Usamah Bin Zaid Ra Panglima Kecintaan Rasulullah

Ridhmedia
14/05/19, 18:36 WIB

Usamah bin Zaid yaitu putra dari sobat kesayangan Rasulullah SAW, Zaid bin Haritsah, yang dia pernah menjadikannya sebagai anak angkat, dari status sebelumnya sebagai budak dan pelayan beliau. Ibunya-pun yaitu orang yang akrab dan disayang Rasulullah SAW, Ummu Aiman, bekas sahaya beliau. Keduanya merupakan orang-orang yang mula-mula memeluk Islam, sehingga tak heran Usamah-pun menjadi kesayangan dia ibarat juga ayahnya.

Usamah lahir pada tahun ketiga atau keempat dari kenabian, sehingga mudah ia ia tidak pernah mengalami masa jahiliah. Didikan masa kecil dan remajanya yaitu moral kenabian, baik dari kedua orang tuanya yang yaitu didikan Nabi SAW, atau bahkan terkadang dia turun eksklusif dalam membentuk moral Usamah. Kondisi ibarat inilah yang menambah rasa sayang dia kepadanya.

Beberapa sahabat-pun sangat sayang pada cukup umur ini melebihi anaknya sendiri, ibarat yang terjadi pada Umar bin Khaththab. Saat menjadi khalifah, Umar pernah membagi-bagikan uang pada masyarakat, dan jumlahnya berbeda-beda berdasarkan kedudukan dan jasa mereka kepada Islam, dan juga evaluasi Nabi SAW atas mereka. Ketika tiba giliran anaknya, Abdullah bin Umar, ia memperlihatkan satu bagian. Giliran Usamah bin Zaid, Umar memberikannya dua cuilan dari cuilan anaknya.

Abdullah bin Umar jadi bertanya-tanya, bukan problem jumlahnya sebab intinya ia juga didikan Nabi SAW yang mengutamakan kehidupan zuhud dan sederhana ibarat juga Umar, ayahnya. Hanya saja ia takut ada yang kurang dalam amal ketaatan dan kesalehannya, sebab itu ia bertanya, "Wahai ayah, mengapa engkau mengutamakan Usamah dibanding anakmu sendiri? Bukankah saya mengikuti pertempuran yang tidak atau belum diikutinya bersama Rasulullah??"

Tetapi jawaban Umar tegas dan tidak sanggup dibantah lagi, ia berkata, "Usamah lebih dicintai Rasulullah daripada dirimu, ibarat juga ayahnya lebih disayang Rasulullah daripada ayahmu….!!"

Dalam usianya yang masih sangat muda, ia telah ikut menerjuni beberapa pertempuran bersama Nabi SAW. Dalam Fathul Makkah, ketika Nabi SAW akan memasuki Ka'bah, dia membawa Bilal di sisi kanan dan Usamah bin Zaid di sisi kiri beliau. Sungguh kehormatan besar yang diberikan Nabi SAW kepada keduanya, bukan Abu Bakar atau Umar, atau delapan sobat lainnya yang telah dia jamin masuk surga. Dua orang itu yaitu bekas budak yang secara umum, mungkin kedudukannya tampak rendah di masyarakat.

Nabi SAW pernah mengirimkan suatu pasukan di bawah kepemimpinan Usamah bin Zaid, pengalaman pertamanya memimpin suatu pasukan sesudah sebelumnya hanya sebagai prajurit biasa. Pasukannya ini memperoleh kemenangan gemilang, dan sebagai orang yang disayang, Nabi SAW eksklusif menyambutnya dan memintanya menceritakan pengalamannya. Mulailah Usamah menceritakan jalannya pertempuran. Tampak wajah Nabi SAW berseri sebab senangnya dengan apa yang dijalani "Kesayangan Rasulullah SAW, putra dari kesayangan Rasulullah SAW", begitu kebanyakan sobat menyebut Usamah bin Zaid ini.

Ketika Usamah menceritakan, bahwa seorang pemanggul panji musyrik yang perkasabanyak membunuh dan melukai tentara muslim sehingga pedangnya berlepotan darah dan daging para syahid masih menempel. Usamahpun mengejar dan memerangi eksklusif orang tersebut. Ia berhasil melumpuhkannya, tetapi ketika ia akan melaksanakan pukulan terakhir dengan tombaknya, orang tersebut mengucap "La ilaaha illallah". Usamah sempat bimbang, tetapi dipikirnya, itu hanya siasat untuk menyelamatkan diri saja, sebab itu ia terus menombaknya hingga tewas.

