Suatu hari, bapaknya itu memanggil Mahmud, dan berkata, "Anakku, engkau ini suka lalai beribadah dan malah suka berbuat maksiat. Mulai hari ini, saya akan menancapkan paku pada tiang di halaman rumah kita.
Setiap kali, engkau berbuat maksiat maka saya akan menancapkan satu paku ke tiang itu. Akan tetapi, setiap kali engkau berbuat satu kebajikan maka saya akan mencabut sebatang paku dari tiang ini.
Sesuai dengan janjinya, setiap hari bapaknya menancapkan beberapa batng paku pada tiang itu, ketika ia mengetahui Mahmud kembali bermaksiat. Kadang-kadang, dalam satu hari, ia hingga menancapkan puluhan paku di tiang itu. Ia jarang sekali mencabut paku itu keluar dari tiang alasannya yaitu Mahmud nyaris tidak pernah berinfak saleh.
Hari demi hari berganti, ahad demi ahad berlalu, bulan pun berganti bulan, tidak terasa tahun demi tahun pun terus beredar. Tiang yang bangun di halaman rumah Mahmud nyaris dipenuhi paku dari bawah hingga ke atas. Hampir setiap permukaan tiang itu di penuhi paku. Ada paku-paku yang sudah berkarat alasannya yaitu hujan dan panas.
Setelah melihat tiang di halaman rumahnya penuh dengan paku yang membelalakan mata, timbullah rasa aib pada diri Mahmud. Ia pun berniat untuk bertobat dan memperbaiki dirinya. Mulai ketika itu juga, Mahmud mulai mengerjakan shalat. Hari itu saja, lima butir paku telah di cabut bapaknya dari tiang itu. Besoknya, Mahmud shalat lagi di tambah dengan shalat sunnah sehingga paku-paku di tiang halaman rumahnya itu semakin banyak yang di cabut bapaknya.
Hari berikutnya Mahmud meninggalkan sisa-sisa maksiat yang menempel sehingga semakin banyaklah paku-paku yang di cabut bapaknya. Hari demi hari, semakin banyak kebaikan yang Mahmud lakukan, dan semakin banyak maksiat yang ditinggalkanya, hingga karenanya hanya tinggal sebatang paku yang tinggal menempel di tiang itu.
Kemudian bapaknya memanggil Mahmud dan berkata, "Lihatlah anakku, ini paku terakhir dan akan saya cabut keluar sekarang. Tidakkah engkau gembira?"
Mahmud melamun sambil memandang tiang itu. Ia bukanya besar hati ibarat dugaan bapaknya, Mahmud malah menangis terisak-isak.
"Kenapa anakku?" tanya bapaknya, "aku menyangka, engkau tentu akan besar hati alasannya yaitu semua paku itu telah saya cabuti."
Dalam tangisnya, Mahmud berkata, "Wahai bapakku, sungguh benar kata-katamu, paku-paku itu telah tiada, tetapi saya bersedih alasannya yaitu parut-parut lubang dari paku itu tetap membekas di tiang, bersama dengan karatnya. Begitu dengan kemaksiatan yang telah saya lakukan. Bekas dan karatnya pun masih ada. Bantulah saya untuk menjadi lebih baik.
Bapaknya pun pribadi mengiyakannya. Ia memeluk Mahmud dengan perasaan haru dan bahagia, melihat Mahmud telah sadar sepenuhnya.
HIKMAH DIBALIK KISAH
Kisah diatas merupakan sebuah pelajaran bagi kita biar senantiasa merubah diri dari perbuatan yang tadinya sangat dibenci oleh Allah SWT. menjadi seorang yang taat dan senantiasa membersihkan diri dari perbuatan dosa. Allah SWT. yaitu Tuhan Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang bagi hambanya yang ingin bertobat dan memperbaiki diri biar menjadi insan yang taat dan bermanfaat untuk diri sendiri dan bahkan untuk orang lain.
Sisa atau bekas dosa yang telah kita perbuat akan tetap ada, namun kita tentunya punya harapan yang berpengaruh dan sungguh-sungguh untuk bertobat, sehingga Allah SWT. akan menghapus dan membersihkan bekas dosa yang kita perbuat dan akan membaguskan diri kita dengan amaliah-amaliah yang disukai-Nya.