Sejak usang Zaid bin Amru telah meyakini kebenaran agama Ibrahim, tetapi tidak mengikuti Agama Yahudi dan Nashrani yang menurutnya telah jauh menympang dari agama Ibrahim. Ia tidak segan mencela cara-cara peribadatan dan perbuatan jahiliah dari kaum Quraisy tanpa rasa takut sedikitpun. Ia pernah bersandar di dinding Ka'bah ketika kaum Quraisy sedang melaksanakan ritual-ritual penyembahannya, dan ia berkata, "Wahai kaum Quraisy, apakah tidak ada di antara kalian yang menganut agama Ibrahim selain aku??"
Zaid bin Amru juga sangat aktif menentang kebiasaan kaum Quraisy mengubur hidup-hidup anak perempuannya, alasannya dianggap sebagai aib, menyerupai yang pernah dilakukan Umar bin Khaththab di masa jahiliahnya. Ia selalu memperlihatkan diri untuk mengasuh anak perempuan tersebut. Ia juga selalu menolak memakan daging sembelihan yang tidak disebutkan nama Allah dikala penyembelihannya, dan juga penyembelihan untuk berhala-berhala.
Seakan-akan ia memperoleh ilham, ia pernah berkata kepada sobat dan kerabatnya, "Aku sedang menunggu seorang Nabi dari keturunan Ismail, hanya saja, rasanya saya tidak akan sempat melihatnya, tetapi saya beriman kepadanya dan meyakini kebenarannya…..!!"
Zaid bin Amru sempat bertemu dan bergaul dengan Nabi Muhammad SAW sebelum dia dikukuhkan sebagai Nabi dan Rasul, sosok cowok ini (yakni, Nabi Muhammad SAW) sangat mengagumkan bagi dirinya, di samping akhlaknya yang mulia, cowok ini juga memiliki pandangan yang sama dengan dirinya wacana kebiasaan dan ritual jahiliah kaum Quraisy. Tetapi Zaidmeninggal ketika Kaum Quraisy sedang memperbaiki Ka'bah, yakni, ketika Nabi SAW berusia 35 tahun.
Dengan didikan menyerupai itulah Sa'id bin Zaid tumbuh dewasa, maka tak heran ketika Nabi SAW memberikan risalahnya, ia dan istrinya eksklusif menyambut usul beliau. Tak ada ketakutan dan kekhawatiran walau dikala itu kaum Quraisy melancarkan siksaan yang tak terperikan kepada para pemeluk Islam, termasuk Umar bin Khaththab, abang iparnya sendiri yang merupakan satria duel di pasar Ukadz. Hanya saja ia masih menyembunyikan keislamannya dan istrinya. Sampai suatu ketika Umar yang bertemperamen keras itu mengetahuinya juga.
Ketika itu Sa'id dan istrinya sedang mendapat pengajaran al Qur'an dari sobat Khabbab bin Arats,tiba-tiba terdengar ketukan, atau mungkin lebih sempurna gedoran di pintu rumahnya. Ketika ditanyakan siapa yang mengetuk tersebut, terdengar balasan yang garang, "Umar..!!"
Suasana khusyu' dalam pengajaran al Qur'an tersebut menjadi kacau, Khabbab segera bersembunyi sambilterus berdoa memohon pemberian Allah untuk mereka. Sa'id dan istrinya menuju pintu sambil menyembunyikan lembaran-lembaran mushaf di balik bajunya. Begitu pintu dibuka oleh Sa'id, Umar melontarkan pernyataan keras dengan sorot mata menakutkan, "Benarkan desas-desus yang kudengar, bahwa kalian telah murtad?"
Sebelum kejadian itu, bersama-sama Umar telah membulatkan tekad untuk membunuh Nabi SAW. Kemarahannya telah memuncak alasannya kaum Quraisy jadi terpecah belah, mengalami kekacauan dan kegelisahan, penyebab kesemuanya itu yaitu dakwah Islamiah yang disampaikan Nabi SAW. Dalam pemikiran Umar, kalau ia menyingkirkan/membunuh beliau, tentulah kaum Quraisy kembali hening menyerupai semula. Tetapi di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Nu'aim bin Abdulah yang memberitahukan kalau adiknya, Fathimah dan suaminya telah memeluk Islam. Nu'aim menyarankan supaya ia mengurus kerabatnya sendiri saja, sebelum mencampuri urusan orang lain. Karena itu, tak heran kalau kemarahan Umar itu tertumpah kepada keluarga adiknya ini.
Sebenarnya Sa'id melihat ancaman yang tampak dari sorot mata Umar. Tetapi keimanan yang telah merasuk seolah memberikan suplemen kekuatan yang terkira. Bukannya menolak tuduhan, ia justru berkata, "Wahai Umar, bagaimana pendapat anda kalau kebenaran itu ternyata berada di pihak mereka ??"
