Mereka masuk ke majelis al Manshur, dan dipersilahkan duduk pada daerah yang telah disediakan. Ternyata dikala itu sang khalifah tengah bersiap mengeksekusi (menghukum mati) seseorang, sang algojo dengan pedang yang terasah tajam siap mendapatkan perintah. Al Manshur tampak terpekur beberapa saat, kemudian menoleh dan berkata kepada Ibnu Thawus, “Ceritakan kepadaku sesuatu wacana ayahmu!!”
Tanpa rasa takut dan tedeng aling-aling, Ibnu Thawus berkata, “Aku mendengar ayahku berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya pada hari simpulan zaman ialah orang yang menyekutukan Allah dalam hukum-Nya, kemudian memasukkan ketidak-adilan dalam keadilan-Nya!!”
Tentu saja Ibnu Thawus sangat tahu apa yang dikatakannya, dan resikonya alasannya dikatakan di hadapan penguasa yang sangat populer kekejamannya. Tetapi menyerupai yang pernah disabdakan Nabi SAW, bahwa jihad terbesar ialah kalimat yang benar (haq), yang disampaikan di hadapan penguasa yang dzalim. Malik bin Anas (yakni Imam Malik, yang ‘menyusun’ madzab Maliki dan kitab hadist yang pertama al Muwaththa’) juga khawatir dengan perkataannya itu, jangan-jangan Al Manshur memerintahkan algojonya untuk membunuh Ibnu Thawus. Karena itu ia menutupi dirinya dengan jubahnya semoga tidak terpercik darah Ibnu Thawus.
Tetapi beberapa dikala berlalu, ternyata Al Manshur hanya membisu terpekur, kemudian berkata lagi, “Wahai Ibnu Thawus, berilah saya nasehat!!”
“Baiklah,” Kata Ibnu Thawus lagi, “Tidakkah engkau mendengar Firman Allah SWT :
Apakah kau tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum Ad? Penduduk Iram yang memiliki bangunan-bangunan yang tinggi,
yang belum pernah dibangun (suatu kota) menyerupai itu di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah, dan kaum Firaun yang memiliki pasak-pasak (tentara yang banyak), yang berbuat absolut dalam negerinya, kemudian mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, alasannya itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab (yakni siksa yang sepedih-pedihnya), bersama-sama Tuhanmu benar-benar mengawasi!!”
Kekhawatiran Imam Malik makin meningkat saja. Kalau tadi Ibnu Thawus ‘mengancam’ sang khalifah dengan hadist Nabi SAW, sekarang meningkatkan ‘ancamannya’ dengan Firman-firman Allah yang tercantum dalam QS Al Fajr ayat 6-14. Lagi-lagi Imam Malik menangkupkan jubahnya kalau-kalau terjadi sesuatu dengan Ibnu Thawus, yakni dibunuh, dan darahnya akan memercik pada dirinya.
Tetapi menyerupai sebelumnya, khalifah Al Manshur hanya terpekur mendengar perkataan Ibnu Thawus tersebut, yang jelas-jelas mengkritisi, bahkan mencela ‘kebijakan tangan besi’ yang telah dilakukannya. Ia menyerupai karam dalam pikirannya sendiri, kemudian berkata, “Wahai Thawus berikanlah (pinjamilah) tinta (pena/pulpen) kepadaku!!”
Mungkin maksud Al Manshur akan mencatat perkataan atau nasehatnya tersebut, tetapi lagi-lagi Ibnu Thawus menolak memberikannya. Maka sang khalifah berkata, “Apa yang menghalangimu untuk menunjukkan tinta itu kepadaku??”
Walau nilai atau harga tinta tidaklah seberapa, bahkan mungkin tidak ada nilainya sama sekali bagi Al Manshur, tetapi Ibnu Thawus punya alasan sendiri. Ia berkata, “Aku khawatir kau menuliskan perintah kemaksiatan (kedzaliman), maka saya bersekutu (terlibat) denganmu dalam kemaksiatan itu!!”
Al Manshur tampak jengkel dengan perkataan Ibnu Thawus itu, tetapi entah mengapa ia tidak sanggup atau tidak berani bersikap kejam kepadanya. Ia berkata, “Pergilah kalian dariku!!”
Maka Ibnu Thawus berkata, “Itulah yang memang kami harapkan!!”