi Natuna diperkirakan mencapai 1. 400.386.470 barel, sedangkan gas bumi 112.356.680.000. barel.
Melihat potensi geografi, ekonomi, dan kekayaan alamnya siapa yang tak tergiur dengan Natuna? Ambisi besar China menguasai seluruh kawasan Laut China Selatan itu pun diprotes banyak negara. Bahkan sengketa China dengan negara-negara yang bersinggungan dengan perairan tersebut kerap terjadi. Dan kali ini Indonesia teruji. Memilih kedaulatan atau kedekatan? Meski armada militer yang dimiliki masih jauh dibawah China, semestinya sikap tegas itu ditampakkan. Agar negeri ini masih dianggap memiliki taring di hadapan negara besar seperti China.
Rakyat tengah menunggu sikap tegas pemerintah. Mampukah berlepas diri dari jerat-jerat kapitalis? Atau malah berdiam diri melihat negeri ini tak lagi berdaulat? Lepas dari jebakan kapitalis Barat (AS), Indonesia malah terpuruk di tangan kapitalis timur (China). Negara kapitalis tak akan membiarkan negara berkembang seperti Indonesia berdikari dan bertaji. Karena kerakusan dan keserakahan kapitalisme meniscayakan hal itu terjadi. Nafsu berkuasa menghalalkan segala cara meski menabrak aturan yang ada. Begitulah kapitalisme bekerja.
Indonesia harus bisa berlepas diri dari sistem despotik ini. Tegas, mandiri, dan berdaulat. Semua itu hanya terwujud manakala negeri ini berani menanggalkan kapitalisme dan menerapkan sistem pengganti yang lebih manusiawi. Sistem yang jauh dari kepentingan manusia. Mengedepankan amanah dan menunjukkan ketaatannya pada Sang Pencipta. Lagipula, apa untungnya mempertahankan kapitalisme? Dibawah asuhan kapitalisme, negeri ini tak berdaya melawan negara adidaya.