Hanzhalah Bin Debu Amir Suami Dambaan Para Bidadari

Ridhmedia
17/10/13, 15:27 WIB

“Aku benar-benar melihat malaikat sedang memandikan Hanzhalah di antara langit dan bumi dengan air dari awan dalam sebuah kawasan besar terbuat dari perak.” Sahabat Urwah ra menegaskan kesaksiannya ihwal kesyahidan Hanzhalah di perang Uhud.
Mekkah menggelegak terbakar kebencian terhadap orang-orang Muslim alasannya kekalahan mereka di Perang Badar dan terbunuhnya sekian banyak pemimpin dan darah biru mereka ketika itu. Hati mereka membara dibakar keinginan untuk menuntut balas. Bahkan karenanya Quraisy melarang semua penduduk Mekah menyesali para korban di Badar dan tidak perlu terburu-buru menebus para tawanan, semoga orang-orang Muslim tidak merasa di atas angin alasannya tahu kegundahan dan kesedihan hati mereka.
Hingga tibalah saatnya Perang Uhud. Di antara jagoan perang yang bertempur tanpa mengenal rasa takut pada waktu itu yakni Hanzhalah bin Abu Amir. Nama lengkapnya Hanzhalah bin Abu ‘Amir bin Shaifi bin Malik bin Umayyah bin Dhabi’ah bin Zaid bin Uaf bin Amru bin Auf bin Malik al-Aus al-Anshory al-Ausy. Pada masa jahiliyah ayahnya dikenal sebagai seorang pendeta, namanya Amru.
Suatu hari ayahnya ditanya mengenai kedatangan Nabi dan sifatnya sampai ketika datang, orang-orang dengan mudahnya sanggup mengenalnya. Ayahnya pun menyebutkan apa yang ditanyakan. Bahkan secara terang-terangan dirinya akan beriman dengan kenabian itu. Ketika Allah turunkan Islam di jazirah Arab untuk menuntun jalan kebenaran melalui nabi terakhir. Justru dirinya mengingkarinya. Bahkan dirinya hasud dengan kenabian Muhammad. Tak usang kemudian Allah bukakan hati anaknya, Hanzhalah untuk mendapatkan kebenaran yang dibawa Rasulullah. Sejak itulah jiwa dan raganya untuk usaha Islam.
Kebencian ayahnya terhadap Rasulullah menciptakan darahnya naik turun. Bahkan meminta izin Rasulullah untuk membunuhnya. Tapi Rasulullah tidak mengizinkan. Sejak itulah keyakinan akan kebenaran pemikiran Islam semakin menancap di relung hatinya. Seluruh waktunya dipakai untuk menimba ilmu dari Rasulullah.
Di tengah kesibukkannya mengikuti da’wah Rasulullah yang penuh dinamika, tak terasa usia telah menghantarkannya untuk memasuki fase kehidupan berumah tangga. Disamping untuk melaksanakan regenerasi, tentu ada nikmat karunia Allah yang tak mungkin terlewatkan.
Hanzhalah menikahi Jamilah binti Abdullah bin Ubay bin Salul, anak sahabat bapaknya. Mertuanya itu dikenal sebagai tokoh munafik, menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keimanan. Dia berpura-pura membela Nabi saw dalam Perang Uhud; namun ketika rombongan pasukan muslim bergerak ke medan laga, ia menarik diri bersama orang-orangnya, kembali ke Madinah.
Sementara itu Madinah dalam keadaan siaga penuh. Kaum muslimin sudah mencium gelagat dan gerak-gerik rencana penyerangan oleh pasukan Abu Shufyan. Situasi Madinah sangat genting.
Namun walau dalam situasi ibarat itu, Hanzhalah dengan damai hati dan penuh keyakinan akan melangsungkan pernikahannya. Sungguh tindakannya itu merupakan citra sosok yang senantiassa damai menghadapi aneka macam macam keadaan.
Hanzhalah menikahi Jamilah, sang kekasih, pada suatu malam yang paginya akan berlangsung peperangan di Uhud. Ia meminta izin kepada Nabi saw untuk bermalam bersama istrinya. Ia tidak tahu persis apakah itu pertemuan atau perpisahan. Nabi pun mengizinkannya bermalam bersama istri yang gres saja dinikahinya.
Mereka memang gres saja menjalin sebuah ikatan. Memadu segala rasa dari dua lautan jiwa. Berjanji, menjaga perahu tak akan tenggelam walau kelak angin ribut kasar menghadang. Kini, dunia seakan menjadi milik berdua. Malam pertama yang selalu panjang bagi setiap mempelai dilalui dengan penuh mesra. Tak diharapkannya pagi segera menjelang. Segala gemuruh hasrat tertumpah. Sebab, sesuatu yang haram telah menjadi halal.
