Cerita Misteri: Liontin

Ridhmedia
19/10/19, 11:11 WIB

Ada dua alasan Lian memungut liontin itu dari tempat sampah. Pertama, isi tempat sampah sekadar kertas-kertas salah cetak, hingga bersih serta bebas bau. Mengambil benda dari situ enggak bakal mengotori tangannya. Kedua, liontin itu amat mirip hadiah dari mendiang Nenek.

Kantor cabang perusahaan asuransi ini Telah kosong. Jam menunjukkan pukul delapan malam, serta semua pegawai lain Telah pulang. Lian memandangi liontin yang dia yakini memang pemberian Nenek: berbentuk hati, berwarna ungu anggur, dengan ukiran nama Nenek di bagian belakang.

Namun, kali terakhir Lian melihat liontin dengan rantai perak tipis ini yakni tujuh tahun lalu. Saat itu dia serta keluarganya baru pindah ke Jakarta. Ketika mereka membongkar barang, liontin itu enggak ada. Barangkali tertinggal di rumah lama, kata Ibu. Dengan sedih, Lian terpaksa merelakan raibnya kenang-kenangan paling berharga dari Nenek.

Dan kini liontin itu ada dalam tempat sampah di ruangan kantornya.

Dengan hati-hati, Lian mencukil kait di pinggir liontin sampai terbuka. Apakah liontin ini enggak sengaja terbawa kapal laut atau pesawat? Menyeberangi lautan dari Sumatera ke Jawa, lalu menunggu di tempat sampah buat ditemukan Lian? Seraya menahan napas, dia membuka liontin, lalu mengernyit.

Liontin itu bukan berisi foto Nenek seperti yang dia ingat. Melainkan foto seorang pria sepantar Lian. Wajah pria itu cemberut, seolah dia enggak sudi dipotret. Sejenak Lian bingung, lalu tiba-tiba sadar: dia mengenal pria dalam foto ini.

Lima belas tahun lalu, pasti beginilah tampang Pak Mahesa, kepala kantor cabang serta atasan Lian. Bentuk wajah, mata, serta hidungnya sama, tapi bukti paling telak yakni cemberutnya. Pak Mahesa menganut mengerti bahwa, agar anak buah terpacu bekerja, mereka perlu sering-sering disodori muka masam. Rekan-rekan Lian menjulukinya Si Muka Cuka.

Tadinya, sebelum menemukan liontin, Lian lelah serta lapar. Namun, kini tenaga baru mengaliri sekujur tubuhnya. Keberadaan liontin pun bukan lagi misteri. Pasti benda ini milik Pak Mahesa, yang membuangnya sebab jengkel dengan wajah sendiri. Ukiran nama Nenek cuma kebetulan—mungkin namanya sama dengan nama kerabat Pak Mahesa.

Ujung jari Lian menyentil foto itu.

"Merengut melulu, Pak." Ia mencetus. Mulutnya membentuk seringai mencemooh. "Tahu rasa kalau nggak bisa senyum lagi. Susah keluar rumah. Dijauhi keluarga. Nggak bisa kerja."

Masih sambil menyeringai, Lian mencabut foto Pak Mahesa dari dalam liontin. Dalam perjalanan pulang, dia merobek foto serta melemparnya ke dalam selokan. Nah! Silakan Pak Mahesa mencemberuti air kotor di sana.

*

Pada pukul sepuluh pagi, Pak Mahesa belum juga tiba di kantor. Rekan-rekan Lian mulai berkasak-kusuk. Salah satunya, Anwar, berinisiatif mengecek akun social media milik Pak Mahesa. Hasilnya nihil—tak ada status sejak kemarin. Lian sendiri terus bekerja seolah enggak terjadi apa-apa.

"Ke mana, ya, si bos?" tanya Vita yang duduk di sebelah Lian. "Orang rajin begitu, tahu-tahu telat masuk kantor."

Berenang di comberan, mungkin, pikir Lian enggak acuh. Seperti fotonya yang kubuang ke selokan tadi malam. 

Anwar menelepon nomor ponsel Pak Mahesa. "Dijawab voice mail," lapornya pada rekan-rekan lain. "Apa dia sakit? Tapi kemarin segar bugar."

Satu jam kemudian, sebab belum juga ada kabar, Anwar memberanikan diri menelepon rumah Pak Mahesa. Rekan-rekannya menatap dengan penasaran ketika Anwar berbicara dengan sikap berubah-ubah: kaget, serius, lalu prihatin.

