RIDHMEDIA - Optimistis panen melimpah sudah terasa di raut wajah Ali. Petani asal Kelurahan Karangrejo, Sumbersari, tersebut begitu semangat menyongsong musim tanam pertama di awal 2020 ini. Pagi-pagi betul, dia ke sawah bersama buruh tani lainnya. Satu petak sawah dengan air menggenang itu sudah siap untuk ditanami padi.
Ali pun tidak sadar dan tidak tahu soal pupuk. Baginya, persoalan pupuk aman-aman saja seperti sebelum-sebelumnya. Wajar, Ali adalah bagian dari ribuan petani yang belum tahu tentang kebijakan pemotongan alokasi pupuk bersubsidi di Jember hingga mencapai 50 persen.
Ketua Himpunan Kelompok Tani Indonesia (HKTI) Jember Jumantoro kepada Jawa Pos Radar Jember mengatakan, informasi tentang alokasi pupuk bersubsidi itu berkurang hingga mencapai 50 persen tidak semua petani yang paham. “Sekarang ini petani disibukkan dengan musim tanam. Coba nanti satu minggu ke depan, akan kacau. Kios penjual pupuk subsidi akan ramai dan rebutan pupuk dan saling tuduh akan bermunculan,” paparnya.
Walau begitu, tidak sedikit petani hingga kios penjual pupuk bertanya dan protes kepadanya. Jumantoro, yang juga sebagai distributor pupuk bersubsidi, terus mencoba untuk menjelaskan agar tidak terjadi buruk sangka. Tapi tetap saja, saat petani butuh pupuk, akan ada muncul prasangka buruk.
Jumantoro menuturkan, penurunan alokasi pupuk subsidi hingga separuh tersebut dirasa terlalu ekstrem. “Karena bukan kedaulatan pangan yang didapat, tapi kehancuran pangan yang kian dirasakan. Petani diminta untuk meningkatkan produksi, tapi pupuk subsidinya dikurangi. Ini hal yang tidak masuk akal,” paparnya.
Pengurangan pupuk subsidi, menurut Jumantoro, seperti membunuh petani perlahan-lahan. Bukan soal penurunan produktivitas semata, atau kerugian secara finansial. Tapi juga akan semakin sulit mencari generasi yang ingin jadi petani. “Inilah salah satu kenapa sektor pertanian semakin tak diminati. Karena sektor pertanian semakin tidak jelas keberpihakan pemerintah,” tuturnya.
Jika sektor pertanian demikian terus, maka menurut Jumantoro, bisa jadi bukan petani yang menggarap lahan pertaniannya. Tapi perusahaan besar. “Karena pemuda tidak mau jadi petani, lebih bangga jadi kuli dengan bayaran dan gaji pasti. Akhirnya sektor pertanian mati, pemilik tanah hanya jadi penonton saja,” paparnya.
Pria asal Arjasa itu mengatakan, petani masih membutuhkan pupuk bersubsidi karena rentang harga dengan pupuk nonsubsidi terlalu jauh. Jika urea bersubsidi harga per kuintal Rp 180 ribu, maka pupuk urea nonsubsidi antara Rp 600 ribu. Ditambah lagi, hasil panen petani harganya juga tidak ada kepastian. Bahkan, ada juga petani yang memilih tidak usah dipupuk dan biar tidak ada hasil memuaskan sekalian.
Bagi Jumantoro, penurunan alokasi pupuk subsidi ini juga rawan konflik. Kata dia, kalau urusan perut sudah lapar, apa saja dilakukan. Sehingga penurunan alokasi pupuk bisa jadi potensi naiknya kejahatan. Untuk itu, dia berharap kepada pemerintah daerah melalui Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KP3) segera menyampaikan surat penambahan alokasi pupuk bersubsidi seperti tahun kemarin.
Perihal apakah mampu pertanian Jember diarahkan ke pertanian pupuk organik agar tidak ketergantungan dengan pupuk kimia, menurut Jumantoro, untuk menuju pertanian organik itu perlahan. Tidak cepat secepat membalikkan tangan. Jika kebijakan pengurangan alokasi pupuk subsidi untuk menuju pertanian organik, hal itu disebutnya konyol. “Pertanian organik itu prosesnya panjang dan perlu pendampingan terus. Pupuk organik yang disediakan pemerintah saja, petani kalau tidak dipaksa tidak mau beli,” paparnya.
Reporter : Dwi Siswanto
Sumber: RADARJEMBER.ID