Kisah Inspiratif, Jangan Sia-Siakan Ijab Kabul Anda!

Ridhmedia
03/09/14, 12:49 WIB

Pada hari pernikahanku, saya menggendong istriku. Mobil pengantin berhenti di depan apartmen kami. Teman-teman memaksaku menggendong istriku ketika keluar dari mobil. Lalu saya menggendongnya ke dalam rumah kami. Dia tersipu malu-malu. Saat itu, saya ialah seorang pengantin laki-laki yang berpengaruh dan bahagia. Dan ini ialah bencana 10 tahun yang kemudian ketika kami menikah.

Hari-hari berikutnya berjalan ibarat biasa. Kami mempunyai seorang anak, saya bekerja sebagai pengusaha dan berusaha menghasilkan uang lebih. Ketika aset-aset perusahaan meningkat, kasih sayang diantara saya dan istriku sudah mulai menurun.

Istriku seorang pegawai pemerintah. Setiap pagi kami pergi bersama dan pulang hampir di waktu yang bersamaan. Anak kami bersekolah di sekolah asrama. Kehidupan janji nikah kami terlihat sangat bahagia, namun kehidupan yang hening tampaknya lebih gampang terpengaruh oleh perubahan-perubahan yang tak terduga.

Lalu, Jane tiba ke dalam kehidupanku.
Hari itu hari yang cerah. Aku berdiri di balkon yang luas. Jane memelukku dari belakang. Sekali lagi hatiku ibarat terbenam di dalam cintanya. Apartmen ini saya belikan untuknya. Lalu Jane berkata,
"Kau ialah laki-laki yang terpelajar memikat wanita."
Kata-katanya tiba-tiba mengingatkan ku pada istriku. Ketika kami gres menikah, istriku berkata :
"Laki-laki sepertimu, ketika sukses nanti, akan memikat banyak wanita."

Memikirkan hal ini, saya menjadi ragu-ragu. Aku tahu, saya telah mengkhianati istriku.
Aku menyampingkan tangan Jane dan berkata,
"Kamu perlu menentukan beberapa furnitur, ok? Ada yang perlu saya lakukan di perusahaan."
Dia terlihat tidak senang, lantaran saya telah berjanji akan menemaninya melihat-lihat furnitur. Sesaat, pikiran untuk bercerai menjadi semakin terperinci walaupun sebelumnya tampak mustahil. Bagaimanapun juga, akan sulit untuk mengatakannya pada istriku. Tidak peduli selembut apapun saya mengatakannya, beliau akan sangat terluka. Sejujurnya, beliau ialah seorang istri yang baik. Setiap malam, beliau selalu sibuk menyiapkan makan malam. Aku duduk di depan televisi. Makan malam akan segera tersedia. Kemudian kami menonton TV bersama. Hal ini sebelumnya merupakan hiburan bagiku.

Suatu hari saya bertanya pada istriku dengan bercanda,
"Kalau contohnya kita bercerai, apa yang akan kau lakukan?"
Dia menatapku beberapa ketika tanpa berkata apapun. Kelihatannya beliau seorang yang percaya bahwa perceraian tidak akan tiba padanya. Aku tidak sanggup membayangkan bagaimana reaksinya ketika nanti beliau tahu bahwa saya serius wacana ini.

Ketika istriku tiba ke kantorku, Jane pribadi pegi keluar. Hampir semua pegawai melihat istriku dengan pandangan simpatik dan mencoba menyembunyikan apa yang sedang terjadi ketika berbicara dengannya. Istriku ibarat menerima sedikit petunjuk. Dia tersenyum dengan lembut kepada bawahan-bawahanku. Tapi saya melihat ada perasaan luka di matanya.

Sekali lagi, Jane berkata padaku,
"Sayang, ceraikan dia, ok? Lalu kita akan hidup bersama."
Aku mengangguk. Aku tahu saya tidak sanggup ragu-ragu lagi. Ketika saya pulang malam itu, istriku sedang menyiapkan makan malam. Aku menggenggam tangannya dan berkata,
"Ada yang ingin saya bicarakan."

Dia kemudian duduk dan makan dalam diam. Lagi, saya melihat perasaan luka dari matanya.
Tiba-tiba saya tidak sanggup membuka mulutku. Tapi saya harus tetap menyampaikan ini pada istriku. Aku ingin bercerai. Aku memulai pembicaraan dengan tenang. Dia ibarat tidak terganggu dengan kata-kataku, sebaliknya malah bertanya dengan lembut, "Kenapa?"
Aku menghindari pertanyaannya. Hal ini membuatnya marah. Dia melempar sumpit dan berteriak padaku,
"Kamu bukan seorang pria!"

