Oleh : Djumriah Lina Johan
(Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial Ekonomi Islam)
Polemik Natuna hingga kini masih belum terselesaikan. Adapun Cina mendorong Indonesia untuk mengutamakan hubungan bilateral yang sudah terjalin selama hampir 70 tahun ketimbang berselisih. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang, mengatakan Beijing dan Jakarta telah berdialog melalui jalur diplomatik dalam menyelesaikan perbedaan kedua negara dalam melihat kisruh di perairan yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan tersebut.
“Terkait beberapa perkembangan isu perairan belakangan ini, Cina-Indonesia telah berkomunikasi melalui jalur diplomatik. Cina-RI adalah mitra strategis terpadu. Persahabatan dan kerja sama di antara kami adalah yang utama, sementara perbedaan hanyalah percabangan,” kata Geng dalam jumpa pers di Beijing pada Selasa (7/1).
Geng menuturkan Cina selalu memandang hubungan bilateral dengan Indonesia dari perspektif strategis dan jangka panjang. Ia berharap Indonesia juga akan melakukan hal serupa. (CNN Indonesia, Rabu, 8/1/2020)
Sejatinya upaya menyelesaikan konflik Natuna hanya melalui diplomasi politik menunjukkan telah tergadainya kedaulatan negeri ini. Terbukti, ketika Cina dengan angkuhnya mengakui bahwa perairan Natuna masih menjadi bagian dari wilayahnya, Pemerintah Indonesia justru tak berkutik dan secara gamblang mengatakan tak ada kapal asing yang masuk ke Natuna.
Melihat kegigihan Cina dalam upaya mengklaim Natuna, sebenarnya tak hanya didasari kekayaan laut yang melimpah namun lebih kepada apa yang lebih besar dan menguntungkan daripada itu, yakni kekayaan SDA berupa cadangan minyak dan gas. Hal ini berdasarkan data Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dalam laporan Asia Maritime Transparancy Initiative, Badan Informasi Sumber Daya Alam dan Energi AS, Laut Cina Selatan memiliki 5,3 triliun meter kubik cadangan gas dan 11 miliar barel minyak. Badan Survei Geologi AS pada 2012 juga memperkirakan 4,5 triliun meter kubik gas alam cair dan 12 miliar barel minyak di bawah Laut Cina Selatan.
Sehingga jelas, Natuna merupakan primadona yang diidam-idamkan untuk dimiliki sendiri. Belum lagi wilayahnya yang strategis berbatasan langsung dengan negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Kamboja, Singapura, Malaysia, Malaysia Timur. Serta berada di jalur pelayaran internasional Hongkong, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
Ketika perampokan baik kekayaan laut maupun alam hingga terancamnya kedaulatan terjadi di depan mata, maka sudah seharusnya pemerintah tegas dengan melakukan upaya manuver militer untuk menakut-nakuti musuh bukan malah lunak selayaknya negara yang sakit. Bahkan secara vulgar mengatakan bahwa Cina adalah negara sahabat. Sungguh ironis!
Inilah akibat terlalu mengagung-agungkan utang berbentuk investasi hingga negara tidak punya taring untuk melawan perampokan serta pencaplokan wilayah. Padahal Cina dengan ambisinya menguasai dunia secara jelas menggunakan metode sistem Kapitalis tersebut untuk membelenggu negeri-negeri kaum Muslimin di dunia termasuk Indonesia.
Sejatinya sistem kapitalisme hanya akan menghantarkan negeri ini menuju kehancuran dengan terlilit utang dan kehilangan kedaulatan. Maka, bisakah berharap kesejahteraan dan kemandirian negeri jika terus mengadopsi sistem kufur ini? Tentu tidak. Untuk itu dibutuhkan solusi sistemik yang mampu menjawab konflik Natuna dengan lugas, tegas, dan paripurna.
Ialah Islam, yang tak sekedar mengatur peribadahan tetapi juga urusan politik pemerintahan. Pertama, pengelolaan kekayaan alam. Dalam hadis riwayat Abu Dawud, Rasulullah saw bersabda, ”Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput/hutan, air dan api.”
