Kisah Pembunuh 100 Orang

Ridhmedia
03/09/14, 11:30 WIB

Kisah ini pernah terjadi di zaman Bani Israil dahulu kala. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakannya kepada umatnya semoga menjadi pelajaran berharga dan pola dalam kebaikan. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri, Sa’id bin Malik bin Sinan radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: لاَ. فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ فَقَالَ إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ، انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللهَ فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضُ سَوْءٍ. فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ فَاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ فَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ: جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلاً بِقَلْبِهِ إِلَى اللهِ. وَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ: إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ. فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ فِي صُورَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ فَقَالَ: قِيسُوا مَا بَيْنَ الْأَرْضَيْنِ فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ. فَقَاسُوهُ فَوَجَدُوهُ أَدْنَى إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي أَرَادَ فَقَبَضَتْهُ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ. قَالَ قَتَادَةُ: فَقَالَ الْحَسَنُ: ذُكِرَ لَنَا أَنَّهُ لَمَّا أَتَاهُ الْمَوْتُ نَأَى بِصَدْرِهِ

Dahulu, di zaman orang-orang sebelum kalian, ada seorang pria yang telah membunuh 99 jiwa. Dia pun bertanya ihwal orang yang paling alim di muka bumi dikala itu, kemudian ditunjukkan kepadanya ihwal seorang rahib (pendeta, hebat ibadah). Maka ia pun mendatangi rahib tersebut kemudian menyampaikan bahwa sesungguhnya ia telah membunuh 99 jiwa, apakah ada taubat baginya?

Ahli ibadah itu berkata: “Tidak.” Seketika pria itu membunuhnya. Maka ia pun menggenapi dengan itu (membunuh rahib) menjadi 100 jiwa. Kemudian ia menanyakan apakah ada orang yang paling alim di muka bumi dikala itu? Lalu ditunjukkanlah kepadanya ihwal seorang yang berilmu. Maka ia pun menyampaikan bahwa sesungguhnya ia telah membunuh 100 jiwa, apakah ada taubat baginya? Orang alim itu berkata: “Ya. Siapa yang menghalangi ia dari taubatnya? Pergilah ke tempat ini dan ini. Karena sesungguhnya di sana ada orang-orang yang senantiasa beribadah kepada Allah, maka beribadahlah kau kepada Allah bersama mereka. Dan jangan kau kembali ke negerimu, lantaran negerimu itu yakni negeri yang buruk/jahat.”

Maka ia pun berangkat. Akhirnya, dikala tiba di tengah perjalanan datanglah tamat hidup menjemputnya, (lalu ia pun mati). Maka berselisihlah malaikat rahmat dan malaikat azab ihwal dia.

Malaikat rahmat mengatakan: “Dia sudah tiba dalam keadaan bertaubat, menghadap kepada Allah dengan sepenuh hatinya.”

Sementara malaikat azab berkata: “Sesungguhnya ia belum pernah mengerjakan satu amalan kebaikan sama sekali.”

Datanglah seorang malaikat dalam wujud seorang manusia, kemudian mereka jadikan ia (sebagai hakim pemutus) di antara mereka berdua. Maka kata malaikat itu: “Ukurlah jarak antara (dia dengan) kedua negeri tersebut. Maka ke arah negeri mana yang lebih dekat, maka dialah yang berhak membawanya.”

Lalu keduanya mengukurnya, dan ternyata mereka dapatkan bahwa orang itu lebih bersahabat kepada negeri yang diinginkannya. Maka malaikat rahmat pun segera membawanya.

Kata rawi: Kata Qatadah: Al-Hasan mengatakan: “Disebutkan kepada kami, bahwa dikala tamat hidup tiba menjemputnya, ia busungkan dadanya (ke arah negeri tujuan).”

Hadits ini menceritakan kepada kita ihwal orang yang telah membunuh 99 jiwa kemudian ia menyesal dan bertaubat serta bertanya ihwal hebat ilmu yang ada dikala itu. Kemudian ditunjukkan kepadanya spesialis ibadah.

Ternyata hebat ibadah itu hanyalah hebat ibadah, tidak memiliki ilmu. Rahib tersebut menganggap besar urusan itu sehingga mengatakan: “Tidak ada taubat bagimu.” Laki-laki pembunuh itu murka lantas membunuh hebat ibadah tersebut. Lengkaplah korbannya menjadi 100 jiwa.