Tiba-tiba saja wajah Nabi SAW berubah merah padam tanda dia marah, dia berkata, "Celaka engkau wahai Usamah, begitukah tindakanmu terhadap orang yang mengucap 'La ilaaha illallah'??"

"Wahai Rasulullah," Kata Usamah mencoba menjelaskan dan membela diri, walau dengan ketakutan, "Dia menyampaikan kalimat itu hanya untuk menyelamatkan diri saja….!!"

"Begitu!!" Kata Nabi SAW, masih dengan nada tinggi, mengambarkan dia masih marah, "Mengapa tidak engkau belah dadanya dan engkau lihat apakah ia mengatakannya itu nrimo dari hatinya atau sebab akal-akalan semata??"

Memang, bukanlah hak dan kewajiban kita menilai apa yang ada di dalam hati seseorang, apa yang tampil dan terlihat itu saja yang menjadi ukuran kita dalam mengambil sikap. Itulah pelajaran berharga yang ingin disampaikan Nabi SAW pada perjaka kesayangan dia tersebut, sekaligus kepada kita semua.

Atas insiden tersebut, Nabi SAW menyatakan Usamah telah bersalah, tetapi tidak ditetapkan qishas (hukum bunuh, dipancung) atas dirinya, sebab "pembunuhan" yang dilakukannya tidak sengaja, hanya suatu kesalahan. Nabi SAW mengumpulkan harta benda untuk membayar diyat (seratus ekor unta) kepada keluarga pemanggul panji musyrik yang mengucap "La ilaaha illallaah" tersebut.

Usamah sendiri tak henti-hentinya bertobat dan meratapi "kelancangannya" tersebut, sehingga mengakibatkan Nabi SAW begitu murka kepadanya, walaupun kemudian dia mendoakan untuk menerima rahmat dan maghfirah Allah baginya. Tetapi setiap kali mengingat insiden tersebut, selalu saja ia menangis dan menyesal sambil berkata, "Amboi, andai saja ibuku tidak pernah melahirkan diriku…..!!"

Beberapa hari sebelum wafat, Nabi SAW menghimpun pasukan besar yang akan dikirim ke Syam, tepatnya di wilayah Palestina, pada kawasan berjulukan Abna. Latar belakang pengiriman pasukan ini yaitu terbunuhnya Farwah bin Amr al Judzami, bekas komandan pasukan Arab yang berpihak Romawi, yang juga gubernur Ma'an sebab keputusannya memeluk Islam. Ia disalib dan dipenggal kepalanya oleh penguasa Romawi di Palestina.

Pasukan besar tersebut terdiri dari pejuang-pejuang senior dari kaum Muhajirin dan Anshar ini, termasuk Umar bin Khaththab dan para Ahlul Badr lainnya. Nabi SAW memutuskan pimpinan pasukan diserahkan kepada Usamah bin Zaid. Keputusan dia ini ternyata mengakibatkan perbincangan dan kritikan dari beberapa orang sahabat. Yang paling keras komentarnya yaitu Ayyasy bin Abi Rabiah, ia berkata, "Anak kecil itu menjadi komandan dan amir dari kaum muhajirin awal??"

Saat itu Nabi SAW telah sakit cukup parah dan dia tidak mengetahui secara eksklusif perbincangan pro-kontra yang terjadi dan berkembang di masyarakat Madinah. Ketika Umar mengabarkan hal tersebut, dia bangun dan mengikat kepala dia dengan sorban untuk mengurangi rasa sakit. Sambil menggunakan selimut, dia naik ke atas mimbar di mana orang-orang sedang berkumpul. Setelah memuji Allah, dia bersabda, "Telah kudengar sebagian dari kalian mengecam kepemimpinan Usamah. Demi Allah, bila kalian mengecamdirinya, berarti kalian mengecam bapaknya. Demi Allah, sungguh ia (Zaid bin Haritsah) layak sebagai pemimpin, dan sepeninggal bapaknya, putranya sangat layak sebagai pemimpin. Dan sungguh, Zaid yaitu orang yang sangat saya kasihi, demikian juga Usamah. Keduanya layak untuk menerima semua kebajikan, sebab itu, berwasiatlah kalian dalam kebajikankarena ia yaitu sebaik-baiknya orang di tengah kalian…!!"

