Oleh:Hidayat Matnoer
BANJIR ekstrem melanda Jakarta pada 1 Januari 2020 dan diprediksi akan terjadi sampai 4 hari ke depan.
Banjir 2020 ini dinyatakan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sebagai banjir tertinggi sejak 154 tahun lalu, berdasarkan perhitungan zaman kolonial belanda di Kwitang Senen pada 1866 dengan curah hujan 185.1 mm/hari. Tahun 2020 ini curah hujannya ektrem: 377 mm/hari.
Kejadian Banjir 2020 ini adalah bukti jelas gagalnya warning system BMKG dalam mengantisipasi hujan yang ekstrem.
Rekam Jejak BMKG
Pada Selasa, 31 Desember 2019, BMKG melalui rilisnya memantau adanya potensi hujan lebat disertai angin kencang dari aktivitas sirkulasi siklonik di perairan barat Sumatra (925/850mb) dan di utara Australia (925/850mb).
Namun BMKG gagal memberikan informasi bahwa hujan yang turun di Jakarta tersebut adalah hujan superektrem terburuk dalam sejarah BMKG. Hujan superekstrem tersebut pasti akan menyebabkan banjir besar.
Padahal BMKG telah meluncurkan Program Initiative on Maritime Observation and Analysis (Indonesia Prima) dengan mengirim tim ekspedisi ke Samudera Hindia selama 29 hari pada 12 November-10 Desember 2019 lalu.
Pengiriman tim ekpedisi BMKG tersebut untuk meningkatkan akurasi pemodelan perkiraan cuaca dan iklim dengan mengumpulkan data lebih mendalam dari laut dan samudera.
Tidak hanya itu, tim BMKG tersebut juga telah diperkuat dengan tim NOAA, NASA, dan JAMSTEC menggunakan kapal riset Baruna Jaya 1 yang dengan bangga dilepas oleh Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dengan mengatakan bahwa iklim Indonesia dipengaruhi oleh Samudra Hindia dan Pasifik.
BMKG Sigap dengan Anggaran Terbatas
Kepala BMKG ingin menyampaikan pesan ke publik bahwa "kami sigap meski anggarannya terus disesuaikan".
Kebutuhan anggaran BMKG 2019 mencapai Rp 2,69 triliun, namun anggaran yang dialokasikan hanya Rp 1,70 triliun. Pada 2017, dari kebutuhan Rp 2,56 triliun, anggaran yang diberikan Rp 1,45 triliun. Begitu juga pada 2016, dari kebutuhan Rp 2,2 triliun, anggaran yang diberikan Rp 1,3 triliun saja
Lemahnya Sistem Deteksi Dini Bencana
Meski sejumlah langkah telah dilakukan namun menjadikan BMKG sebagai warning system cuaca ekstrem ternyata masih merupakan mimpi besar bangsa ini.
Kegagalan warning system BMKG ini menyebabkan banyak korban di antaranya minimal 16 orang dinyatakan meninggal, kerusakan bangunan warga dan infrastruktur publik, juga hancurnya puluhan kendaraan pribadi dan mengungsinya sekitar 19.000 jiwa penduduk ibukota.
Sebelumnya, Desember 2018, BMKG juga menjadi sorotan publik karena gagal memberikan deteksi dini tsunami di Selat Sunda. Alat deteksi dari hibah BPPT tersebut dinyatakan sudah hilang jauh sebelum musibah terjadi dan BMKG tidak menganggarkannya.
Kasus Tsunami di Donggala-Palu pada September 2018 juga sama. Sistem deteksi dini tsunami tidak berfungsi sehingga masyarakat tidak mampu mengantisipasi.
Penyebab Sistem Deteksi Dini Malfungsi
Setidaknya ada empat penyebab kenapa sistem deteksi dini gagal.
Pertama, politik anggaran yang salah strategi.
Sebagai negara dengan tingkat kerawanan bencana tertinggi di dunia, anggaran di desain hanya untuk merespons ketika bencana telah terjadi. Ini yang disebut sistem anggaran pemadam kebakaran yang bertumpu kepada anggaran tanggap darurat pascabencana (BNPB).
Ke depan, kita memerlukan politik anggaran yang bersifat holistik dan preventif atau antisipatif terhadap empat bencana utama yaitu Gunung Meletus (PVMBG), Gempa, Tsunami (BNPB) dan Banjir-Longsor (BMKG).
Institusi riset, lembaga pendeteksi dini bencana serta lembaga penanggulangan darurat perlu diintegrasikan dalam satu kelembagaan. Upaya koordinasi dan pertukaran data informasi antara BMKG, PVMBG, BNPB, BPPT, dan LIPI menjadi efektif jika di bawah satu atap kelembagaan.
Kedua, tidak terbukanya lembaga seperti BMKG terhadap permasalahan teknis dan SDM.
BMKG harus membuka diri terhadap permasalahan teknis dan SDM, termasuk tidak terlatihnya SDM dengan alat yang canggih. Bila BMKG mau membuka diri dan bekerja sama maka alat deteksi dini bisa ditambah sehingga potensi bencana dengan akurat dapat diketahui.
Ketiga, pelaksanaan good governance yang lemah.
Pengadaan alat yang tidak didasarkan prioritas dan kebutuhan dapat diduga ada konflik interest di dalamnya.
Keempat, tidak sustain-nya kerja sama internasional dengan lembaga mitigasi bencana domestik.
Kerja sama dilakukan bila terjadi bencana. Setelah bencana mereda, kerja sama pun selesai.
Kita menginginkan earlywarning system bencana yang andal dan kredibel. Bila BMKG dan seluruh lembaga lainnya berfungsi sebagaimana mesti, banyak kerugian yang dapat diminimalkan.
Tidak hanya hujan-banjir-longsor, tapi termasuk mitigasi kebakaran hutan dan lahan serta rekayasa cuaca di daerah padat penduduk dan tempat usaha.
Semoga.
(Pengamat Kebijakan Publik dan Ka Bem UI 2003-2004.)