"Tadi itu si Mbak di rumah Pak Mahesa." Masih dengan air muka prihatin, Anwar meletakkan gagang telepon. "Pak Mahesa lagi diantar istrinya ke dokter. Ia sakit, um… aku juga bingung cara jelasinnya."

"Sakit kambuhan?" tanya Vita.

Anwar menggeleng. "Pagi-pagi Pak Mahesa bangun, mukanya menjadi aneh. Mulut melengkung ke bawah, bibir maju ke depan. Mungkin mirip cemberut dia ke kita. Bisa cuma otot keseleo, bisa juga gejala penyakit parah. Ia usahakan, sepulangnya dari dokter nanti mampir di kantor."

Jarum jam melewati angka dua belas. Sebuah pesan masuk ke ponsel Anwar: istri Pak Mahesa mengabarkan kondisi suaminya. Menurut diagnosis dokter, Pak Mahesa sehat serta otot wajahnya normal. Namun, ekspresi cemberut itu tetap melekat di wajahnya tanpa bisa diubah. Hari ini Pak Mahesa libur dulu, serta wajah serta lehernya dipijat oleh tukang urut.

Itulah akibat kebanyakan cemberut, cetus rekan-rekan Lian. Cemberut yang terlalu sering akhirnya tertanam ke dalam daging. Walaupun ucapan itu bernada menghakimi, mereka pun berharap Pak Mahesa lekas sembuh. Sementara itu, Lian enggak ikut berkomentar.

"Ih, sakit apaan, ya?" cerocos Vita. "Kalau gejala strok, kok, nggak kedeteksi sama dokter? Sepupu aku pernah, tuh, kayak gitu waktu SMA! Mulutnya tertarik ke kanan. Konon, dia sering mandi air dingin malam-malam, ototnya menjadi kaku. Beberapa hari dia perlu diam di rumah!"

"Vita," ujar Lian, "aku lagi sibuk…"

"Untung sepupuku sembuh! Tapi waktunya pas banget, sehari sebelum ujian nasional. Gawat, kan, kalau dia nggak lulus, cuma gara-gara lalai sewaktu mandi…"

Vita sialan! Segala hal sepele dia omongkan panjang lebar, menyangka orang pasti tertarik. Celaka betul Lian, terjebak duduk di samping orang bermulut bocor begitu.

Di kamar mandi, Lian melampiaskan kekesalan dengan memutar keran wastafel keras-keras. Guyuran air di tangannya lambat laun menyejukkan hati yang kesal. Ia mematikan keran, lalu pandangannya singgah di cermin serta berhenti di sana.

Cermin memantulkan wajah bulat telur serta rambut tebal. Lian akrab dengan wajah itu, tapi enggak dengan garis-garis di kedua sisi mulutnya. Garis-garis ini, yang belum ada tadi pagi, menambahkan kesan cemberut di wajahnya.

Cemberut seperti pada wajah Pak Mahesa.

Bukan apa-apa, pikir Lian. Hanya efek cahaya, bakal hilang sesudah dia beristirahat. Lian mengelus kedua garis itu, serta jarinya mendapati lekukan dalam di daging pipi. Setengah bergidik, dia bergegas kembali ke mejanya.

Vita tengah mengobrol dengan rekan lain. Lian membuka akun Facebook Vita, lalu memilih salah satu fotonya. Semua orang sibuk bekerja, menebak-nebak penyakit Pak Mahesa, atau keduanya. Tak ada yang memperhatikan ketika Lian mencetak foto Vita serta menyimpan kertas cetakannya di laci.

Sorenya, Anwar menerima pesan lanjutan dari istri Pak Mahesa. Pijatan tukang urut sama sekali enggak berpengaruh pada wajah Pak Mahesa, yang mulutnya justru kian melengkung. Besok Pak Mahesa bakal diperiksa oleh dokter lain.

"Sepupuku, yang aku ceritakan tadi, butuh banyak istirahat," kata Vita pada Lian selagi semua orang bersiap-siap pulang. "Si bos paling-paling juga sama."

Dia melanjutkan berkicau tentang kafe langganannya, mengajak Lian bersantai di sana. Sambil tersenyum, Lian menampik ajakan Vita. Begitu semua rekannya keluar dari kantor, Lian mengambil kertas cetakan foto Vita serta gunting dari laci. Beres menggunting foto hingga seukuran liontin, dia memasang guntingan foto di dalam liontin.

