Politik Penjajah: Pecah Belah

Ridhmedia
15/09/19, 20:47 WIB

[]  KPK gonjang ganjing atas dua hal yaitu revisi undang undang KPK dan hasilpemilihan Pimpinan KPK. Dua hal ini melibatkan "rekayasa" baik kepentingan Pemerintah maupun dewan perwakilan rakyat RI yang "kejar setoran" di simpulan masa jabatan. KPK diobrak abrik biar posisinya melemah. Lembaga yang "ditakuti" ini mesti dikendalikan dan dikuasai. Demikian rujukan administrasi penjajahan.

Pemerintah merasa perlu pengamanan selama lima tahun ke depan. KPK dikala ini sanggup dianggap mengganggu perjalanan pemerintahan yang bersiap menyambut periode investasi atau hutang luar negeri. Era memeras rakyat dengan pajak dan kenaikan kenaikan harga dan  tarif. Melonggarkan hukum ialah keniscayaan. dewan perwakilan rakyat RI menciptakan landasan pengamanan untuk pemerintah ataupun dirinya di periode "cawe cawe" tersebut. Trilyunan dana mesti "diolah" lebih leluasa tanpa gangguan berarti KPK.

Kekisruhan KPK merupakan bab dari delegitimasi. Produk dari intervensi dan proteksi. Dengan dua kekuatan berpadu dewan perwakilan rakyat dan Pemerintah maka jadwal gampang dijalankan. Hancurkan dulu KPK, bangkit dengan fondasi gres yang berubah warna dan model. KPK akan berkualifikasi "banci" yang sanggup ber elgebete dengan pelaku korupsi. Semua pejabat sanggup disandera oleh Presiden dengan senjata KPK.

Menjadi pertanyaan serius perihal dugaan model administrasi konflik. Kasus kerusuhan bawaslu, kerusuhan Papua, dan sekarang kerusuhan KPK. Sangat berbahaya jikalau disain menyerupai ini dijalankan di negara yang katanya bermoral Pancasila. Manajemen konflik biasanya dilakukan oleh imperialis, kaum penjajah. Kita ialah negara merdeka yang semestinya mengedepankan watak dan moral politik yang maju dan modern bukan politik primitif imperialisme.

Revisi UU No 30 tahun 2002 mengarah pada KPK yang terkendali dan masuk ke ruang Presiden sebagai "penentu". Sedangkan terpilihnya ketua KPK dari unsur polisi menunjukkan suksesnya visi Kapolri Tito soal "democratic policing". Polisi penentu arah demokrasi. Atau demokrasi yang "dipimpin" polisi. Konsep yang sangat berbahaya bagi bangsa ke depan. Di medsos bunyi banyabicara muncul banyak instansi dipimpin Polisi Republik Indonesia apakah BIN, BNPT, Pindad, Ditjen Imigrasi, Bulog, Kemen PAN-RB, BNN, dan sekarang KPK. NKRI dipelesetkan menjadi Negara Kepolisian Republik Indonesia.

Sebaiknya perlu penilaian dan dibangun konsensus nasional gres untuk arah demokratisasi ke depan. Dengan visi yang tak terperinci pada Pemerintahan sekarang maka segala jadwal akan menjadi acak acakan. Kasus gonjang ganjing KPK dikala ini ialah sampel dari ketidakterarahan tersebut. KPK diambang kehancuran. Indonesia akan mundur jauh ke belakang. Hopeless.

Bandung, 15 September 2019

Penulis: M. Rizal Fadhillah
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+