Langit begitu mempesona. Kerlip gemintang bagaikan menarik hati rembulan yang sedang kasmaran. Keheningannya menjamu temaramnya rembulan, diukirnya do’a-do’a dengan gesekan harapan, khusyu’, berharap regukan kasih sayang dari Sang Pemilik Cinta. Hingga tubuh penat itupun bangkit, menatap kepingan jiwa dengan tatapan cinta. Hingga, sepasang insan itu semakin dimabuk kepayang.
Indah…
Sungguh sebuah episode yang teramat indah untuk dilewatkan. Namun disaat sang pengantin asyik terbuai wanginya aroma asmara, permintaan jihad berkumandang dan menghampiri gendang telinganya.
“Hayya ‘alal jihad… hayya ‘alal jihad…!!!”
Pemuda yang belum usang menikmati indahnya malam pertama itu tersentak. Jiwanya sontak terbakar alasannya ghirah. Suara itu terdengar sangat tajam menusuk telinganya dan terasa menghunjam dalam di dadanya. Suara itu seperti irama surgawi yang usang dinanti. Hanzalah harus mengeluarkan keputusan dengan cepat. Bersama dengan hembusan angin fajar pertama, Hanzhalah pun segera melepaskan pelukan diri dari sang istri.
Dia segera menghambur keluar, dia tidak menunda lagi keberangkatannya, supaya ia sanggup mandi terlebih dahulu. Istrinya meneguhkan tekadnya untuk keluar menyambut permintaan jihad sambil memohon kepada Allah semoga suaminya diberi anugerah salah satu dari dua kebaikan, menang atau mati syahid,
Dia berangkat diiringi deraian air mata kekasih yang dicintainya. Ia berangkat dengan kerinduan mengisi relung hatinya. Kerinduan saat-saat pertama yang sebelumnya sangat dinantikannya, ketika mereka berdua terikat dalam jalinan suci. Namun semua itu berlalu bagaikan mimpi. Hanzalahpun jadinya berangkat menuju medan laga untuk memenangkan cinta yang lebih besar atas segalanya. Bahkan untuk meraih kemenangan atas dirinya sendiri.
Kenikmatan yang bagai tuangan anggur memabukkan tak akan membuatnya terlena. Sehingga, iringan do’alah yang mengantar kepergiannya ke medan jihad. Dia bergegas mengambil peralatan perang yang memang telah usang dipersiapkan. Baju perang membalut badan, sebilah pedang terselip dipinggang. Siap bergabung dengan pasukan yang dipimpin Rasulullah saw.
Berperang bersama Hamzah, Abu Dujanah, Zubayr, Muhajirin dan Anshar yang terus berperang dengan yel-yel, seolah tak ada lagi yang sanggup menahan mereka. Bulu-bulu putih pakaian Ali, surban merah Abu Dujanah, surban kuning Zubayr, surban hijau Hubab, melambai-lambai bagaikan bendera kemenangan, memberi kekuatan bagi barisan di belakangnya.
Tubuh Hanzhalah yang perkasa serta merta eksklusif berada di atas punggung kuda. Sambil membenahi posisinya di punggung kuda, tali kekang ditarik dan kuda melesat secepat kilat menuju barisan perang yang tengah bekecamuk. Tangannya yang kekar memainkan pedang dengan gerakan menebas dan menghentak, mengakibatkan dampak kolam hempasan angin puting beliung.
Musuh tiba bergulung. Merimbas-rimbas. Tak gentar, ia justru merangsek ke depan. Menyibak. Menerjang kecamuk perang. Nafasnya tersengal. Torehan luka di tubuh sudah tak terbilang. Tujuan utama ingin berhadapan dengan komandan pasukan lawan. Serang! Musuhpun bergelimpangan.
Takbir bersahut-sahutan. Lantang membahana bagai halilintar. Berdentam. Mendesak-desak ke segenap penjuru langit. Hanzhalah terus melabrak. Terjangannya dahsyat laksana badai. Pedangnya berkelebat. Suaranya melenting-lenting. Kilap mengintai. Deras menebas. Berkali-kali orang Quraisy yang masih berkutat dalam lembah jahiliyah itu mati terbunuh di tangannya.
Sementara itu, dari kejauhan Abu Sufyan melihat lelaki yang gesit itu. Dia
ingin sekali mendekat dan membunuhnya, tetapi nyalinya belum juga cukup
