Merekalah Orang-Orang Yang Menyayangi Nabi

Ridhmedia
05/01/17, 04:58 WIB

Cinta Nabi. Kalimat sederhana yang begitu dalam maknanya. Dua kata yang bisa menciptakan orang menebusnya dengan dunia dan seisinya. Karena memang demikianlah hakikinya. Nabi Muhammad ﷺ wajib lebih dicintai dari orang tua, istri, anak, dan siapapun juga.

Flashdisk Yufid.TV
Namun, kecintaan kepada Nabi Muhammad ﷺ bukanlah sesuatu yang bebas ekspresi. Tetap ada hukum yang indah dan elegan. Tidak boleh berlebihan dan juga menyepelekan. Tidak boleh mengada-ada. Karena dia begitu mulia untuk dipuja dengan sesuatu yang bukan dari ajarannya.

Allah ﷻ berfirman,

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا

“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bahu-membahu dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS:An-Nisaa | Ayat: 69).

Imam al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya mengatakan, “Ayat ini turun terkait dengan cerita Tsauban bin Bujdad radhiallahu ‘anhu bekas budak Rasulullah ﷺ. Ia sangat menyayangi Nabi ﷺ. Suatu hari ia menemui Nabi ﷺ, rona wajahnya berbeda. Menyiratkan kekhawatiran dan rasa sedih yang bergemuruh.

Rasulullah ﷺ bertanya, ‘Apa yang menciptakan raut wajahmu berbeda (dari biasa)’?

‘Aku tidak sedang sakit atau kurang yummy badan. Aku hanya berpikir, jikalau tak melihatmu, saya sangat takut berpisah denganmu. Perasaan itu tetap ada, hingga saya melihatmu. Kemudian saya teringat akhirat. Aku takut kalau saya tak berjumpa denganmu. Karena engkau di kedudukan tinggi bersama para nabi. Dan aku, seandainya masuk surga, saya berada di tingkatan yang lebih rendah darimu. Seandainya saya tidak masuk surga, maka saya takkan melihatmu selamanya’, kata Tsauban radhiallahu ‘anhu.

Kemudian Allah ﷻ menurunkan ayat ini.

Mereka Yang Mencintai Nabi

Suatu hari, Abdullah bin Zaid radhiallahu ‘anhu, sedang berkebun di perkebunannya. Kemudian anaknya datang, mengabarkan kalau Nabi ﷺ telah wafat. Ia berucap,

اللهم أذهب بصري تى لا أرى بعد حبيبي محمدًا أحدًا

“Ya Allah, hilangkanlah penglihatanku. Sehingga saya tidak melihat seorang pun sehabis kekasihku, Muhammad.” Ia katupkan dua tapak tangannya ke wajah. Dan Allah ﷻ mengabulkan doanya (Syarah az-Zarqani ‘ala al-Mawahib ad-Diniyah bi al-Manhi al-Muhammadiyah, Juz: 8 Hal: 84).

Tak ada pemandangan yang lebih indah bagi para teman melebihi memandang wajah Rasulullah ﷺ. Abdullah bin Zaid ingin, pandangan terakhirnya yaitu wajah Nabi. Saat memejamkan mata, ia tak ingin ada bayangan lain di benaknya. Ia hanya ingin muncul wajah yang mulia itu.

Bilal radhillahu ‘anhu, seorang teman dari Habasyah. Muadzin Rasulullah ﷺ. Cintanya pada sang Nabi terus bertumbuh hingga maut tiba padanya. Sadar akan kehilangan Bilal, keluarganya bersedih dan mengatakan, “Betapa besar musibah”!

Bilal menanggapi, “Betapa bahagia! Esok saya berjumpa dengan kekasih; Muhammad dan sahabat-sahabatnya.” (Rajulun Yatazawwaju al-Mar-ata walahu Ghairuha, No: 285)

Cinta teman Nabi telah menciptakan kita malu. Cinta mereka begitu tulus. Tak jarang cinta kita hanya mengaku-ngaku.

Al-Hawari, Abdullah bin Zubair. Apabila ada yang menyebut Nabi ﷺ di sisi Abdullah bin Zubair radhiallahu ‘anhu, ia menangis tersedu, hingga matanya tak bisa lagi meneteskan rindu dan kesedihan (asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Musthafa, Hal: 402).

Demikian juga dengan sahabiyat (sahabat wanita). Cinta mereka kepada Rasululllah ﷺ tak kalah hebatnya dari teman laki-laki. Ada seorang perempuan Anshar; ayah, suami, saudara laki-lakinya gugur di medan Perang Uhud. Bayangkan! Bagaimana perasaan seorang perempuan kehilangan ayah, daerah ia mengadu. Kehilangan suami, tulang punggung keluarga dan daerah berbagi. Dan saudara pria yang melindungi. Ditambah, ketiganya pergi secara bersamaan. Alangkah sedih keadaannya.

Mendengar tiga orang kerabatnya gugur, sahabiyah ini bertanya, “Apa yang terjadi dengan Rasulullah ﷺ”?

Orang-orang menjawab, “Beliau dalam keadaan baik.”

Wanita Anshar itu memuji Allah dan mengatakan, “Izinkan saya melihat beliau.” Saat melihatnya ia berucap,

كل مصيبة بعدك جلل يا رسول الله

“Semua tragedi alam (selain yang menimpamu) yaitu ringan, wahai Rasullah.” (Sirah Ibnu Hisyam, Juz: 3 Hal: 43).