Peristiwa tersebut terjadi pada hari sabtu tanggal 10 Rabi'ul Awal. Setelah khutbah dia itu, para sahabatyang ikut dalam pasukan tersebut berpamitan kepada Nabi SAW, termasuk Umar bin Khaththab. Hari Ahadnya, Usamah menemui Nabi SAW, keadaan sakit dia makin parah dan sempat pingsan. Setelah siuman, Usamah membungkuk dan mencium dia sambil matanya berkaca-kaca. Tetapi Nabi SAW hanya mengangkat tangannya, seolah-olah berdoa, kemudian dia mengusapkannya ke wajah Usamah. Usamah menangkap instruksi tersebut sebagai doa restu untuk keberangkatannya, ia pun berangkat menuju kawasan pasukan berkumpul di Jurf, sebuah kawasan tidak jauh di luar Madinah, sekitar tiga mil.

Senin pagi tanggal 12 Rabi'ul Awwal tahun 11 hijriah, seharusnya ia memberangkatkan pasukannya ke Palestina, tetapi Usamah merasa tidak damai dengan kondisi Nabi SAW yang ditinggalkannya kemarin. Karena itu ia kembali ke rumah Nabi SAW, dan setibanya disana, dia tampak sehat, Usamah-pun gembira. Beliau sekali lagi mendoakan Usamah, kemudian bersabda, "Berangkatlah engkau dengan berkat dari Allah…!!"

Usamah kembali ke pasukannya di Jurf, ia segera mempersiapkan diri untuk segera berangkat. Tetapi belum sempat bergerak, tiba utusan dari ibunya, Ummu Aiman, yang memberi kabar bahwa Nabi SAW telah wafat. Usamah memerintahkan pasukan untuk kembali ke Madinah. Buraidah bin Hushaib, sobat yang diperintahkan Nabi SAW membawa dan menyerahkan panji ke rumah Usamah, membawanya kembali dan menancapkannya di sebelah rumah beliau.

Setelah wafatnya Nabi SAW dan Abu Bakar terpilih jadi khalifah, wacana pasukan yang dipimpin Usamah kembali mengemuka. Sebagian sobat yang dipimpin Umar bin Khaththab beropini bahwa pengiriman pasukan tersebut harus dibatalkan, sebab aneka macam kabilah yang murtad dan bersiap menyusun kekuatan kembali untuk lepas dari pemerintahan Islam di Madinah. Mereka ini khawatir bila kabilah-kabilah tersebut menyerang Madinah. Usamah sendiri berada dalam kelompok ini, sebab pendapat tersebut yang paling masuk akal. Tetapi bukan Ash-Shiddiq namanya kalau Abu Bakar hanya menuruti pendapat yang hanya berdasar kecerdikan semata, sebab itu ia berkeras mengirim pasukan tersebut sesuai perintah Nabi SAW.

Setelah gagal mensugesti Khalifah gres untuk membatalkan keberangkatan pasukan ke Palestina, muncullah wacana kedua, yakni penggantian pimpinan pasukan sebab Usamah hanya seorang perjaka 20 tahunan. Di antara personal pasukan tersebut terdapat sahabat-sahabat utama yang ikut terjun dalam pertempuran bersama Nabi SAW di dalam perang Badar, Uhud dan peperangan lainnya yang cukup populer kepahlawanannya, contohnya saja Sa'd bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Jarrah, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, dan lain-lainnya termasuk Umar sendiri, mereka itu yang lebih pantas menjadi komandan. Sekali lagi, tokoh pengusul ini yaitu Umar bin Khaththab, dan kali ini reaksi Abu Bakar cukup keras, "Celaka engkau wahai Ibnu Khaththab!! Pantaskah saya memecat seseorang sebagai komandan pasukan (yakni Usamah bin Zaid), padahal Rasulullah SAW sendiri yang telah mengangkatnya??"

