Ilustrasi Foto Banjir/kompas.com |
Kalimantan Timur (Kaltim) meski sebagai Ibu Kota Negara (IKN) baru diwacanakan tanpa merusak lingkungan. Namun, tetap ada kekhawatiran ancaman kerusakan lingkungan, terutama dari pemerhati lingkungan.
Sebagaimana yang diberitakan dalam sebuah media online (berau.prokal.co, 30/12/2019) berjudul "Bangun IKN Bahaya Banjir Mengintai". Terutama yang ada di Teluk Balikpapan, pasalnya, hingga kini belum ada publikasi secara resmi mengenai analisis dampak lingkungan (Amdal) terkait pemindahan IKN ke Kaltim.
Pengamat tata kota dan wilayah dari Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Farid Nurrahman menilai desain perencanaan yang sudah diumumkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dipastikan mengganggu ekosistem bakau di Teluk Balikpapan. Dia juga mengatakan selama ini, pembahasan mengenai Amdal seakan tak pernah disinggung.
Kepala DLH PPU Wahyudi Nuryadi menuturkan pihaknya sudah pernah dilibatkan untuk membahas Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), sebelum Presiden mengumumkan calon IKN baru. Pertemuan di Balikpapan yang melibatkan sejumlah daerah terkait akan terdampak IKN namun belum ada kelanjutan.
Selain itu, berdasarkan laporan Koalisi Masyarakat Sipil, salah satunya Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang dituangkan dalam laporan “Ibu Kota Baru Buat Siapa?” Dalam laporan itu, keberadaan ekosistem bakau pada hulu Teluk Balikpapan turut tercakup dalam wilayah IKN atau ring dua terancam keberadaannya.
Rencana pembangunan ring satu IKN yang tepat berada di atas ekosistem bakau primer sudah diusulkan dan direkomendasikan sebagai kawasan konservasi. Artinya, pembangunan dan aktivitas yang merusak ekosistem bakau merupakan pelanggaran terhadap Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Kebijakan Pejabat Sarat Kepentingan Korporat
Demikian berita yang disarikan dari (Berauprokal.co). Mengetahui berita tersebut menjadi pertanyaan bagi penulis khususnya. Bagaimana rencana IKN yang katanya ramah lingkungan, namun dari sisi prediksi kerusakan lingkungan tidak diperhatikan? Malah tidak ada tindaklanjut dari kajian lingkungan hidup termasuk mempublish Amdal.
Sebagai penulis hanya memberikan pandangan sesuai kapasitasnya. Tentu hal tersebut bisa terjawab dari keberpihakan kebijakan dan undang-undang yang dibuat.
Memang sempat ada wacana penghapusan Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan IMB (Ijin Mendidikan Bangunan) untuk memudahkan investasi. Wacana tersebut dikemukakan Kementerian Agraria Tata Ruang (ATR)/BPN. Pemerintah beralasan, penghapusan tersebut agar mempermudah usaha. Pemerintah bahkan telah memasukan aturan tersebut dalam skema perundangan omnibus law. (Nasionalkompas.co,26/11/2019)
Analis penulis kebijakannya mempermudah investasi menunjukkan pejabat berjiwa korporat. Berawal dari ijin dan undang-undang tentang kebolehan membabat SDAE atas nama investasi. Akhirnya, eksploitasi pun marak, baik legal berupa korporasi (perusahaan besar atau badan usaha hukum yang sah) apalagi ilegal. Akibatnya, lingkungan pun rusak semakin marak.
Ditambah tata kelola dalam penataan ruang yang materialis tanpa analisis yang memperhatikan lingkungan. Ijin pun bisa didapat tanpa syarat dan sanksi berat jika melanggar bahkan dibiarkan. Akhirnya, kalau perusahaan mereka bebas menyumbang polusi dan limbah. Kalau pertambangan melanggar zonasi di dekat pemukiman warga bahkan diberitakan ada yang dekat lingkungan sekolah (kaltimporokal.co, 22/11/2019).
Belum lagi lubang bekas tambang yang sudah memakan banyak korban. Sedangkan kalau perumahan terjadi kesenjangan sehingga terlihat kumuh bagi warga miskin dan mewah bagi si kaya.
Miris, melihat kebijakan dan tata kelola pejabat saat ini, wajar sebenarnya banjir diundang. Percuma jika pejabat sibuk dalam perkara teknis menangani banjir dalam keadaan tata ruang dan tata kelola SDAE yang masih materialis liberalistik. Persoalan banjir sudah termasuk dalam perkara sistemik ideologis tidak lagi teknis. Perlu pejabat dan sistem yang tidak lagi terikat dengan konglomerat dan berjiwa korporat.
