Silakan Jadi Koruptor!! Asal Jangan Radikal!

Ridhmedia
16/09/19, 12:50 WIB

SILAKAN JADI KORUPTOR!!
ASAL JANGAN RADIKAL!

Oleh: Hersubeno Arief

Di bawah rezim pemerintahan Jokowi, sepertinya ada semacam aturan. Setidaknya paham dan janji baru: SILAKAN JADI KORUPTOR!! YANG PENTING TIDAK RADIKAL!

Menjadi koruptor di negeri ini jauh lebih terhormat, dari pelaku kriminal. Apalagi mereka yang terkena stigma radikal.

Masih sanggup ketawa-ketiwi di depan sorotan kamera televisi. Masih sanggup jalan-jalan, keluar forum pemasyarakatan (LP). Seribu dalih, sanggup dipakai sebagai alasan.

Di dalam LP juga masih tetap sanggup menikmati kemudahan premium. Semakin besar nilai korupsinya. Semakin besar harta kekayaan ditumpuk. Semakin glamor kemudahan yang sanggup dinikmati.

Jangan terlalu khawatir jika divonis berat oleh hakim. Dijamin masa tahanan tidak akan selama itu. Masih ada remisi. Dalam setahun sanggup diterima beberapa kali.

Remisi HUT Kemerdekaan. Remisi hari besar keagamaan, dan remisi tambahan. Alasannya sanggup dicari-cari.

Setelah menjalani setengah masa tahanan, sanggup menjalani proses asimilasi. Itu artinya sama dengan bebas. Setidaknya di siang hari. Dan sehabis menjalani dua pertiga masa tahanan, sanggup mendapat bebas bersyarat.

Kaprikornus jangan takut, apalagi aib untuk menjadi koruptor!

Setelah bebas, masih sanggup menikmati harta hasil korupsi bersama anak cucu. Tujuh turunan. Menjalani masa renta dengan senang dan foya-foya.

Kalau rajin menyumbang dan beramal, dijamin akan dihormati oleh masyarakat. Mereka tak peduli harta itu berasal dari mana. Bagaimana cara mendapatkannya. Yang penting pemurah, dermawan.

Khusus untuk ketika ini, hingga tiga bulan ke depan —kalau Presiden Jokowi tidak segera mengaktifkan kembali pimpinan KPK, atau menunjuk Plt—para koruptor bebas merdeka!

KPK sedang mati suri. Lumpuh. Pimpinan KPK sedang kosong alasannya ialah mengembalikan mandat. Para karyawannya mogok kerja.

Beda halnya dengan jika terkena stigma radikal. Habis sudah. Selesai. Anda GAME OVER!

Sebagaimana pernah dilansir oleh kantor info Reuters Juni lalu. Seorang pejabat yang erat dengan lingkar kekuasaan membocorkan. Pemerintah sedang menggodok aturan untuk menyingkirkan “garis keras” dan “radikal” dari pemerintahan dan BUMN.

Ada 10 departemen dan BUMN besar yang menjadi sasaran pembersihan. Bila sudah telanjur menjadi ASN atau karyawan BUMN, dipastikan karir mereka akan mentok. Tak akan sanggup promosi ke eselon II. Konon pula eselon I.

Siapa saja yang masuk dalam kelompok garis keras dan radikal ini? Menkeu Sri Mulyani sudah memberi semacam petunjuk. Mereka yang punya paham keagamaan eksklusif. Yang dimaksud niscaya tidak jauh-jauh, umat Islam!

Ketika melantik sejumlah pejabat eselon II dan III pada pertengahan Juni lalu, Sri dengan keras menyatakan, sikap semacam itu “tidak dimaafkan!”

“Kalau di institusi ini ada pimpinan di di level mana pun, atau bahkan bukan pimpinan, tapi staf jajaran yang merasa atau mempunyai kepercayaan bahwa Anda ingin menjadi eksklusif, maka Anda salah tempat, alasannya ialah Anda tidak hanya menjadi benalu, tetapi racun bagi institusi dan bagi negara," kata Sri.

Ngeriiiii beneeeerrr!

Jauh sebelum itu, sejumlah masjid di kantor pemerintahan dan BUMN sudah mulai menyingkirkan, mem-black list para Ustadz yang dicap garis keras dan radikal. Mereka dihentikan lagi memberikan khotbah, ceramah, halaqoh, maupun kajian-kajian. Padahal selama ini aman-aman saja.