Malam itu, kami tidak saling bicara. Dia menangis. Aku tahu, beliau ingin mencari tahu apa yang sedang terjadi di dalam janji nikah kami. Tapi saya sulit memberikannya tanggapan yang memuaskan, bahwa hatiku telah menentukan Jane. Aku tidak mencintainya lagi. Aku hanya mengasihaninya!

Dengan perasaan bersalah, saya menciptakan perjanjian perceraian yang menyatakan bahwa istriku sanggup mempunyai rumah kami, kendaraan beroda empat kami dan 30% aset perusahaanku.
Dia melirik surat itu dan kemudian merobek-robeknya. Wanita yang telah menghabiskan 10 tahun hidupnya denganku telah menjadi seorang yang asing bagiku. Aku menyesal alasannya sudah menyia-nyiakan waktu, daya dan tenaganya tapi saya tidak sanggup menarik kembali apa yang telah saya katakan lantaran saya sangat menyayangi Jane.
Akhirnya istriku menangis dengan keras di depanku, yang telah saya perkirakan sebelumnya. Bagiku, tangisannya ialah semacam pelepasan. Pikiran wacana perceraian yang telah memenuhi diriku selama beberapa ahad belakangan, kini menjadi tampak tegas dan jelas.

Hari berikutnya, saya pulang terlambat dan melihat istriku menulis sesuatu di meja makan. Aku tidak makan malam, tapi pribadi tidur dan tertidur dengan cepat alasannya sudah seharian bersama Jane. Ketika saya terbangun, istriku masih disana, menulis. Aku tidak mempedulikannya dan pribadi kembali tidur. Paginya, beliau menyerahkan syarat perceraiannya:
Dia tidak menginginkan apapun dariku, hanya menginginkan perhatian selama sebulan sebelum perceraian. Dia meminta dalam 1 bulan itu kami berdua harus berusaha hidup sebiasa mungkin. Alasannya sederhana, anak kami sedang menghadapi ujian dalam sebulan itu, dan beliau tidak mau mengacaukan anak kami dengan perceraian kami.

Aku baiklah saja dengan permintaannya. Namun beliau meminta satu lagi, beliau memintaku untuk mengingat bagaimana menggendongnya ketika saya membawanya ke kamar pengantin, di hari janji nikah kami.

Dia memintanya selama 1 bulan setiap hari, saya menggendongnya keluar dari kamar kami, ke pintu depan setiap pagi. Aku pikir beliau gila. Aku mendapatkan permintaannya yang aneh lantaran hanya ingin menciptakan hari-hari terakhir kebersamaan kami lebih gampang diterima olehnya. Aku memberi tahu Jane wacana syarat perceraian dari istriku. Dia tertawa keras dan berpikir bahwa hal itu berlebihan.

"Trik apapun yang beliau gunakan, beliau harus tetap menghadapi perceraian!" kata Jane, dengan nada menghina.

Istriku dan saya sudah usang tidak melaksanakan kontak fisik semenjak impian untuk bercerai mulai terpikirkan olehku. Jadi, ketika saya menggendongnya di hari pertama, kami berdua tampak canggung. Anak kami tepuk tangan di belakang kami. Katanya,
"Papa menggendong mama!" Kata-katanya menciptakan ku merasa terluka. Dari kamar ke ruang tamu, kemudian ke pintu depan, saya berjalan sejauh 10 meter, dengan dirinya dipelukanku. Dia menutup mata dan berbisik padaku,
"Jangan bilang anak kita mengenai perceraian ini."
Aku mengangguk, merasa sedih. Aku menurunkannya di depan pintu. Dia pergi untuk menunggu bus untuk bekerja. Aku sendiri naik kendaraan beroda empat ke kantor.

Hari kedua, kami berdua lebih gampang bertindak. Dia bersandar di dadaku. Aku sanggup mencium amis dari pakaiannya. Aku tersadar, sudah usang saya tidak sungguh-sungguh memperhatikan perempuan ini. Aku sadar beliau sudah tidak muda lagi, ada garis halus di wajahnya, rambutnya memutih. Pernikahan kami telah membuatnya susah. Sesaat saya terheran, apa yang telah saya lakukan padanya.