Maksudnya apabila tragedi alam itu menimpamu; kematian dll. Itulah tragedi alam yang berat.

Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Taka da seorang pun yang lebih saya cintai melebih Rasulullah. Dan tak ada seorang pun yang lebih mulia bagiku selain dirinya. Aku tidak pernah menyorotkan penuh pandanganku padanya, lantaran begitu menghormatinya. Sampai-sampai jikalau saya ditanya, ihwal perawakannya, saya tak bisa menggambarkannya. Karena mataku tak pernah memandangnya dengan pandangan utuh.” (Riwayat Muslim dalam Kitab al-Iman No: 121).

Sebagaimana kita saksikan, seorang pengawal kerajaan menundukkan wajahnya saat berbicara dengan sang raja. Karena menghormati dan memuliakan rajanya. Amr bin al-Ash lebih-lebih lagi dalam memuliakan dan mengagungkan Nabi ﷺ.

Adakah pengagungan yang lebih jago dan lebih luar biasa. Selain pengagungan para teman Nabi Muhammad ﷺ terhadap beliau?

Cinta Nabi Harus Mencintai Sahabatnya

Mencintai Nabi ﷺ berkonsekuensi menyayangi sahabatnya. Abdullah bin al-Mubarak mengatakan, “Ada dua jalan, siapa yang berada di atasnya, ia selamat. Ash-shidqu (jujur) dan menyayangi teman Muhammad ﷺ.” (asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Musthafa, Hal: 413).

Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah (tokoh tabi’in) mengatakan, “Siapa yang menyayangi Abu Bakar, ia telah menegakkan agama. Siapa yang menyayangi Umar, ia telah memperjelas tujuan. Siapa yang menyayangi Utsman, ia telah meminta penerangan dengan cahaya Allah. Dan siapa yang menyayangi Ali, ia telah mengambil tali yang kokoh. Siapa elok sikapnya terhadap teman Muhammad ﷺ, ia telah berlepas diri dari kemunafikan. Siapa yang merendahkan salah seorang dari mereka, ia yaitu spesialis bid’ah yang menyelisihi Sunnah dan salaf ash-shaleh. Aku khawatir amalnya tidak naik ke langit (tidak diterima), hingga ia menyayangi semua sahabat. Dan hatinya higienis terhadap mereka.” (ats-Tiqat oleh Ibnu Hibban No:680).

Mencintai Rasulullah ﷺ yaitu kedudukan mulia. Umat Islam berlomba-lomba menyayangi beliau. Kecintaan kepada dia menguatkan hati. Gizi bagi ruh. Dan penyejuk jiwa. Mencintai dia yaitu cahaya. Tak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan menyayangi Allah dan Rasul-Nya.

Kita melihat orang-orang yang cinta nabi, mata mereka berbinar bahagia. Jiwa mereka syahdu. Hati mereka tenang. Mereka menikmati rasa cinta itu. mereka menjadi mulia di dunia dan berbahagia di akhirat. Mereka tahu bagaimana rasa yang namanya senang itu. Keadaan sebaliknya bagi mereka yang tidak menyayangi Nabi. Mereka mencicipi kegundahan. Jiwa yang hampa. Perasaan yang sakit. Dan rugi.

Dalam Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim rahimahullah, mengatakan, “Maksudnya yaitu sekadar mana seseorang mengikuti Rasul. Setingkat itu pula kadar kemuliaan dan pertolongan. Sebatas itu pula kualitas hidayah, kemenangan, dan kesuksesan. Allah ﷻ memberi hubungan sebab-akibat, kebahagiaan di dunia dan alam abadi yaitu dengan mengikuti Nabi. Dia menimbulkan kesengsaraan di dunia dan alam abadi bagi yang menyelisihi sang Nabi. Mengikutinya yaitu petunjuk, keamanan, kemenangan, kemuliaan, kecukupan, kenikmatan. Mengikutinya yaitu kekuasaan, teguh di atasnya, kebaikan hidup di dunia dan akhirat. Menyelisihinya yaitu kehinaan, ketakutan, kesesatan, kesengsaraan di dunia dan akhirat.”

Renungan

Setelah mengetahui bagaimana hebatnya cinta dan pengagungan para teman terhadap Rasulullah ﷺ, tentunya kita semakin bersemangat untuk meneladani cara mereka menyayangi Nabi. Cara yang tidak berlebihan dan tidak menyepelekan. Cara mereka menyayangi diridhai oleh Nabi.

Mereka menangis, tidak berani menyorotkan pandangan, senang dengan keselamatan beliau, dll. tapi mereka tak pernah melaksanakan perayaan maulid Nabi yang dianggap bukti cinta padanya. Mereka tak pernah merayakan suatu ‘amalan’ di hari kelahiran sang tauladan yang katanya yaitu pengagungan.

Apakah kita yang mencar ilmu dari mereka cara menyayangi Nabi ataukah sebaliknya?

Demikianlah kita belum dewasa final zaman. Sering menyebut cinta, tapi kita tak tahu apa artinya mencintai. Akhirnya, semakin marak perayaan, umat tak kunjung juga mengkaji hadits-hadits Nabi. Lihatlah sekitar kita sebagai renungan dan bukti.

Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com


Komentar

Tampilkan

Terkini