Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Di dalam mazhab Asy-Syafi'iyah, ada enam hal yang menimbulkan seseorang berjanabah atau berhadats besar, yaitu jima', keluar mani, meninggal dunia, haidh, nifas dan melahirkan.
Dari keenam penyebab itu, hanya ada satu saja yang jikalau terjadi, belum tentu otomatis membatalkan puasa, yaitu keluar mani. Selebihnya, berjima, meninggal dunia, haidh, nifas dan melahirkan, semua tentu membatalkan puasa.
Bila seorang yang sedang berpuasa mengeluarkan air mani dengan sengaja, baik dengan cara jima' atau dengan cara selain jima', baik dilakukan sendiri atau bersama pasangannya, maka dengan keluarnya air mani itu, otomatis puasanya pun ikut batal.
Pengecualian
Namun apabila pada dikala puasa seseorang tidur dan dalam tidurnya itu dia mengalami mimpi (الاحتلام) yang menimbulkan keluarnya mani, maka hal itu tidak membatalkan puasanya. Dan dia tetap boleh meneruskan puasanya, sebagaimana yang sudah menjadi ijma’ di kalangan para ulama.[1]
Di antara dalil yang mendasarinya yaitu sabda Rasulullah SAW berikut ini :
ثَلاَثٌ لاَ يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ : الْحِجَامَةُ وَالْقَيْءُ وَالاِحْتِلاَمُ
Dari Abi Siad Al-Khudhri radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Tiga hal yang tidak menciptakan batal orang yang berpuasa : berbekam, muntah dan mimpi (hingga keluar mani)”. (HR. At-Tirmizy)
Dalam hal ini para ulama setuju menyebutkan bahwa bila seseorang secara sengaja melaksanakan hal-hal yang sanggup membangkitkan birahi baik melalui fikiran (imajinasi) atau melihat atau mendengarkan hal-hal yang merangsang birahinya sampai menimbulkan keluarnya mani, maka hal itu belum dianggap membatalkan puasa.
Mengapa?
Karena batasannya yaitu adanya sentuhan eksklusif ke alat kelamin, baik dengan lewat percumbuan, atau pun cara-cara lainnya
Maka bila terjadi sentuhan langsung, menyerupai onani, atau bercumbu tanpa jima’ dengan istri, tetapi menimbulkan keluar mani, maka hal itu disepakati telah membatalkan dan merusak puasa.
Namun bila seseorang mengalami janabah di malam hari, kemudian melewati waktu shubuh dalam keadaan janabah, puasanya sah dan tidak diharuskan untuk mengganti puasanya di hari lain.
Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa meski seseorang sepanjang hari berada dalam keadaan janabah, puasanya tetap sah.
Dasarnya yaitu perkataan kedua orang istri Rasulullah SAW, yaitu Aisyah dan Ummi Salamah radhiyallahuanhuma,
نَشْهَدُ عَلَى رَسُول اللَّهِ إِنْ كَانَ لَيُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ غَيْرِ احْتِلاَمٍ ثُمَّ يَغْتَسِل ثُمَّ يَصُومُ
Kami menjadi saksi bahwa Rasulullah SAW memasuki waktu shubuh dalam keadaan janabah yang bukan alasannya yaitu mimpi, kemudian dia mandi janabah dan melaksanakan puasa. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan hadits lain yang bertentangan dengan hal itu dianggap oleh para ulama bahwa hadits itu telah dinasakh, atau termasuk bab afdhaliyah.
مَنْ أَصْبَحَ جُنُبًا فَلاَ صَوْمَ لَهُ
Orang yang memasuki waktu shubuh dalam keadaan janabah, maka tidak ada puasa baginya. (HR. Bukhari dan muslim)
Kalimat ‘Tidak ada puasa baginya’, berdasarkan para ulama maksudnya bukan puasanya tidak sah, melainkan maknanya yaitu bahwa tidak ada fadhilah atau keutamaan dalam puasanya itu.
Al-Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa kebolehan orang yang memasuki waktu shubuh dalam keadaan janabah merupakan ijma’. Sebagaimana keterangan yang sama dikemukakan oleh Ibnu Daqiq Al-‘Id. Sedangkan Asy-Syaukani menyebutkan bahwa hal itu merupakan pendapat jumhur ulama.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
[1] Al-Qawanin Al-Fiqhiyah, hal. 81
Sumber: Rumah Fiqih Indonesia