(Presiden Morsi ketika melantik Jenderal Al-Sisi selaku Menhan)
Pada Juni 2012, Presiden Mohammad Morsi memasuki istana kepresidenan setelah memenangkan Pemilu, Morsi unggul hanya 1 juta suara di atas lawan politiknya, seorang mantan pejabat pada rezim Husni Mubarak. Secara politik, ini perlu ditafsirkan selaku pertanda Dr. Morsi perlu berhati-hati serta merangkul sebanyak boleh menjadi kelompok politik dalam membangun serta memperkuat pemerintahannya.
Sayangnya, yang dilakukan Dr. Morsi justru sebaliknya. Dengan naïf tapi penuh percaya diri, ia berjalan sendiri serta membuat kebijakan-kebijakan yang antagonistic terhadap kepentingan kekuatan-kekuatan politik lain di samping juga terhadap tentara.
Mesir ialah negara pluralistik. tidak hanya kelompok Islam yang terbagi dalam banyak partai, golongan Nasrani (Kristen Koptik) merupakan 10 persen dari penduduk Mesir. Penganut Koptik bersama kaum sekuler sudah lama takut pada kekuatan Islamis yang semakin mereka rasakan semakin tampil agresif. Mereka takut Dr. Morsi mengislamkan pemerintahan Mesir seperti yang dilakukan Imam Khomeini di Iran.
Masyarakat Mesir juga terdiri dari kelompok liberal, sekuler, sosialis bahkan komunis. Tokoh-tokoh populer seperti Mohamad Baradai, mantan Dirjen Tenaga Nuklir PBB, serta penerima Nobel perdamaian, serta Amr Musa, Mantan Menlu Mesir, juga mantan Sekjen Liga Arab, diketahui selaku tokoh-tokoh liberal serta sekuler Mesir yang bukan tanpa pengikut. Tapi Presiden Morsi kelihatannya mengabaikan semua kekuatan politik diluar IM.
Untuk membebaskan diri dari tokoh-tokoh militer yang menjabat posisi penting pada masa Mubarak, Dr. Morsi mengangkat Jenderal Abdel Fattah Al-Sisi –seorang perwira berlatar balik intelijen didikan AS- menggantikan Marsekal Mohammad Hussein Tantawi selaku Menteri Pertahanan yang menguasai militer. Para pengamat politik di Kairo menduga pengangkatan Al-Sisi banyak disebabkan oleh menonjolnya kesalehan sang Jenderal di mata Presiden Morsi.
Menarik buat diketahui, Al-Sisi ialah seorang Jenderal yang hafal al Quran, serta secara rutin berpuasa sunnah Senin serta Kamis. Selama masa kepresidenan Dr. Morsi, setiap Senin serta Kamis menjelang Magrib, Al-Sisi selalu datang ke Istana berbuka puasa bersama dengan sang Presiden. “Mereka masing-masing hanya berbuka dengan dua biji kurma”, begitu kata Prof. Salim Awwa, seorang ahli Hukum lulusan Inggris yang pernah menjadi penasehat Presiden Morsi. Prof. Awwa berkesimpulan, Presiden Morsi tidak mampu membedakan antara kesalehan pribadi sang Jenderal dengan “agama corporate” tentara.
Presiden Morsi tidak cukup canggih menilai Jenderal Al Sisi dalam kedudukannya selaku pemimpin tentara. Al Sisi bukan cuma seorang pribadi yang saleh, melainkan juga selaku Ketua “Partai Tentara” yang punya banyak kepentingan politik serta bisnis di Mesir. Ketika kebijakan Presiden Morsi mulai dinilai mengancam kepentingan bisnis militer -terutama dalam soal pengembangan Terusan Suez serta pembangunan industri di kawasan sekitarnya- para pimpinan tentara pun secara terselubung berperan mendukung golongan oposisi dalam usaha menjatuhkan Presiden Morsi. Bahkan secara diam-diam tentara ikut membiayai demo anti-Morsi.
Apa yang salah dengan Dr. Morsi? Apakah ia buta politik hingga menciptakan banyak musuh? Sejumlah orang menyebutnya bodoh, yang lain menyebut Morsi serta IM tidak sabar (Seperti sabar yang dimiliki oleh AKP Turki). Dr. Saaduddin Ibrahim, sosiolog serta Direktur Institut Ibn Chaldun di Cairo berpendapat lain, “Morsi tidak boleh menjadi bodoh, ia lulusan Amerika”.
Jadi, bagaimana menyatakan kebijakan Presiden Morsi yang fatal itu? “Anda perlu tahu, kekuasaan pada Ikhwanul Muslimin ada di tangan Dewan Pembimbing. Merekalah yang mengendalikan Morsi. Mereka itu pada umummnya medioker serta arogan. Jadi, Morsi hanya korban kebodohan Pembimbingnya,” lanjut Dr. Ibrahim.
Setelah demonstrasi besar menentang Presiden Mesir Mohamed Morsi, Menteri Pertahanan Jenderal Abdul Fatah al-Sisi pada 3 Juli 2013 mengumumkan pelengseran presiden, serta penangguhan konstitusi. Morsi ditahan serta para pimpinan Ikhwanul Muslimin ditangkap.
Pengalaman serta kegagalan ialah guru yang paling berharga.[]