Natuna! Ujian Kedaulatan Wilayah Perairan Indonesia Dalam Berdemokrasi

Ridhmedia
04/01/20, 06:24 WIB
Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam Dosen dan Pengamat Politik

Tolak Protes RI, China Klaim Kedaulatan di Dekat Natuna. China menolak protes Indonesia yang menuding kapal ikan Tiongkok sempat memasuki perairan Natuna, Kepulauan Riau, secara ilegal baru-baru ini. Beijing menegaskan bahwa pihaknya memiliki kedaulatan di wilayah Laut China Selatan dekat perairan Natuna, Kepulauan Riau, sehingga kapal-kapalnya boleh berlayar dengan bebas di kawasan tersebut. Menurut  juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang,  China memiliki kedaulatan atas Kepulauan Nansha dan memiliki hak berdaulat dan yurisdiksi atas perairan dekat dengan Kepulauan Nansha (yang terletak di Laut China Selatan. Ia menyampaikan hal tersebut dalam jumpa pers rutin di Beijing pada Selasa (31/12), seperti dikutip dari situs Kementerian Luar Negeri China. Geng menegaskan China juga memiliki hak historis di Laut China Selatan. Menurutnya, nelayan-nelayan China telah lama melaut dan mencari ikan di perairan itu dan sekitar Kepulauan Nansha, yang menurut Indonesia masih merupakan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Padahal, klaim China atas perairan yang menjadi jalur utama perdagangan internasional itu juga tumpang tindih dengan sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Geng juga berdalih bahwa kapal yang berlayar di kawasan itu baru-baru ini adalah kapal penjaga pantai China yang tengah melakukan patroli rutin.

Namun Kemlu RI menolak "klaim unilateral" China tersebut dan melayangkan protes kepada China. Menurut Kemlu RI Klaim historis China atas ZEE Indonesia dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral menurutnya tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982. Argumen ini telah dibahas dan dimentahkan oleh Keputusan SCS Tribunal 2016. Meski berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, Indonesia tidak memiliki sengketa wilayah dengan China di perairan tersebut. Namun, Indonesia merupakan salah satu negara yang mendukung kode etik Laut China Selatan segera diterapkan.Kode etik itu dibentuk sebagai pedoman negara-negara bertindak di perairan kaya sumber daya alam tersebut demi mencegah konflik. (cnnindonesia, Rabu 01/01/2020).

Lemahnya Kedaulatan Perairan Indonesia dalam Demokrasi.

Peristiwa hadirnya kapal China ke wilayah perairan Indonesia di Natuna memang harus dipertanyakan secara hukum. Sebab, batas-batas wilayah  (ZEE) suatu Negara sudah ditetapkan oleh PBB masing-maisng negara.  Lalu, kenapa China begitu berani mengkalim bahwa wilayah nine dash-line adalah wilayah unilateral? Adakah China punya dasar regulasi yang sah dimata PBB?

China begitu sombong telah  menolak protes Kemlu RI dengan mengajukan alasan-alasan yang menurut China  adalah benar dalam hukum internasional. Meskpipun UNCLOS 1982 telah menetapkan batas-batas zone ekonomi eklsufif (ZEE), dan SCS Tribunal tahun 2016 menetapkan batas perairan Indonesia di Natuna, namun China kelihatannya tidak peduli. Apalagi pemilik pulau yang berbatasan dengan Perairan laut China Selatan itu adalah Indonesia. 

Secara hukum demokrasi, setiap Negara berhak mengajukan batas-batas wilayah darat dan laut untuk ditambah dengan alasan politik tertentu. Tapi ironisnya, itu tidak akan berlaku bagi negeri-negeri yang meyoritas penduduknya muslim (tanah kaum muslimin). Lihat saja semua wilayah darat  dan perairan  kaum muslimin dibagi sekehendak kaum kapitalis. Tanah dan perairan seakan-akan disetting harus mengerucut, sementara wilayah cengkaraman dan pendudukan Negara-negara adidaya cenderung melebar. Bukanka hal tersebut membuktikan bahwa imprealisme tetap berjalan meskipun bukan dengan senjata bagi sebagain Negara? Khususnya Indonesia.

Keputusan tahun 2016 yang telah diambil untuk batas wilayah perairan Natuna, sangatlah mudah dicap sebagai milik sebagian China. Dengan dalil kepemilikan unilateral meski Indonesia tidak mengakuinya.  Sebab, faktanya kelak akan menunjukkan bahwa Negara –negara kuat lah yang akan menguasainya. Antara Indonesia, Filifina, Malaysia, Brunai dan Vietnam , dan China yang punya kekuatan besar adalah China sendiri. Selebihnya lemah dan tak berdaya tanpa instruksi Barat, seeprti Amerika dan Inggris. Itu artinya, unilatareal hanya akan menguntungkan pihak China. Sehingga China begitu berani berlayar dan mencaplok sebgain wilayah Natuna.