Kebijakan Penguasa Islam Atasi Banjir
Islam memberikan solusi untuk mengatasi kerusakan lingkungan dengan fokus pada akar masalah penyebab segala kurusakan lingkungan. Islam akan menghentikan tata kelola SDAE liberalistik dengan mengembalikannya kepada tata kelola SDAE Islam.
Islam melarang kepemilikan SDAE dikuasai oleh individu, swasta, atau asing. SDAE dalam Islam adakah kepemilikan umum dan dikuasai oleh negara untuk kesejahteraan umat. Kebijakan SDA dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari penerapan Islam secara totalitas dalam Khilafah Islamiyah.
Khilafah Islamiyyah memiliki kebijakan canggih dan efisien untuk mengatasi banjir dan genangan. Kebijakan tersebut mencakup sebelum, ketika, dan pascabanjir. (muslimahnews.co, 6/1/2020)
Kebijakan untuk mencegah banjir dapat disarikan sebagai berikut. Pertama, banjir karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, Khilafah akan membangun bendungan yang mampu menampung curahan air dari aliran sungai, curah hujan, dan lain sebagainya.
Khilafah akan memetakan daerah rendah yang rawan genangan air dan melarang membangun di sana atau jika dana cukup Khilafah akan membangun kanal-kanal baru atau resapan agar air yang mengalir di daerah tersebut bisa dialihkan alirannya, atau bisa diserap oleh tanah secara maksimal. Dengan cara ini, maka daerah-daerah dataran rendah bisa terhindar dari banjir atau genangan.
Adapun daerah pemukiman yang awalnya aman dari banjir dan genangan, namun sebab tertentu terjadi penurunan tanah sehingga terkena genangan atau banjir, maka Khilafah akan berusaha semaksimal mungkin menangani genangan itu. Jika tidak memungkinkan, Khilafah akan mengevakuasi penduduknya, dipindahkan ke daerah lain dengan memberikan kompensasi.
Secara berkala, Khilafah mengeruk lumpur di sungai atau daerah aliran air agar tidak terjadi pendangkalan. Khilafah akan melakukan penjagaan ketat kebersihan sungai, danau, dan kanal dengan cara memberikan sanksi bagi siapa saja yang mengotori atau mencemarinya. Khilafah juga membangun sumur resapan di kawasan tertentu yang sewaktu-waktu juga bisa digunakan untuk kemarau.
Kedua, dalam aspek undang-undang dan kebijakan
Khilafah akan membuat kebijakan tentang master plan, di mana ditetapkan sebuah kebijakan pembukaan pemukiman atau kawasan baru harus menyertakan variabel-variabel drainase, penyediaan daerah serapan air, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya. Dengan kebijakan ini, Khilafah mampu cegah kemungkinan banjir atau genangan.
Khilafah akan mengeluarkan syarat tentang izin pembangunan bangunan namun tidak menyulitkan rakyat. Bahkan Khilafah akan menyederhanakan birokrasi dan menggratiskan surat izin pendirian bangunan. Hanya saja, jika pendirian bangunan di lahan pribadi atau lahan umum, bisa mengantarkan bahaya (madlarah), maka Khalifah diberi hak untuk tidak menerbitkan izin pendirian bangunan. Khilafah juga akan memberi sanksi bagi yang melanggar kebijakan tersebut tanpa pernah pandang bulu.
Khilafah akan membentuk badan khusus yang menangani bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat, evakuasi, pengobatan, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana. Selain itu, petugas lapangan dilengkapi pengetahuan yang cukup tentang SAR (search and rescue), serta keterampilan untuk penanganan korban. Mereka diharuskan siap sedia setiap saat dan dibiasakan untuk bergerak cepat ketika ada bencana atau musibah.
Khilafah menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai daerah cagar alam yang harus dilindungi. Khilafah juga menetapkan kawasan hutan lindung dan kawasan buffer yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan izin. Khilafah menetapkan sanksi berat bagi yang merusak lingkungan hidup. Khilafah juga mendorong kaum Muslim untuk menghidupkan tanah mati atau kurang produktif.
Selanjutnya dalam menangani korban bencana alam
Khilafah akan segera bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga terdekat. Khilafah menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan. Selain itu, Khalifah akan mengerahkan para alim ulama untuk memberikan taushiyyah bagi korban agar mereka mengambil pelajaran sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal.
Demikianlah kebijakan penguasa Islam dan sistem Khilafah Islamiyyah mengatasi banjir. Kebijakan tersebut tentu berbeda dengan sekarang yang pandangannya mengedepankan nafsu sehingga SDA dibabat tanpa peduli aturan Ilahi.
Wallahu'alam...