Mendengar balasan itu, Umar eksklusif menerkam Sa'id, memutar kepalanya kemudian membantingnya ke tanah, sesudah itu Umar menduduki dada Sa'id. Sepertinya Umar ingin memberikan pukulan pamungkas untuk Sa'id, menyerupai kalau ia mengakhiri perlawanan musuhnya ketika sedang berduel di pasar Ukadz. Fathimah mendekat untuk membela suaminya, tetapi ia mendapat tinju keras Umar di wajahnya sehingga terjatuh dan darah mengalir dari bibirnya. Keadaan Sa'id sangat kritis, ia bukan lawan duel sebanding dengan Umar, dan ia hanya sanggup pasrah kalau Umar akan menghabisinya.
Tetapi tiba-tiba terdengar pekikan keras istrinya, Fathimah. Bukan ketakutan, tetapi pekikan perlawanan dan permusuhan dengan penuh keberanian, "Hai musuh Allah, kau berani memukul saya alasannya saya beriman kepada Allah…! Hai Umar, perbuatlah yangkamu suka, alasannya saya akan tetap bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan bahwa Muhammad adalahRasullullah…!"
Umar tersentak bagai disengat listrik, pekikan itu seakan menembus ulu hatinya … terkejut dan heran. Umar bin Khaththab seakan tak percaya, perempuan lemah ini, yang tidak lain adiknya sendiri berani menentangnya. Tetapi justru dari keheranan dan ketidak-percayaannya ini, amarahnya menjadi reda, dan kemudian menjadi titik balik ia memperoleh hidayah dan hasilnya memeluk Islam.
Sebagaimana sahabat-sahabat yang memeluk Islam pada masa awal, Sa’id bin Zaid merupakan sosok yang banyak menghabiskan waktunya untuk beribadah, seorang alim yang sangat zuhud. Hampir tidak pernah tertinggal dalam aneka macam pertempuran dalam menegakkan panji-panji keimanan. Ia tidak mengikuti perang Badar, alasannya dikala itu ia ditugaskan Nabi SAW untuk kiprah jasus ke Syam bersama Thalhah bin Ubaidillah. Tetapi dia menetapkannya sebagai Ahlul Badr dan memberikan cuilan ghanimah dari perang Badar, walau secara fisik tidak terjun dalam pertempuran tersebut. Ada tujuh sobat lainnya menyerupai Sa'id, tidak mengikuti perang Badar, tetapi Nabi SAW menetapkannya sebagai Ahlul Badr.
Sa'id juga termasuk dalam kelompok sepuluh sobat yang dijamin oleh Nabi SAW akan masuk nirwana dalam masa hidupnya. Sembilan sobat lainnya adalah, empat sobat Khulafaur Rasyidin, Abdurrahman bin Auf, Sa'd bin Abi Waqqash, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Abu Ubaidah bi Jarrah R.Hum.
Sa'id sempat mengalami masa kejayaan Islam, di mana wilayah makin meluas dan makin banyak lowongan jabatan. Sesungguhnyalah ia pantas memangku salah satu dari jabatan-jabatan tersebut, tetapi ia menentukan untuk menghindarinya. Bahkan dalam banyak pertempuran yang diterjuninya, ia lebih menentukan menjadi prajurit biasa. Dalam suatu pasukan besar yang dipimpin oleh Sa'd bin Abi Waqqash, sesudah menaklukan Damaskus,Sa'd memutuskan dirinya sebagai wali negeri/gubernur di sana. Tetapi Sa'id bin Zaid meminta dengan sangat kepada komandannya itu untuk menentukan orang lain memegang jabatan tersebut, dan mengijinkannya untuk menjadi prajurit biasa di bawah kepemimpinannya. Ia ingin terus berjuang menegakkan kalimat Allah dan panji-panji kebenaran, suatu keadaan yang tidak sanggup dilakukannyan kalau ia memegang jabatan wali negeri.
Seperti halnya jabatan yang dihindarinya, begitu juga dengan harta dan kemewahan dunia. Tetapi semenjak masa khalifah Umar, harta kekayaan tiba melimpah-ruah memenuhi Baitul Mal (Perbendaharaan Islam), sehingga mau tidak mau, sahabat-sahabat masa awal menyerupai Sa’id bin Zaid akan memperoleh cuilan juga. Bahkan khalifah Umar memberikan jatah (bagian) lebih banyak daripada cuilan sobat yang memeluk Islam belakangan, yaitu sesudah terjadinya Fathul Makkah. Namun, setiap kali ia memperoleh pembagian harta atau uang, segera saja ia menyedekahkannya lagi, kecuali sekedarnya saja.