Kemudian ia tanyakan lagi ihwal hebat ilmu yang ada di masa itu. Maka ditunjukkanlah kepadanya seorang yang alim. Lalu ia bertanya, apakah ada taubat baginya yang telah membunuh 100 jiwa? Orang alim itu menegaskan: “Ya. Siapa yang sanggup menghalangimu untuk bertaubat? Pintu taubat terbuka lebar. Tapi pergilah, tinggalkan negerimu menuju negeri lain yang di sana ada orang-orang yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan jangan pulang ke kampungmu, lantaran negerimu yakni negeri yang buruk.”

Akhirnya, lelaki itu pun pergi berhijrah. Dia berangkat meninggalkan kampung halamannya yang buruk dalam keadaan sudah bertaubat serta meratapi perbuatan dan dosa-dosanya. Dia pergi dengan satu tekad meninggalkan dosa yang ia lakukan, memperbaiki diri, mengisi hari esok dengan amalan yang shalih sebagai ganti kezaliman dan kemaksiatan yang selama ini digeluti.

Di tengah perjalanan menuju kampung yang baik, dengan membawa segudang asa memperbaiki diri, Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan ia harus mati.

Takdir dan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala jua yang berlaku. Itulah diam-diam dari sekian diam-diam Allah Yang Maha Bijaksana. Tidak mungkin ditanya mengapa Dia berbuat begini atau begitu. Tetapi makhluk-Nya lah yang akan ditanya, mengapa mereka berbuat begini dan begitu. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha melaksanakan apa saja yang Dia inginkan.

Semua yang ada di alam semesta, baik yang terlihat maupun tidak terlihat yakni milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, ciptaan-Nya dan di bawah pengawasan serta pengaturan-Nya. Dia Yang memilih setiap perbuatan seorang hamba, 50.000 tahun sebelum Dia membuat langit dan bumi. Dia yang memperlihatkan perangkat kepada seorang hamba untuk melaksanakan sesuatu. Dia pula yang memberi taufiq kepada hamba tersebut ke arah apa yang telah ditakdirkan-Nya.

Pembunuh 100 jiwa itu, yakni salah satu dari makhluk ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia ada di bawah kehendak dan kendali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketentuan dan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah pasti berlaku pula atasnya. Perbuatan zalim yang dikerjakannya yakni takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Taubat dan penyesalan yang ia rasakan dan ia inginkan yakni takdir dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Alangkah beruntungnya dia. Tapi kalau begitu, zalimkah Allah Subhanahu wa Ta’ala? Kejamkah Dia kepada hamba-Nya?

Jawabnya sudah pasti, tidak. Sama sekali tidak. Dari sisi manapun, Dia bukanlah Dzat yang zalim.

Apakah kezaliman itu? Kezaliman yakni berbuat sesuatu pada hal-hal yang bukan miliknya. Atau meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.

Siapakah Allah Subhanahu wa Ta’ala? Dan siapakah kita? Milik siapakah kita?

Kita milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia-lah Yang telah membuat dan mengatur kita. Dia Maha Tahu yang tepat bagi hamba-Nya. Dia Maha Bijaksana, Dia meletakkan segala sesuatu sesuai pada tempatnya. Dia Maha Tahu apa yang diciptakan-Nya. Dia Maha Tahu apa yang terbaik bagi ciptaan-Nya. Allahu Akbar.

Lelaki itu meninggal dunia. Dia mati dalam keadaan belum ‘beramal shalih’ sekali pun. Dia hanya punya tekad memperbaiki diri, bertaubat dari semua kesalahan. Hal itu terwujud dari keinginannya bertanya kepada mereka yang dianggap berilmu: Apakah ada taubat baginya? Semua itu tampak dari tekadnya pergi meninggalkan masa kemudian yang kelam, menyongsong cahaya hidayah dan kebaikan.

Alangkah besar karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada dirinya. Alangkah besar rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para hamba-Nya. Tetapi alangkah banyak insan yang tidak mengetahui bahkan tidak mensyukuri nikmat tersebut.

