RIDHMEDIA - Di tengah alasan pemerintah tekor menanggung beban iusan BPJS dan menaikkan iuran BPJS hingga 100 persen, ternyata fakta paradoks terjadi: jajaran direksi BPJS mendapatkan insentif Rp 342,56 juta per orang per bulan atau Rp4,11 miliar per orang untuk setiap direksi.
Gelontoran dana besar dengan judul “uang insentif” juga didapatkan anggota Dewan Pengawas BPJS yang mencapai Rp 211,14 juta per bulan per orang atau Rp2,55 miliar per orang per tahun.
Hal itu diungkapkan anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Golkar, Dewi Asmara, dalam rapat di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Senin, 20 Januari 2020.
“Kami meminta BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan melakukan efisiensi, salah satunya pada anggaran operasional,” kata Dewi.
Dewi menyebut, pada 2020 dana operasional BPJS Kesehatan diperkirakan Rp 4,07 triliun.
Merujuk Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) BPJS Kesehatan, menurut Dewi, beban insentif untuk direksi sebesar Rp 32,88 miliar.
“Kalau dibagi delapan anggota direksi maka setiap direksi mendapat insentif Rp 4,11 miliar per orang per tahun. Atau Rp 342,56 juta tiap orang per bulan. Selain itu, beban insentif untuk Dewan Pengawas BPJS rata-rata Rp 2,55 miliar per orang per tahun atau Rp 211,14 juta per bulan,” katanya.
Ketika BPJS Kesehatan mengalami defifit, kata Dewi, seharusnya BPJS melakukan penghematan.
“Misalnya efisiensi anggaran operasional,” katanya.
Dalam rapat tersebut sebagian besar anggota Dewan menyoroti langkah BPJS Kesehatan menaikkan tarif iuran bagi Peserta Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja Kelas III. Di sisi lain, pejabat BPJS terkesan royal mengeluarkan uang untuk jajaran direksi dan pengawas.
Dalam rapat sebelumnya, anggota DPR menolak rencana pemerintah menaikkan premi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk kelas tersebut sampai pemerintah menyelesaikan data cleansing.
DPR juga mendesak pemerintah untuk mencari cara lain dalam menanggulangi defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan.
Pada tahun lalu, pemerintah resmi menetapkan tarif iuran kelas I naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu per peserta per bulan. Sedangkan tarif iuran kelas II naik dari Rp 51 ribu menjadi Rp 110 ribu per peserta per bulan.
Adapun tarif iuran kelas III naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu per peserta per bulan. Kenaikan itu resmi berlaku pada awal tahun 2020.
Terkait uang insentif, BPJS Kesehatan mengeluarkan pernyataan resmi. Menurut BPJS Kesehatan, Anggota Direksi dan Dewan Pengawas lembaganya sejak periode 2014 sampai dengan saat ini belum pernah menerima insentif dari kinerja selama bertugas.
“Kenyataannya sampai saat ini belum pernah ada pemberian insentif untuk Direksi maupun Dewan Pengawas BPJS Kesehatan seperti yang disampaikan oleh anggota Dewan tersebut,” kata Kepala Humas BPJS Kesehatan, M. Iqbal Anas Ma’ruf, melalui keterangan tertulis.
Iqbal menjelaskan, penetapan insentif bagi Direksi dan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan mengacu regulasi, yaitu Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2013 tentang Gaji atau Upah dan Manfaat Tambahan Lainnya serta Insentif bagi Anggota Dewas dan Anggota Direksi BPJS.
“Namun sampai dengan saat ini belum diatur tata cara pemberian insentif tersebut.”
Untuk gaji Direksi dan Dewas BPJS Kesehatan mengikuti norma kewajaran yang berlaku dan sesuai tata kelola yang baik. Pengawasan dilakukan oleh berbagai pihak, baik internal maupun eksternal oleh lembaga pengawasan keuangan sesuai ketentuan yang berlaku.
Sumber: Tempo.co/dpr.go.id