Dengan reaksi yang begitu keras dan tegas ini, para sobat tidak ada lagi yang berani mengemukakan pendapat. Abu Bakar yang biasanya mereka kenal lemah lembut dan mudah menangis, tiba-tiba menjadi begitu keras dan tegas. Tetapi perilaku ibarat itulah yang memang diharapkan di ketika kondisi kaum muslimin sedang labil sebab wafatnya Rasulullah SAW.

Abu Bakar berkata, "Berangkatkanlah pasukan Usamah, sebetulnya saya tidak perduli bila binatang-binanang buas akan menerkam dan mencabik-cabikku di Madinah sebab berangkatnya pasukan tersebut. Sesungguhnya telah turun wahyu kepada Nabi SAW, 'Berangkatkan pasukan Usamah!!', dan saya tidak akan mengubah keputusan beliau. Hanya sajaaku meminta kepada Usamah semoga mengijinkan Umar tinggal di Madinah sebab saya memerlukan buah pikirannya untuk membantuku di sini. Tetapi bila Usamah tidak mengijinkan saya tidak akan memaksanya lagi…..!!"

Tentu saja dengan bahagia hati Usamah ‘mengijinkan’, atau lebih tepatnya memenuhi undangan Abu Bakar tersebut semoga Umar tetap tinggal di Madinah.

Pasukan Usamah kembali bergerak ke arah Jurf, kawasan dimana Nabi SAW telah memutuskan untuk berkumpul. Abu Bakar mengiring keberangkatan pasukan dengan berjalan kaki dan menuntun tunggangan Usamah, sedang tunggangan Abu Bakar dituntun oleh Abdurrahman bin Auf. Abu Bakar juga sempat berkata, "Siapapun mereka yang pernah ditunjuk Rasulullah untuk berangkat bersama Usamah, janganlah hingga tertinggal. Demi Allah, tidaklah didatangkan kepadaku orang yang tertinggal tersebut, kecuali saya akan memerintahkan dirinya menyusul Usamah dengan berjalan kaki…..!!!!"

Usamah merasa tidak yummy dengan Abu Bakar yang berjalan kaki, apalagi menuntun tunggangannya layaknya seorang budak atau penunjuk jalan saja. Ia berkata, "Wahai khalifah Rasulullah, naikilah tungganganmu, atau saya akan turun saja berjalan kaki bersamamu…!!"

"Jangan…!!" Kata Abu Bakar, "Tetaplah engkau di tungganganmu, saya ingin kakiku berdebu di jalan Allah, sebab berdasarkan Nabi SAW, untuk setiap langkah di jalan Allah itu akan dituliskan tujuhratus kebaikan, dinaikkan tujuhratus derajad, dan akan dihapuskan tujuhratus kesalahan…"

Usamah membawa pasukannya menyusuri kabilah demi kabilah, baik yang tetap memeluk Islam, atau yang ragu-ragu dan berkemas-kemas untuk murtad. Rombongan besar pasukan Usamah ini ternyata memunculkan kecerdikan tersendiri pada mereka sehingga mereka berteguh memeluk Islam. Sebelumnya mereka mengira dengan wafatnya Nabi SAW, Madinah akan menjadi lemah dan tak bisa lagi memerangi musuh-musuhnya. Tetapi melihat besarnya pasukan yang dikirim ke perbatasan Romawi di Abna, Palestina ini, mereka berfikir, pasukan yang mempertahankan Madinah tentunya akan lebih besar lagi. Apalagi, ternyata Abu Bakar juga mengirim beberapa pasukan dari personal yang tertinggal di Madinah untuk memerangi kabilah-kabilah yang murtad dan yang menolak membayar zakat.

Kedatangan pasukan Usamah ternyata mengejutkan pasukan Romawi di Palestina yang telah mengeksekusi Farwah bin Amr al Judzami. Mereka sama sekali tidak menyangka kedatangan pasukan sebesar itu sesudah wafatnya Nabi SAW. Mereka telah begitu mengenal bagaimana perilaku heroik dan semangat tempur pasukan muslim dan tidak mau beresiko menghadapi pasukan muslim pimpinan Usamah. Karena itu mereka menentukan melarikan diri dan meninggalkan barang ghanimah yang banyak bagi pasukan Usamah.