"Vita, rem kamu terlalu blong," ujar Lian. "Mulai besok, kurangi omonganmu. Sedikit saja, nggak usah banyak-banyak. Oke?"

*

Dua hari kemudian, Pak Mahesa masih belum masuk kerja. Hasil diagnosis dokter kedua sama dengan yang pertama: fisik normal, serta entah apa yang mengubah bentuk mulut. Rekan-rekan Lian sepakat buat membesuk atasan mereka. Lian mau tahu, adakah nanti yang berani menyuruh Pak Mahesa sering-sering tersenyum.

Jika pun ada, orang itu bukan Vita. Sejak kemarin dia nyaris enggak mengeluarkan suara. Bila ditanya, dia menyahut dengan singkat. Beberapa kali rekan-rekan sekantornya melirik Vita dengan penuh pengertian. Tampaknya mereka menduga, Vita tengah ditimpa masalah.

Tak ada yang curiga kalau suara Vita yang rendah itu bukan akibat tekanan batin. Bila dia melantangkan suara, atau bicara lebih dari lima kata berturut-turut, udara berhenti mengalir ke paru-parunya hingga dia enggak bisa bernapas. Terpaksa dia bicara pendek-pendek, serta akhirnya memilih diam.

Napas pendek itu sesuai dengan permintaan Lian pada liontin. Kini dia bekerja dengan nyaman, enggak terusik oleh celoteh Vita.

*

Kondisi Pak Mahesa enggak kunjung membaik. Konon, dia kini bahkan kesulitan membuka mulut. Kantor pusat pun mengirimkan kepala cabang pengganti. Orangnya energik, teliti, dan—yang paling disukai rekan-rekan Lian—murah senyum.

"Aku setuju dia kerja di sini terus," kata Anwar. Lalu dia tampak merasa bersalah, tapi enggak ada yang menuduh dia senang atas sakitnya Pak Mahesa. Semua rekan Lian berpikiran sama: mereka menyukai sang atasan baru serta mau masa jabatannya diperpanjang.

Sementara itu, garis-garis di sisi mulut Lian enggak menghilang. Ia menyayangkannya, meski enggak terlalu kaget. Begitu pula ketika napasnya terhenti bila dia bicara panjang-panjang, seperti yang dirasakan Vita.

Segala sesuatu ada imbalannya. Lian cuma tinggal menanggung imbalan itu. Lagi pula, dia atau pun orang lain enggak bakal mati cuma gara-gara cemberut permanen serta jarang bicara.

Sebulan kemudian, kantor Lian heboh: si kepala cabang yang baru kabur dengan membawa uang perusahaan. Istri serta anaknya turut raib tanpa jejak. Atas permintaan perusahaan, polisi memburu orang yang kini berstatus mantan kepala cabang itu. Selagi rekan-rekannya sibuk membahas kasus ini, Lian membuka akun social media milik mantan kepala cabang.

Akun itu belum digembok. Foto-fotonya pun banyak yang baru. Lian mencetak salah satu foto serta menyimpan kertas cetakannya di laci. Setelah rekan-rekannya pulang, dia menggunting foto mantan kepala cabang serta memasukkannya ke dalam liontin.

Perampok. Bedebah. Mencuri uang lalu kabur. Gue rasa, saat ini dia berfoya-foya di persembunyian, merasa aman dari kejaran polisi. Ia enggak tahu, ada liontin ini…

Ujung jari Lian mengelus sisi liontin. Napasnya kian pendek, serta garis di sisi mulutnya kian hari kian memanjang. Namun, dia enggak peduli. Senyumnya mengembang selagi dia larut oleh kegembiraan bakal menghukum seorang penjahat.

Akan kutahan dia supaya terpaksa diam di tempat serta gampang ditangkap polisi! Kira-kira, apa yang bisa dibuat lumpuh tanpa menyebabkan dia—dan aku—mati? Kaki? Tangan? Atau… kehilangan satu bola mata? 

Tentang Penulis:

Eve Shi senang menulis sejak kecil. Ia telah menerbitkan delapan novel cetak serta tengah merambah online fiction. Anda bisa mengontak Eve melalui email di stormofblossomsgmail.com atau melalui Twitter di @Eve_Shi serta Instagram @eveshi6
Komentar

Tampilkan

Terkini