Alat gebuk gres sehabis khilafah

Ya benar. Stigma radikal sekarang menjadi alat gebuk gres bagi pemerintah dan para pendukungnya. Sebelumnya yang dipakai isu khilafah, menyusul penetapan HTI sebagai organisasi terlarang.

Khilafah dan radikal ialah satu paket. Siapapun yang dianggap kritis, apalagi menentang kebijakan pemerintah, akan dicap sebagai pendukung khilafah dan radikal.

Targetnya menyingkirkan umat Islam dari kancah politik, sekaligus menyingkirkan lawan-lawan politik pemerintah. Entah ia Islam, abangan, maupun non Islam.

Masih ingat bagaimana isu radikal dan khilafah dipakai untuk menghancurkan Prabowo pada Pilpres 2019.

Prabowo kok radikal? Pendukung khilafah?

“Entuk pirang perkoro?,” kata orang Yogya.

Tapi para pendukung Jokowi percaya itu. Tutup mata dan meyakini. Pejabat pemerintah, tokoh dan media pendukung Jokowi terus memproduksi , memakai isu itu.

Proses labeling dan stigma itu sekarang kembali terulang. Namun kelihatannya bakal salah sasaran. Bisa menjadi senjata makan tuan.

Coba perhatikan dalam kontroversi revisi RUU dan pemilihan pimpinan KPK. Isu radikal dipakai untuk memberi stigma kepada mereka yang menentang.

Cap radikal juga dijadikan semacam legitimasi biar publik mendukung hasil pemilihan pimpinan KPK yang baru.

Substansi utama bahwa seorang pimpinan KPK ialah pribadi berintegritas tinggi, higienis korupsi, justru tidak penting.

Seperti sebuah orchestra mereka menggiring isu ini. Mulai dari isu adanya kelompok “Taliban” versus “polisi India” di KPK, dan kemudian soal radikal.

Parahnya operator yang mengendalikan isu ini diduga ngendon di istana. Mantan pimpinan KPK Busyro Muqoddas menduga isu Taliban dimainkan, dipolitisasi istana.

Hendardi salah satu anggota panitia seleksi ( pansel ) capim KPK memastikan, salah satu proses seleksi ialah menelusuri rekam jejak intoleransi dan radikalisme capim.

Ketua Umum GP Anshor Yaqut Cholil Quomas menilai komposisi pimpinan KPK ketika ini ideal. Bisa untuk pemberantasan korupsi sekaligus membersihkan kelompok radikal di KPK.

Mereka ini sangat peduli dengan isu radikalisme, namun abai dengan rekam jejak korupsi.

Irjen Pol Firli Bahuri yang terpilih menjadi Ketua KPK yang baru, banyak dipersoalkan publik. Saat menjadi Direktur Penindakan KPK ia terbukti melaksanakan pelanggaran berat secara etik.

Firli terbukti beberapa kali bertemu beberapa orang yang diduga melaksanakan tindak korupsi dan menjadi obyek penyelidikan dan penyidikan KPK.

Dia lolos dari hukuman, alasannya ialah keburu ditarik oleh Mabes Polri. Firli malah dipromosikan menjadi Kapolda Sumatera Selatan.

Labeling, stigma semacam itu kali ini dipastikan akan mentok. Selain memang tidak berdasar, juga salah sasaran. Maklumlah alasannya ialah terbiasa ngawur dan hantam kromo.

Rezim pemerintahan Jokowi justru akan menghadapi perlawanan perorangan, lembaga, media, dan jutaan orang yang dulu menjadi pendukungnya pada Pilpres 2019.

Bagaimana mungkin figur menyerupai Syafi’i Maarif, Sinta Nuriyah Wahid, ICW, Kompas, Tempo Group termasuk kelompok “radikal?”

Mereka ialah pendukung garis keras Jokowi. Kalau memakai terminologi lama, mereka ialah Cebong akut. Kok sanggup tiba-tiba menjadi Kampret Radikal?

Label radikal ini, jika terus dipakai untuk melawan kelompok kritis, dipastikan akan menjadi bumerang. Menyerang balik pemerintahan Jokowi.

Publik hasilnya sanggup menilai, memilih, dan memutuskan.

Bersama mereka yang mengklaim paling Pancasila, paling NKRI, bersamaan dengan itu melindungi para koruptor. Atau bersama kekuatan rakyat yang radikal dalam memberantas korupsi!?

Koruptor itu harus dieksekusi mati! Bukan harga mati! end.

Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+