Oleh: Tony Rosyid
Ini bukan soal minat atau tidak minat. Siapa sih yang tak ingin jadi ketua umum PDIP? Dua kali berturut-turut jadi pemenang pemilu. Punya 128 kursi di DPR. Dan menjadi partai yang sukses mengusung presiden dua periode.
Diantara kader yang tersedia, Jokowi adalah yang terpopuler, paling berpengaruh, mungkin juga paling kuat logistiknya. Dua periode jadi presiden tak diragukan aksesnya, termasuk akses dukungan dan logistik.
Masalahnya, PDIP punya estafet kepemimpinan yang otoritasnya digenggam oleh trah Soekarno. Meski tak tak tertuang dalam AD/ART. Bung Karno, panggilan akrab presiden pertama ini, telah menjadi icon kuat partai banteng ini. Tanpa Icon Bung Karno, solidaritas kader PDIP tak mudah untuk disatukan.
Pasca Megawati, ada dua trah Soekarno dari garis keturunan Megawati yang sudah berkiprah di dunia politik, yaitu Muhammad Prananda Prabowo dan Puan Maharani. Satu ibu, beda ayah. Puan lebih populer dan kenyang pengalaman politiknya. Pernah jadi menteri dan sekarang menjadi Ketua DPR. Track recordnya cukup untuk menggantikan posisi Megawati sebagai ketua umum.
Dalam situasi normal, hampir tak mungkin ada celah bagi Jokowi untuk merebut posisi ketua umum PDIP. Megawati terlalu kuat untuk dilawan oleh siapapun. Dan Mega pasti akan mengamankan proses suksesi di tubuh partai. Puan kandidat paling potensial. Jokowi? Berat!
Apalagi hubungan Megawati dan Jokowi kurang harmonis. Keadaan ini bisa dilihat dari struktur kabinet yang disusun Jokowi. PDIP selalu dapat jatah di bawah ekspektasi. Selain itu, keduanya juga seringkali berbeda calon saat pilkada. Ada juga yang menduga, dalam sejumlah kasus, keduanya saling sandera.
Anak Jokowi yang saat ini mau calon walikota Solo saja, belum dapat dukungan dari PDIP. Malah hubungannya cenderung memanas. Terutama antara Gibran, anak Jokowi dengan pimpinan PDIP di Solo.
Berbeda jika situasi di dalam PDIP tidak normal. Megawati mangkat, ini misalnya. Namanya juga misalnya. Umur tak ada yang tahu. Dan saat itu posisi Jokowi masih jadi presiden. Dengan kekuasaan dan pengaruhnya, Jokowi akan punya peluang besar. Jokowi bisa dengan relatif mudah untuk ambil posisi ketua umum PDIP.
Atau seandainya PDIP dalam kondisi berantakan. Kasus e-KTP dan OTT suap komisioner KPU ternyata liar dan tak terkendali. Dalam perkembangannya menyasar sejumlah elit PDIP. Lalu terjadi konflik internal dan PDIP rontok. Ini juga misalnya. Jika situasinya begitu, Jokowi juga akan punya peluang besar. Jokowi berkesempatan untuk didorong sebagai juru selamat partai. Seperti kasus Jusuf Kalla saat ambil alih Golkar dari Akbar Tanjung.
Situasi tak normal memang tak bisa jadi pegangan. Jika toh ada kemungkinan, tetap saja unpredictable. Maka, yang paling memungkinkan bagi Jokowi agar nantinya tetap bisa eksis di panggung politik pasca presiden adalah membuat partai baru. Mengingat usia Jokowi juga masih relatif muda.
Partai bagi Jokowi bisa menjadi sarana untuk proses regenerasi dan menyiapkan pewarisnya. Apalagi anak dan menantu Jokowi sudah memilih untuk terjun di dunia politik. Artinya, Jokowi sadar bahwa ia dan ahli warisnya butuh partai politik.
Bagaimana dengan PSI? Rumor yang beredar, oleh para pemilik modal, PSI semula disiapkan buat Jokowi. Sayangnya, PSI tak berhasil lolos parliamentary threshold (4%). Ini diantaranya karena Jokowi tak leluasa endorse PSI. Posisinya masih berada di PDIP. Maka satu-satunya hal yang menguntungkan bagi Jokowi adalah jika situasi tidak normal terjadi di PDIP. Saat itulah Jokowi berpeluang untuk akuisisi PDIP.
Meski Puan Maharani telah disiapin sebagai putri mahkota, tetap saja tak akan sanggup melawan kekuasaan Jokowi plus para Jenderal merah. Lalu, mungkinkah Jokowi akan bermanuver untuk membuat kondisi PDIP tidak normal?