untuk membalaskan dendam kepada pembunuh anaknya di perang Badar itu. Situasi berbalik, kali ini giliran Hanzhalah mendekati Abu Sufyan ketika teman-temannya justru melarikan diri ketakutan. Abu Sufyan terpaksa melayaninya dalam duel satu lawan satu. Abu Sufyan terjatuh dari kudanya. Wajahnya pucat, ketakutan.
Pedang Hanzhalah yang berkilauan siap merobek lehernya. Dalam hitungan detik, nyawanya akan melayang. Tapi, dalam suasana genting itu, Abu Sufyan berteriak minta tolong, “Hai orang-orang Quraisy, tolong aku.”
Namun, untung tak sanggup diraih, malang tak sanggup ditolak. Syadad bin Al-Aswad yang memang sudah disiagakan untuk menghabisi Hanzhalah, behasil menelikung gerakan hanzhalah dan menebas tengkuknya dari belakang. Tubuh yang gagah dan tegap itu jatuh berdebum ke tanah, boom!!! Para sahabat yang berada di sekitar dirinya mencoba untuk memberi pertolongan, namun langkah mereka terhenti.
Lantas orang-orang Quraisy di sekitarnya tanpa ampun mengayunkan pedangnya kepada Hanzhalah, dari kiri, kanan, dan belakang, sehingga Hanzhalah tersungkur. Dalam kondisi yang sudah parah, darah mengalir begitu deras dari tubuhnya, ia masih dihujani dengan lemparan tombak dari aneka macam penjuru.
Tak usang kecamuk perang surut. Sepi memagut. Mendekap perih di banyak potongan tubuh yang tercerabut. Ia syahid di medan Uhud. Di sebuah gundukan tanah yang tampak masih basah, jasadnya terbujur.
Semburat cahaya terperinci dari langit membungkus mayit Hanzhalah dan mengangkatnya ke angkasa setinggi rata-rata air mata memandang. Juga tejadi hujan lokal dan tubuhnya terbolak-balik ibarat ada sesuatu yang hendak diratakan oleh air ke sekujur tubuh Hanzhalah. Bayang-bayang putih juga berkelebat mengiringi tetesan air hujan. Hujan mereda, cahaya terperinci padam diiringi kepergian bayang-bayang putih ke langit dan tubuh Hanzhalah kembali terjatuh dengan perlahan.
Subhanallah! Padahal sedari tadi hujan tak pernah turun mengguyur, setetes-pun. Para sahabat yang menyaksikan tak urung heran. Para sahabat kemudian membawa mayit yang lembap kuyup itu ke hadapan Rasulullah saw dan menceritakan ihwal insiden yang mereka saksikan. Rasulullah meminta semoga seseorang segera memanggil istri Hanzhalah.
Begitu perempuan yang dimaksud tiba di hadapan Rasul, dia menceritakan begini dan begini ihwal Hanzhalah dan bertanya: “Apa yang telah dilakukan Hanzhalah sebelum kepergiannya ke medan perang?”
Wanita itu tertunduk. Rona pipinya memerah, dengan senyum tipis ia berkata: “Hanzhalah pergi dalam keadaan junub dan belum sempat mandi ya Rasulullah!”
Rasulullah kemudian berkata kepada yang hadir. “Ketahuilah oleh kalian. Bahwasannya mayit Hanzhalah telah dimandikan oleh para malaikat. Bayang-bayang putih itu yakni istri-istrinya dari kalangan bidadari yang tiba menjemputnya.”
Dengan malu-malu mereka (para bidadari) berkata; “Wahai Hanzhalah, wahai suami kami. Lama kami telah menunggu pertemuan ini. Mari kita keperaduan.”
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kau Aku tunjukkan suatu perniagaan yang sanggup menyelamatkan kau dari azab yang pedih?. (yaitu) kau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kau kalau kau mengetahuinya, pasti Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kau ke dalam nirwana yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke kawasan tinggal yang baik di dalam nirwana ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (QS 61:10-12).
Sumber dari ‘Yas’alunaka Fiddiini wal Hayaah’ yang diterjemahkan menjadi “Dialog Islam” karya Dr. Ahmad Asy-Syarbaasyi (dosen Universitas Al-Azhar, Cairo), Penerbit Zikir, Surabaya, 1997, cetakan pertama


Sumber : Sang Bidadari
Komentar

Tampilkan

Terkini