[] Pengesahan terhadap revisi UU KPK menyita perhatian publik hari ini. Respon yang bermacam-macam membelah masyarakat. Hal tersebut mengalotkan dilema pemberantasan korupsi.
Sebenarnya, tidak adanya konsistensi menjadi benang kusut pemberantasan korupsi. Hanya pada awal reformasi yaitu tahun 1998 tindakan pemberantasan korupsi menjadi info bersama. Korupsi menjadi virus yang merong-rong negara dan dikembangbiakkan oleh penguasa (Soeharto).
Oleh sebabnya, pemberantasan korupsi menjadi visi pemersatu dalam menumbangkan orde baru. Kemudian tindakan pemberantasan korupsi diintegrasikan dengan pembangunan demokrasi yang terkonsolidasi.
Namun, sudah 20 tahun reformasi, pemberantasan korupsi menyerupai mendorong kendaraan beroda empat kempes. Pemberantasan korupsi letoi dan melempem dalam aktualisasinya. Walaupun spirit demokrasi yang membuka kebebasan, transparansi, kesetaraan hak dan susukan untuk mengontrol kekuasaan tidak bisa merampungkan dilema korupsi. Malahan koruptornya dari segelinter elite dan keluarga menjadi lebih merata. Koruptornya meluas dari pemerintah sentra hingga pemerintah tempat (desa).
Penyebabnya adalah kehilangan konsistensi pada prinsip pemberantasan korupsi. Lembaga dan pilar demokrasi tidak menjadi saluran untuk memberantas kasus korupsi. Malahan forum legislatif berbalik menjadi lumbung koruptor.
Reformasi sistem pemerintahan, melalui penguatan sistem presidensil tidak menguraikan sedikitpun dilema korupsi. Padahal sistem tersebut membentuk saluran utama untuk merampungkan dilema korupsi. Hambatannya adalah dilema orientasi yang hanya untuk menjaga stabilitas kekuasaan.
Orientasi politik tersebut menyumbat pemberantasan korupsi. Termasuk dilema di KPK sendiri yang sudah dibuat selama 17 tahun tidak mempunyai imbas siginifikan. Padahal KPK ditugasi secara khusus untuk memberantas semua kasus korupsi di tengah arus antipati pada kepolisian dan kejaksaan.
Pemberantasan banyak sekali kasus besar yang merugikan negara hingga hari ini belum bisa ditunaikan dan dituntaskan. Berbagai kasus seperti, Kasus Korupsi Soeharto yang diduga merugikan negara sebanyak Rp.490 triliun, Kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 3,7 triliun, Kasus Hambalang sebanyak Rp 706 miliar, dan Kasus E-KTP yang mencapai Rp 2,3 triliun hanya akan tinggal sejarah.
Artinya kesenjangan antara pemberantasan korupsi dengan tindakan dibatasi oleh prinsip politik di negara. Secara politik, negara tidak mempunyai itikat baik untuk merampungkan dilema korupsi. Malahan pemberantasan korupsi membelot untuk menguatkan dan mempertahankan elite yang kekuasaan.
Poin revisi UU KPK wacana penutupan kasus korupsi ketika sudah dalam penyelidikan selama lebih dari 2 tahun memperlihatkan indentitas negara tersebut. Jadinya konsistensi negara untuk memberantas korupsi tidak ada. Walaupun tidak kita pungkiri ada perbaikan dalam revisi UU KPK wacana adanya prinsip HAM.
Akan tetapi dalam revisi dan tindakan pemberantasan kasus korupsi yang sudah dan akan terungkap oleh KPK dinilai sangat politis. Dan cenderung KPK dijadikan palu untuk memukul, membunuh, dan mengancam lawan politik. Corak tindakan pemberantasan korupsi tersebut berbentuk dalam revisi UU KPK dikala ini.
Revisi bisa jadi menjadi episode kemenangan koruptor dalam pemberantasan korupsi. Karena ada tindakan koalisi di bawah kegiatan revisi UU tersebut.
Namun lantaran saluran utama dalam pemberantasan korupsi di tangan presiden. Maka Pak Jokowi akan menjadi rujukan moral dalam pemberantasan korupsi kedepan. Dan memang presiden lah yang menjadi ujung tombak dalam sejarah pemberantasan korupsi kita. Jika presiden konsisten dalam memberantas korupsi, maka lenyaplah koruptornya di negeri ini.
Penulis: Zainul Abidin Sukrin