Sungguh, andaikata kezaliman-kezaliman yang dikerjakan oleh Bani Adam ini harus diselesaikan dengan azab dan siksa di dunia, pasti tidak akan ada lagi satu pun makhluk yang melata di atas muka bumi ini. Sungguh, seandainya kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lebih dahulu daripada rahmat-Nya, pasti tidak akan pernah ada rasul yang diutus, tidak ada Kitab Suci yang diturunkan. Tidak ada ulama dan orang shalih serta bakir yang memberi nasihat, peringatan, dan bimbingan. Bahkan tidak akan ada satu pun makhluk yang melata di muka bumi ini.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَى ظَهْرِهَا مِنْ دَابَّةٍ وَلَكِنْ يُؤَخِّرُهُمْ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِعِبَادِهِ بَصِيرًا

“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa insan disebabkan usahanya, pasti Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, hingga waktu yang tertentu; maka apabila tiba tamat hidup mereka, maka sesungguhnya Allah yakni Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” (Fathir: 45)

Kerusakan yang terjadi di muka bumi ini, di daratan maupun di lautan tidak lain yakni akhir ulah manusia. Sementara kesempatan hidup yang diberikan kepada mereka membuat mereka lupa, bahkan semakin menambah kedurhakaan mereka. Ingatlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَذَرْنِي وَمَنْ يُكَذِّبُ بِهَذَا الْحَدِيثِ سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ. وَأُمْلِي لَهُمْ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ

“Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al-Qur’an). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui, dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh.” (Al-Qalam: 44-45)

Maka terperinci pulalah bagi kita alangkah jahatnya ucapan orang yang mengatakan: “Saya tidak suka yang kuasa yang kejam.”

Andaikata yang ia maksud yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka hanya ada dua kemungkinan pada diri orang menyerupai ini, kafir (murtad) atau kurang akalnya (idiot). Apabila sudah ia terima bukti dan keterangan tapi masih menolak dan mengingkari, maka dikhawatirkan ia telah keluar dari Islam.

Betapa luas nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-Nya. Siang malam Dia memerhatikan serta mencurahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka. Tetapi mereka justru menampakkan kebencian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan senantiasa mengerjakan maksiat sepanjang siang dan malam.

Maka dari itu:

فَبِأَيِّ ءَالَاءِ رَبِّكَ تَتَمَارَى

“Maka terhadap nikmat Rabbmu yang manakah kau ragu-ragu?” (An-Najm: 55)

Dan:

فَبِأَيِّ ءَالَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

“Maka nikmat Rabb kau yang manakah yang kau dustakan?” (Ar-Rahman: 75)

Di antara rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala juga yakni menyerupai yang diriwayatkan Al-Imam Muslim rahimahullahu dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي وَأَنَا رَبُّكَ. أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ

“Benar-benar Allah sangat bangga dengan taubat hamba-Nya dikala ia bertaubat kepada-Nya daripada salah seorang kau yang berada di atas kendaraannya di sebuah tanah padang yang sunyi, kemudian kendaraan itu lepas (lari) meninggalkannya, padahal di atasnya ada makanan dan minumannya. Akhirnya ia frustasi mendapatkannya kembali. Maka ia pun mendatangi sebatang pohon kemudian berbaring di bawah naungannya, dalam keadaan frustasi dari kendaraannya. Ketika ia dalam keadaan demikian, ternyata tiba-tiba kendaraan itu bangkit di dekatnya. Lalu ia pun menggenggam tali kekangnya dan berkata saking gembiranya: ‘Ya Allah, Engkau hambaku dan saya Rabbmu.’ Dia salah ucap lantaran saking gembiranya.”

Inilah Hakikat Hijrah

Hijrah yakni salah satu kewajiban fatwa Islam, salah satu amalan shalih paling utama, bahkan merupakan alasannya yakni keselamatan agama seseorang serta proteksi bagi imannya. Hijrah terbagi menjadi beberapa bagian, di antaranya ialah hijrah meninggalkan apa yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas setiap mukallaf. Maka, orang yang bertaubat dari kemaksiatan yang telah kemudian berarti ia telah berhijrah meninggalkan apa yang dihentikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sedangkan seorang muslim, dibebankan kepadanya semoga meninggalkan segala yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْمُهَاجِرَ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ

“Sesungguhnya, muhajir sejati yakni orang yang meninggalkan apa yang dihentikan oleh Allah.” (HR. Ahmad, no. 6912)

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sekaligus perintah, mencakup semua perbuatan haram baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.