Sehingga SDA sejatinya milik rakyat dan negara adalah pihak paling bertanggungjawab mengelola SDA serta mengembalikan hasilnya kepada rakyat. Rasul saw menegaskan dalam sabda beliau, ”Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya (rakyatnya)” (HR. Muslim)
Kedua, larangan mengambil utang maupun investasi dari negara kafir harbi fi’lan. Dalam TQS. An Nisa ayat 141 yang artinya, “… Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”
Allah SWT menegaskan keharaman bagi penguasa kaum Muslimin untuk memberi celah kepada para kapitalis untuk menguasai umat. Sehingga massifnya investasi yang hadir mewarnai pembangunan infrastruktur negeri sangat berbahaya bagi umat. Dengan demikian, umat wajib menolak segala bentuk investasi yan berasal dari negeri kafir penjajah.
Ketiga, penjagaan wilayah dan perbatasan negara. Islam memiliki dua cara untuk menjaga keutuhan wilayahnya. Dari segi politik dalam negeri. Khilafah dalam politik dalam negerinya akan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh dan sempurna dalam segenap bidang kehidupan rakyatnya. Baik dalam bidang agama, politik, pengadilan, ekonomi, pendidikan, sosial, pertahanan-keamanan dan sanksi semuanya didasarkan pada hukum Islam, termasuk di daerah perbatasan.
Strategi Khilafah pada daerah perbatasan, yaitu pada daerah perbatasan ditempatkan militer dalam jumlah yang banyak agar bisa menggetarkan musuh dan melakukan gerakan-gerakan manuver militer guna menguasai daerah musuh dalam rangka menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Begitu pula Khilafah akan menempatkan semua militernya di daerah perbatasan. Sedangkan keamanan dalam negeri ditangani oleh kepolisian Khilafah. Khilafah juga akan member dorongan kepada warga negaranya untuk menjaga daerah perbatasannya dengan mengingatkan atas keutamaan dan pahala yang besar yang akan diterimanya dari Allah SWT.
Sebagaimana hadits Rasul saw, “Menjaga perbatasan sehari-semalam adalah di jalan Allah SWT itu lebih baik dari puasa satu bulan dan malam-malamnya, mendapat rizki dari sisi Allah swt, dan aman dari fitnah dunia akhirat.” (HR. Thabrani)
Dari segi politik luar negeri. Politik luar negeri Khilafah akan bertumpu pada penyebaran Islam dengan dakwah dan jihad, sehingga Khilafah akan memperkuat militernya. Pada fase ini Khilafah akan memobilisasi jihad ofensif dalam rangka futuhat. Salah satu manuver yang akan dilakukan adalah dengan membuat pangkalan-pangkalan militer di pulau-pulau yang tidak bertuan yang terlebih dahulu diintegrasikan menjadi wilayahnya. Dari pangkalan-pangkalan militernya ini Khilafah akan melakukan serangan militer secara massif dalam futuhat.
Di samping itu, Khilafah akan memperluas daerah perbatasannya sehingga Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam terwujud. Hanya saja yang perlu diingat perang adalah jalan terakhir, sebelumnya telah dilakukan dakwah kepada negara kufur agar masuk Islam atau menjadi bagian wilayah Khilafah Islam. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al Anfal ayat 60 yang artinya, “Dan persiapkanlah olehmu segala macam kekuatan apa saja yang kamu miliki dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk menggetarkan musuh-musuh Allah dan musuh-musuhmu.”
Dengan demikian, wahai penduduk negeri! Tidakkah nampak jelas kerusakan, kesenjangan, ketidakadilan, kemerosotan, dan penjajahan atas negeri ini akibat penghambaan kepada sistem Kapitalisme Sekuler? Marilah sejenak berpikir, kemudian bergerak dan berupayalah untuk membenahi negara ini menuju kemuliaan yang agung yaitu penerapan Islam secara total demi terwujudnya kedaulatan yang hakiki. Wallahu a’lam bish shawab.
(Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial Ekonomi Islam)
Polemik Natuna hingga kini masih belum terselesaikan. Adapun Cina mendorong Indonesia untuk mengutamakan hubungan bilateral yang sudah terjalin selama hampir 70 tahun ketimbang berselisih. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang, mengatakan Beijing dan Jakarta telah berdialog melalui jalur diplomatik dalam menyelesaikan perbedaan kedua negara dalam melihat kisruh di perairan yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan tersebut.
“Terkait beberapa perkembangan isu perairan belakangan ini, Cina-Indonesia telah berkomunikasi melalui jalur diplomatik. Cina-RI adalah mitra strategis terpadu. Persahabatan dan kerja sama di antara kami adalah yang utama, sementara perbedaan hanyalah percabangan,” kata Geng dalam jumpa pers di Beijing pada Selasa (7/1).
Geng menuturkan Cina selalu memandang hubungan bilateral dengan Indonesia dari perspektif strategis dan jangka panjang. Ia berharap Indonesia juga akan melakukan hal serupa. (CNN Indonesia, Rabu, 8/1/2020)
Sejatinya upaya menyelesaikan konflik Natuna hanya melalui diplomasi politik menunjukkan telah tergadainya kedaulatan negeri ini. Terbukti, ketika Cina dengan angkuhnya mengakui bahwa perairan Natuna masih menjadi bagian dari wilayahnya, Pemerintah Indonesia justru tak berkutik dan secara gamblang mengatakan tak ada kapal asing yang masuk ke Natuna.
Melihat kegigihan Cina dalam upaya mengklaim Natuna, sebenarnya tak hanya didasari kekayaan laut yang melimpah namun lebih kepada apa yang lebih besar dan menguntungkan daripada itu, yakni kekayaan SDA berupa cadangan minyak dan gas. Hal ini berdasarkan data Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dalam laporan Asia Maritime Transparancy Initiative, Badan Informasi Sumber Daya Alam dan Energi AS, Laut Cina Selatan memiliki 5,3 triliun meter kubik cadangan gas dan 11 miliar barel minyak. Badan Survei Geologi AS pada 2012 juga memperkirakan 4,5 triliun meter kubik gas alam cair dan 12 miliar barel minyak di bawah Laut Cina Selatan.
Sehingga jelas, Natuna merupakan primadona yang diidam-idamkan untuk dimiliki sendiri. Belum lagi wilayahnya yang strategis berbatasan langsung dengan negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Kamboja, Singapura, Malaysia, Malaysia Timur. Serta berada di jalur pelayaran internasional Hongkong, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
Ketika perampokan baik kekayaan laut maupun alam hingga terancamnya kedaulatan terjadi di depan mata, maka sudah seharusnya pemerintah tegas dengan melakukan upaya manuver militer untuk menakut-nakuti musuh bukan malah lunak selayaknya negara yang sakit. Bahkan secara vulgar mengatakan bahwa Cina adalah negara sahabat. Sungguh ironis!
Inilah akibat terlalu mengagung-agungkan utang berbentuk investasi hingga negara tidak punya taring untuk melawan perampokan serta pencaplokan wilayah. Padahal Cina dengan ambisinya menguasai dunia secara jelas menggunakan metode sistem Kapitalis tersebut untuk membelenggu negeri-negeri kaum Muslimin di dunia termasuk Indonesia.
Sejatinya sistem kapitalisme hanya akan menghantarkan negeri ini menuju kehancuran dengan terlilit utang dan kehilangan kedaulatan. Maka, bisakah berharap kesejahteraan dan kemandirian negeri jika terus mengadopsi sistem kufur ini? Tentu tidak. Untuk itu dibutuhkan solusi sistemik yang mampu menjawab konflik Natuna dengan lugas, tegas, dan paripurna.
Ialah Islam, yang tak sekedar mengatur peribadahan tetapi juga urusan politik pemerintahan. Pertama, pengelolaan kekayaan alam. Dalam hadis riwayat Abu Dawud, Rasulullah saw bersabda, ”Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput/hutan, air dan api.”