Kemenangan pasukan Usamah memperlihatkan derma psikologis yang positif terhadap kelangsungan Islam ketika Nabi SAW wafat. Mungkin dia telah mendapatkan instruksi bagaimana suasana masyarakat Islam ketika dia wafat, dan kekacauan yang akan terjadi. Karena itu, tampak sekali dia "memaksakan" untuk membentuk dan mengirim pasukan Usamah, walau ketika itu keadaan dia sakit parah. Dan terbukti kemudian nubuwah ini, bahwa perintah dia memperlihatkan manfaat besar bagi umat Islam di masa kritis pergantian pimpinan pemerintahan Islam ke khalifah Abu Bakar.

Karena pengalamannya menerima celaan Rasulullah SAW, Usamah jadi sangat berhati-hati dalam urusan jiwa manusia. Ketika terjadi pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, ia mengurung diri di rumahnya. Sebenarnya ia mengetahui kalau Ali dalam jalan kebenaran, tetapi ia menentukan untuk tidak berpihak kepada keduanya. Ia mengirim surat kepada Ali, yang ia ikut memba'iatnya sebagai khalifah, sebagai berikut, "Demi Allah wahai Amirul Mukminin, seandainya anda meminta saya untuk menemani anda memasuki sangkar harimau, saya niscaya akan melakukannya. Tetapi sekali-kali saya tidak akan menyentuh kulit seorang muslimdengan ujung pedang saya…."

Ketika beberapa sobat yang memihak Ali juga berusaha untuk mengubah pendiriannya, Usamah berkata tegas, "Saya tidak akan pernah memerangi orang-orang yang mengucapkan La ilaaha illallaah selama-lamanya…!!"

Salah satu dari mereka sempat mendebatnya, "Bukankah Allah telah berfirman : Dan perangilah mereka hingga tidak ada lagi fitnah, dan agama seluruhnya yaitu milik Allah…!!"

Usamah-pun menjawab, "Ayat itu ditujukan untuk memerangi orang-orang musyrik, dan kita telah memerangi mereka hingga fitnah telah lenyap dan agama seluruhnya menjadi milik Allah…!!"

Bagaimana tidak, dalam suatu pertempuran melawan kaum musyrik, dimana berlaku aturan "membunuh atau dibunuh (kill or to be kill)", ia telah dicela dengan keras oleh Rasulullah SAW sebab membunuh seorang kafir yang membaca "La ilaaha illallaah", yang berdasarkan pemahaman (ijtihad)-nya hanyalah untuk menyelamatkan diri saja. Sangat mungkin terjadi si kafir itu akan balik membunuhnya bila ia melepaskannya ketika itu, apalagi pedangnya-pun masih terhunus. Tetapi itupun bukan alasan yang bisa diterima Rasullullah SAW. Bagaimana lagi ia akan mempertanggung-jawabkan kepada Nabi SAW bila ia membunuh seseorang yang jelas-jelas beriman kepada Allah dan Rasul-Nya? Jelas-jelas orang yang beragama Islam dan menjalankan shalat ibarat dirinya dan kaum muslimin lainnya?

Seorang sobat lainnya memang pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, atas suatu insiden dalam pertempuran, yang lebih kurang sama dengan insiden Usamah tersebut. Nabi SAW bersabda, "Kalau itu terjadi, si kafir akan akan memperoleh jawaban ibarat keadaan engkau sebelum membunuhnya,dan engkau akan memperoleh jawaban ibarat keadaan si kafir sebelum ia terbunuh…..!!"

Maksudnya, orang kafir tersebut, yang membaca ‘Laa ilaaha illallaah’ ketika akan terbunuh akan memperoleh pahala syahid, sedang sang sobat yang membunuh bisa jatuh dalam kemusyrikan dan kekafiran, kalau ia tidak bertaubat.

Usamah terus menyendiri di tengah pergolakan kaum muslimin, dan ia tidak mau terlibat dengan kontradiksi mereka. Saat itu terdapat dua kutub kekuatan Islam, Muawiyah yang menjabat sebagai khalifah berkedudukan di Syam, sedang kelompok oposisi, yang merasa keturunan Ali bin Abi Thalib lebih berhak atas jabatan khalifah bermarkas di Kufah, Irak, tetapi tanpa pimpinan (atau khalifah) yang jelas. Di ketika itulah, di Tahun 54 hijriah Usamah bin Zaid meninggal dunia.
Komentar

Tampilkan

Terkini