Apa yang disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mencakup pula hijrah lahir dan hijrah batin. Hijrah lahir yakni lari membawa tubuhnya menyelamatkan diri dari fitnah. Sedangkan hijrah batin yakni meninggalkan apa saja yang menjadi usul hawa nafsu yang senantiasa memerintahkan kepada kejelekan dan apa-apa yang dijadikan indah oleh setan. Hijrah kedua ini merupakan dasar bagi hijrah yang pertama.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian tamat hidup menimpanya (sebelum hingga ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan yakni Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa’: 100)

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu dalam tafsirnya ihwal ayat ini mengatakan:

Kemudian firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ

“Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya”, maksudnya yang sengaja menuju Rabbnya, mengharap ridha-Nya, lantaran cinta kepada Rasul-Nya, dan demi membela agama Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta bukan lantaran tujuan lain,

ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ

“Kemudian tamat hidup menimpanya (sebelum hingga ke tempat yang dituju)”, lantaran terbunuh atau alasannya yakni lainnya,

فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللهِ

“Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah.” Yakni, pahala muhajir yang mencapai tujuannya dengan jaminan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala telah ia terima. Hal itu lantaran ia telah berniat dan bertekad; ia telah memulai kemudian segera mulai mengerjakannya. Maka termasuk rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya dan orang-orang menyerupai ia yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala memberinya pahala sempurna. Meskipun mereka belum mengerjakan amalan mereka secara tuntas, serta mengampuni mereka dengan kekurangan yang ada pada hijrah atau amalan tersebut.

Sebab itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala akhiri ayat ini dengan dua nama-Nya yang mulia dalam firman-Nya:

وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Dan yakni Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” Dia memberi ampunan bagi kaum mukminin yang mengerjakan dosa terutama mereka yang bertaubat kepada Rabb mereka. Dia Maha penyayang kepada seluruh makhluk-Nya. Penyayang kepada kaum mukminin dengan memberi mereka taufiq semoga beriman, mengajari mereka ilmu yang menambah keyakinan mereka, memudahkan mereka sebab-sebab menuju kebahagiaan dan kemenangan.

Beberapa Faedah

1. Seorang pembunuh, sanggup diterima taubatnya. Dalilnya yakni firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa’: 48)

Inilah pendapat jumhur ulama. Adapun pendapat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa tidak ada taubat bagi seorang pembunuh lantaran Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka alhasil ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (An-Nisa’: 93)

Mungkin sanggup dibawa kepada pengertian bahwa tidak ada taubat sehubungan dengan korban yang terbunuh. Karena si pembunuh terkait dengan tiga hak sekaligus: hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, hak korban yang dibunuhnya, dan hak hebat waris korban (walinya).

Adapun hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak disangsikan lagi bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuninya dengan adanya taubat dari pelaku maksiat tersebut, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Katakanlah: ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kau berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (Az-Zumar: 53)

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللهِ إِلَهًا ءَاخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا. يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا. إِلَّا مَنْ تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا. وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا

“Dan orang-orang yang tidak menyembah yang kuasa yang lain beserta Allah, tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa melaksanakan demikian itu, pasti ia menerima (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari tamat zaman dan ia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal shalih. Maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan yakni Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya ia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” (Al-Furqan: 68-71)

Adapun hak korban yang dibunuhnya, maka taubat si pembunuh tidaklah berkhasiat dan terperinci belum tertunaikan hak korbannya, lantaran korban itu sudah mati. Tidak mungkin pula hingga pada tingkat ia minta penghalalan atau lepas dari tuntutan darahnya. Jadi, inilah yang masih tersisa serta menjadi beban tuntutan di bahu si pembunuh, meskipun ia sudah bertaubat. Sedangkan pada hari kiamat, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memutuskan perkara di antara mereka.

Sedangkan hak hebat waris (wali) korban, maka taubat si pembunuh juga tidak sah hingga ia menyerahkan dirinya kepada mereka, mengakui perbuatannya, dan menyerahkan kepada mereka, apakah ia harus dieksekusi mati (qishash), membayar diyat (tebusan), atau mereka memaafkannya.