Hari keempat, ketika saya menggendongnya, saya merasa rasa kedekatan ibarat kembali lagi. Wanita ini ialah seorang yang telah menawarkan 10 tahun kehidupannya padaku.

Hari kelima dan keenam, saya sadar rasa kedekatan kami semakin bertumbuh. Aku tidak menyampaikan ini pada Jane. Seiring berjalannya waktu semakin gampang menggendongnya. Mungkin lantaran saya rajin berolahraga membuatku semakin kuat.

Satu pagi, istriku sedang menentukan pakaian yang beliau ingin kenakan. Dia mencoba beberapa pakaian tapi tidak menemukan yang pas. Kemudian beliau menghela nafas,
"Pakaianku semua jadi besar."

Tiba-tiba saya tersadar bahwa beliau telah menjadi sangat kurus. Ini lah alasan saya sanggup menggendongnya dengan mudah.
Tiba-tiba saya terpukul. Dia telah memendam rasa sakit dan kepahitan yang luar biasa di hatinya. Tanpa sadar saya menyentuh kepalanya.

Anak kami tiba ketika itu dan berkata,
"Pa, sudah waktunya menggendong mama keluar."

Bagi anak kami, melihat ayahnya menggendong ibunya keluar telah menjadi arti penting dalam hidupnya. Istriku melambai pada anakku untuk mendekat dan memeluknya erat. Aku mengalihkan wajahku lantaran takut saya akan berubah pikiran pada ketika terakhir. Kemudian saya menggendong istriku, jalan dari kamar, ke ruang tamu, ke pintu depan. Tangannya melingkar di leherku dengan lembut. Aku menggendongnya dengan erat, ibarat ketika hari janji nikah kami.

Tapi berat badannya yang ringan membuatku sedih. Pada hari terakhir, ketika saya menggendongnya, sulit sekali bagiku untuk bergerak. Anak kami telah pergi ke sekolah. Aku menggendongnya dengan erat dan berkata,
"Aku tidak memperhatikan bila selama ini kita kurang kedekatan."

Aku pergi ke kantor, keluar cepat dari kendaraan beroda empat tanpa mengunci pintunya. Aku takut, penundaan apapun akan mengubah pikiranku. Aku jalan keatas, Jane membuka pintu dan saya berkata padanya,
"Maaf, Jane, saya tidak mau perceraian."

Dia menatapku, dengan heran menyentuh keningku.
"Kamu demam?", tanyanya.
Aku menyingkirkan tangannya dari kepalaku.
"Maaf, Jane, saya bilang, saya tidak akan bercerai."

Kehidupan pernikahanku selama ini membosankan mungkin lantaran saya dan istriku tidak menilai segala detail kehidupan kami, bukan lantaran kami tidak saling mencintai. Sekarang saya sadar, semenjak saya menggendongnya ke rumahku di hari janji nikah kami, saya harus terus menggendongnya hingga simpulan hidup memisahkan kami.

Jane ibarat tiba-tiba tersadar. Dia menamparku keras kemudian membanting pintu dan lari sambil menangis. Aku turun dan pergi keluar. Di toko bunga, ketika saya berkendara pulang, saya memesan satu buket bunga untuk istriku. Penjual menanyakan padaku apa yang ingin saya tulis di kartunya. Aku tersenyum dan menulis, saya akan menggendongmu setiap pagi hingga simpulan hidup memisahkan kita.

Sore itu, saya hingga rumah, dengan bunga di tanganku, senyum di wajahku, saya berlari ke kamar atas, hanya untuk menemukan istriku terbaring di kawasan tidur, meninggal. Istriku telah melawan kanker selama berbulan-bulan dan saya terlalu sibuk dengan Jane hingga tidak memperhatikannya. Dia tahu beliau akan segera meninggal, dan beliau ingin menyelamatku dari reaksi negatif apapun dari anak kami, seandainya kami jadi bercerai. Setidaknya, di mata anak kami, saya ialah suami yang penyayang.

Hal-hal kecil di dalam kehidupanmu ialah yang paling penting dalam suatu hubungan. Bukan rumah besar, mobil, properti atau uang di bank. Semua ini menunjang kebahagian tapi tidak sanggup menawarkan kebahagian itu sendiri. Jadi, carilah waktu untuk menjadi sahabat bagi pasanganmu, dan lakukan hal-hal yang kecil gotong royong untuk membangun kedekatan itu. Miliki janji nikah yang sungguh-sungguh dan bahagia. (#Citra Ciki Kirana)
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+