Sehingga SDA sejatinya milik rakyat dan negara adalah pihak paling bertanggungjawab mengelola SDA serta mengembalikan hasilnya kepada rakyat. Rasul saw menegaskan dalam sabda beliau, ”Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya (rakyatnya)” (HR. Muslim)
Kedua, larangan mengambil utang maupun investasi dari negara kafir harbi fi’lan. Dalam TQS. An Nisa ayat 141 yang artinya, “… Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”
Allah SWT menegaskan keharaman bagi penguasa kaum Muslimin untuk memberi celah kepada para kapitalis untuk menguasai umat. Sehingga massifnya investasi yang hadir mewarnai pembangunan infrastruktur negeri sangat berbahaya bagi umat. Dengan demikian, umat wajib menolak segala bentuk investasi yan berasal dari negeri kafir penjajah.
Ketiga, penjagaan wilayah dan perbatasan negara. Islam memiliki dua cara untuk menjaga keutuhan wilayahnya. Dari segi politik dalam negeri. Khilafah dalam politik dalam negerinya akan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh dan sempurna dalam segenap bidang kehidupan rakyatnya. Baik dalam bidang agama, politik, pengadilan, ekonomi, pendidikan, sosial, pertahanan-keamanan dan sanksi semuanya didasarkan pada hukum Islam, termasuk di daerah perbatasan.
Strategi Khilafah pada daerah perbatasan, yaitu pada daerah perbatasan ditempatkan militer dalam jumlah yang banyak agar bisa menggetarkan musuh dan melakukan gerakan-gerakan manuver militer guna menguasai daerah musuh dalam rangka menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Begitu pula Khilafah akan menempatkan semua militernya di daerah perbatasan. Sedangkan keamanan dalam negeri ditangani oleh kepolisian Khilafah. Khilafah juga akan member dorongan kepada warga negaranya untuk menjaga daerah perbatasannya dengan mengingatkan atas keutamaan dan pahala yang besar yang akan diterimanya dari Allah SWT.
Sebagaimana hadits Rasul saw, “Menjaga perbatasan sehari-semalam adalah di jalan Allah SWT itu lebih baik dari puasa satu bulan dan malam-malamnya, mendapat rizki dari sisi Allah swt, dan aman dari fitnah dunia akhirat.” (HR. Thabrani)
Dari segi politik luar negeri. Politik luar negeri Khilafah akan bertumpu pada penyebaran Islam dengan dakwah dan jihad, sehingga Khilafah akan memperkuat militernya. Pada fase ini Khilafah akan memobilisasi jihad ofensif dalam rangka futuhat. Salah satu manuver yang akan dilakukan adalah dengan membuat pangkalan-pangkalan militer di pulau-pulau yang tidak bertuan yang terlebih dahulu diintegrasikan menjadi wilayahnya. Dari pangkalan-pangkalan militernya ini Khilafah akan melakukan serangan militer secara massif dalam futuhat.
Di samping itu, Khilafah akan memperluas daerah perbatasannya sehingga Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam terwujud. Hanya saja yang perlu diingat perang adalah jalan terakhir, sebelumnya telah dilakukan dakwah kepada negara kufur agar masuk Islam atau menjadi bagian wilayah Khilafah Islam. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al Anfal ayat 60 yang artinya, “Dan persiapkanlah olehmu segala macam kekuatan apa saja yang kamu miliki dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk menggetarkan musuh-musuh Allah dan musuh-musuhmu.”
Dengan demikian, wahai penduduk negeri! Tidakkah nampak jelas kerusakan, kesenjangan, ketidakadilan, kemerosotan, dan penjajahan atas negeri ini akibat penghambaan kepada sistem Kapitalisme Sekuler? Marilah sejenak berpikir, kemudian bergerak dan berupayalah untuk membenahi negara ini menuju kemuliaan yang agung yaitu penerapan Islam secara total demi terwujudnya kedaulatan yang hakiki. Wallahu a’lam bish shawab.