2. Dalam hadits kisah ini, disyariatkan untuk bertaubat dari semua dosa besar. Mungkin, dikala Allah Subhanahu wa Ta’ala mendapatkan taubat seorang pembunuh, Dia menjamin keridhaan lawan (korban)nya, dan Dia kembalikan kezalimannya. Inilah salah satu rahmat dan keadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

3. Kisah ini melarang kita membuat orang lain frustasi dari dosa besar yang dikerjakannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri telah mengambarkan bahwa Dia tidak akan menyebabkan kekal di neraka orang yang mati dalam keadaan bertauhid, sebagaimana dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan At-Tirmidzi rahimahullahu:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّه ِn يَقُولُ: قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: يَا ابْنَ آدَمَ، إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِي وَرَجَوْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِي غَفَرْتُ لَكَ وَلَا أُبَالِي، يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً

Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: ‘Wahai Bani Adam, sesungguhnya selama engkau berdoa kepada-Ku, mengharapkan-Ku, pasti Aku beri ampun kepadamu atas apa yang ada padamu, dan Aku tidak peduli. Wahai Bani Adam, seandainya dosa-dosamu mencapai langit kemudian kau minta ampun kepada-Ku pasti Aku beri ampunan kepadamu, dan Aku tidak peduli. Wahai Bani Adam, sungguh, seandainya engkau tiba kepada-Ku membawa dosa sepenuh bumi kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan Aku dengan apapun, pasti Aku tiba kepadamu dengan membawa ampunan sepenuh itu juga.”

Namun, sanggup jadi pula ia diampuni dan tidak masuk neraka sama sekali, atau diazab sebagaimana pelaku maksiat lainnya dari kalangan orang yang bertauhid kemudian dikeluarkan menuju ke dalam jannah. Maka janganlah berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan jangan pula membuat orang lain berputus asa darinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ihwal Khalil-Nya, Ibrahim q:

قَالَ وَمَنْ يَقْنَطُ مِنْ رَحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ

“Ibrahim berkata: ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabbnya, kecuali orang-orang yang sesat’.” (Al-Hijr: 56)

4. Di dalam kisah ini terdapat pula keutamaan berpindah dari negeri yang di sana seseorang bermaksiat, apakah lantaran adanya teman dan kemudahan yang mendukung atau hal-hal lainnya.

5. Dari kisah ini pula jelaslah betapa seseorang mustahil selamat dan lolos dari azab kecuali dengan beratnya timbangan kebaikan dirinya meski hanya sebesar biji sawi. Maka dari itu, sudah semestinyalah orang yang bertaubat memperbanyak amal kebaikannya.

6. Termasuk kiprah seorang yang bertaubat –kalau ia bukan orang yang berilmu– hendaknya ia pelajari apa saja yang wajib atas dirinya di masa yang akan tiba dan apa yang haram dikerjakannya.

7. Perlu pula diingat dalam kisah ini, sesungguhnya lingkungan yang baik, bergaul dengan orang shalih akan menambah keyakinan seseorang. Sedangkan segala kerusakan, tragedi alam dan penyimpangan, tumbuhnya tidak lain lantaran adanya pinjaman para setan dan bala tentaranya, termasuk dari kalangan insan yang senantiasa membuka pintu kelalaian dan syahwat serta tidak mendukungnya kepada kebaikan dan ketaatan.

Sungguh indah peringatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu:

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسُّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً

“Perumpamaan teman duduk yang baik dan teman duduk yang buruk yakni menyerupai pembawa misik dan pintar besi. Adapun si pembawa misik (minyak wangi), mungkin ia akan memberimu, atau kau membeli darinya, atau kau dapatkan amis harum darinya. Sedangkan pintar besi, mungkin ia akan mengkremasi pakaianmu, atau kau dapatkan amis tidak sedap darinya.”

8. Satu hal yang harus kita ingat dari kisah ini, tekad dan niat tulus si pembunuh, itulah yang mengantarnya kepada rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang teramat luas. Meski belum mengisi lembaran hidup barunya dengan kebaikan, tetapi tekad dan niat tulus ini sangat bernilai di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah salah satu buah dan keutamaan tauhid yang murni.

Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing kita membersihkan hati kita dari kekotoran syirik dan maksiat hingga kita bertemu dengan-Nya dalam keadaan membawa hati yang selamat. Amin. Quran dan Sunnah/Fohto (www.bagnet.org)


Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+