 Seperti kata sebagian pengamat hubungan internasioal, bahwa konflik perairan Natuna dengan China dapat merusak relasi bilateral kedua Negara. Ketika Indonesia ingin menunjukkan ketegasan kepada China, secara ekonomi Indonesia begitu tergantung kepada Tiongkok dengan hutang Luar negerinya yang kini mencapai puluhan juta Dolar. Akibatnya, keengganan bertindak tegas pasti muncul dari Indonesia. Hingga militer angkatan laut Indonesia pun seperti  dilemma dalam bertindak.  Begitu juga sebaliknya, jika China  bersikeras melawan Indonesia, bukankah China memilki investasi dan kepentingan ekonomi juga imigrasi di Indonesia? Maka keduanya memilih kompromi yang ditempuh.  Akankah batas nine dash-line itu akan diperbaharui lagi demi keharmonisan China-Indonesia? Jika menyerahkannya kembali ke PBB untuk mengakhiri ketegangan, dan diambil keputusan yang menguntungkan Negara komunis China, bukankah ini berarti Indonesia telah kehilangan kedaulatan mempertahankan setiap jengkal batas perairan negeri ini?

 Hukum demokrasi yang diterapkan oleh Negara-negara imprelials hanya tameng untuk merampok dan mengadu domba. Jelas-jelas Barat juga akan mengambil keuntungan konflik perbatasan perairan. Secara, Indonesia adalah wilayah paling seksi untuk investasi dan masa depan kedua Negara besar tersebut. Betapa meruginya Indonesia jika menyerahkan urusan ini kepada PBB dengan demokrasinya.

Islam Mengatur Batas Wilalayah Negara

Indonesia pernah menjadi macam Asia ketika dimasa Presiden Soeharto. Kala itu, Indonesia masih diakui kekuatan maritimnya.  Itu baru di bawah kepeimimpinan Soeharto. Bagaimana jika Indonesia di bawah naungan syariat Islam? Bukankah Nusantara ini pernah menjadi bagian dari penerapan syariat Islam? Armada-armada lautnya juga terkenal tangguh? Dan tidak akan memberi ruang sedikitpun bagi musuh untuk mencaplok batas perairan wilayah kerajaan Islam Nusantara.  Dalam perspektif hubungan interansional, Islam memandang bahwa Negara harus punya posisi yang jelas dengan Negara lain. Hanya ada dua pilihan, sekutu atau musuh. Tidak yang lain. Jika sekutu, maka bilateral terkait perjanjian damai dalam rentan waktu yang disepakati dan boleh melakukan kerjasama perdagangan. Namun jika negara musuh, mutlak tidak ada perjanjian dan kerjasama apapun.

Islam menetapkan bahwa yang berhak memberi batas-batas wilayah Negara yang dikusasi oleh Islam adalah hasil “futuhat”. Tidak akan ada perundingan damai apalagi menyerahkan tanah yang ditaklukkan ummat Islam dengan jihad diserahkan kepada Negara musuh. Banyaknya wilayah hasil futuhat akan otomatis menambah luas wilayah Negara dalam Islam sekaligis perairannya. Batas-batas darat dan laut akan dijaga oleh para militer yang amanah, taqwa dan tangguh. Sebab tugas mereka adalah menjaga tiap jengkal wilayah kaum muslimin. Dan itu sebuah kewajiban yang besar.

Bukankah sangat berbeda  jauh dengan demokrasi?  Sistem  demokrasi yang membawa ide tenar kepaitalisme telah membuat posisi negeri kaum muslimin dalam ketidakpastian. Tidak punya kedaulatan menetukan batas wilayah darat dan lautnya tanpa bantuan dan keputusan PBB . Tidak boleh terjadi penambahan wilayah karena perang (jihad)dihapuskan bagi ummat Islam. Tapi Negara-negara kafir adidaya boleh menguasai, dan mengurangi batas-batas wilayah kaum muslimin. Mereka telah membagi-bagi, dan hanya mereka juga yang berhak mengurangi serta menguasainya. Betapa tidak akan ada kedaulatan bagi Idnonesia jika masih bertahan dalam sistem demokrasi yang tidak pasti. Negara besar ini tidak akan pernah diberi musuh oleh Amerika dan China secara politik. Mereka justrua kan terus menawarkan bantuan-bantuan yang sesungguhnya racun untuk melemahkan rakyatnya dan menguasai tanah dan lautnya. Tidak aka n ada teman dan musuh sejati dalam pandangan demokrasi kapitalis. Hanya ada kepentingan yang abadi bagi masing-masing Negara. Harusnya, kejadian yang berulang dari China mendikte Indonesia di darat dan di laut menjadi ajang penyadaran bahwa Indonesia kini sedang  tidak berdaulat di mata dunia. Keselamatan neegri ini berada ditangan seleuruh lapisan masyarakat yang seharusnya bersatu menyelamatkan negeri dengan menerapkan Islam demi kedaulatan sejati. Wallahu a’alam.
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+