Namun dengan cara hidupnya yang zuhud itu, masih juga ada orang yang memfitnah dirinya bersikap duniawiah. Peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Muawiyah, ketika ia telah menghabiskan sisa hidupnya hanya untuk beribadah di Madinah. Seorang perempuan berjulukan Arwa binti Aus menuduh Sa’id telah merampas tanah miliknya. Pada mulanya Sa’id tidak mau terlalu perduli atau melayani tuduhan tersebut, ia hanya membantah sekedarnya dan menasehati perempuan itu untuk tidak menciptakan kedustaan. Tetapi perempuan itu tetap saja dengan tuduhannya, bahkan ia melaporkan kepada gubernur Madinah.
Marwan bin Hakam, gubernur Madinah yang masih paman dari Muawiyah, atas laporan Arwa bin Aus itu memanggil Sa’id untuk mempertanggung-jawabkan tindakannya. Setelah menghadap, Sa’id membantah tuduhan itu, ia berkata, “Apakah mungkin saya mendzalimi perempuan ini (yakni merampas tanahnya), sedangkan saya mendengar sendiri Rasulullah SAW bersabda : Barang siapa yang mendzalimi seseorang dengan sejengkal tanah, maka Allah akan melilitnya dengan tujuh lingkaran bumi pada hari simpulan zaman kelak!!”
Sa’id memang meriwayatkan beberapa hadits Nabi SAW, termasuk hadits yang dijadikan hujjahnya itu. Ada hadits senada lainnya yang juga diriwayatkannya, yakni : Barang siapa yang berbuat dzalim terhadap sejengkal tanah, maka akan dikalungkan kepadanya tujuh lapis bumi, dan barang siapa yang terbunuh alasannya membela hartanya, maka ia mati syahid.
Kemudian Sa’id berbalik menghadap kiblat dan berdoa, “Ya Allah, apabila dia (wanita itu) sengaja membuat-buat kebohongan ini, janganlah engkau mematikan dirinya kecuali sesudah ia menjadi buta, dan hendaklah Engkau jadikan sumurnya sebagai kuburannya…!!”
Beberapa waktu kemudian Arwa binti Aus menjadi buta, dan dalam keadaan menyerupai itu ia terjatuh ke dalam sumur miliknya sendiri dan mati di dalamnya. Sebenarnya dikala itu Sa’id berdoa tidak terlalu keras, tetapi beberapa orang sempat mendengarnya. Mereka segera saja mengetahui kalau Sa’id bin Zaid dalam kebenaran, dan doanya makbul. Namanya dan kebaikannya jadi semakin dikenal, dan ia banyak didatangi orang untuk minta didoakan.
Seperti halnya jabatan dan harta kekayaan, ke-terkenal-an (popularitas) juga tidak disukai oleh Sa’id bin Zaid ini. Walaupun ia sebagai sobat as sabiqunal awwalin, selalu berjuang dan berjihad di jalan Allah setiap kali ada kesempatan, dan menghabiskan waktu dengan ibadah ketika sedang ‘menggantungkan pedang’, bahkan telah dijamin masuk nirwana oleh Rasulullah SAW ketika masih hidup bersama (hanya) sembilan sobat lainnya, tetapi ia tidak terlalu menonjol dan populer dibanding sahabat-sahabat lainnya yang memeluk Islam belakangan, menyerupai contohnya Khalid bin Walid, Amr bin Ash, Salman al Farisi dan lain-lainnya. Hal ini terjadi alasannya ia memang lebih suka ‘menyembunyikan diri’, lebih asyik menyendiri dalam ibadah bersama Allah, walau secara lahiriah ia berada di antara banyak sobat lainnya. Setelah kejadian dengan Arwa bin Aus dan banyak orang yang mendatangi dirinya, Sa’id merasa tidak nyaman. Apalagi kehidupan kaum muslimin dikala itu, walau tinggal di Madinah, tetapi makin banyak saja yang ‘mengagung-agungkan’ kemewahan dunia. Jejak kehidupan Nabi SAW dan para sobat masa awal, baik dari kalangan Muhajirin ataupun Anshar, yang selalu sederhana dan zuhud terhadap dunia bertahap mulai memudar. Karena itu Sa’id pindah ke tempat pedalaman, yakni di Aqiq, dan ia wafat di sana pada tahun 50 atau 51 hijriah. Tetapi jenazahnya dibawa pulang ke Madinah oleh Sa'd bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Umar, keponakannya sendiri, kemudian dimakamkan di Baqi, di antara beberapa sobat Rasulullah SAW lainnya.