Presiden serta Wakil Presiden terpilih 2019, Joko Widodo-Maruf Amin resmi dilantik pada 20 Oktober 2019. Yang paling menarik dari pelantikan tersebut yaitu soal siapa saja menteri yang bakal masuk dalam Kabinet Kerja Jilid II. Sebab, tersiar berita kalau kubu oposisi juga bakal merapat. Jika ini terealisasi, maka koalisi kabinet Jokowi bakal kian gemuk. Seperti dikenal kalau ketika ini kabinet Jokowi sudah mencapai 60 persen.
Terlepas dari mermacam manuver partai politik, pelantikan pada Minggu kemarin mengindikasikan kalau Jokowi tak hanya dilantik selaku Presiden periode kedua, namun juga pelantikan atas janji-janji politiknya semasa kampanye.
Setumpuk persoalan bangsa yang ada ketika ini, serta dikemas dalam janji-janji kampanye sebelum pemilihan, perlu benar-benar direalisasikan. Periode kedua bukan lagi periode adaptasi. Jokowi perlu berlari cepat merealisasikan segudang janji kampanyenya.
Terpilihnya kembali Jokowi selaku presiden didampingi oleh Maruf Amin memberikan optimisme sekaligus kekhawatiran tersendiri bagi kita semua. Di satu sisi, kita perlu optimis karna kerja-kerja seperti pembangunan infrastruktur diprediksi bakal berjalan sukses. Namun di sisi lagi, terpilihnya Jokowi memberi kekhawatiran atas rapuhnya perekonomian Indonesia.
Kita patut menggarisbawahi kalau tim ekonomi Jokowi di periode awal sangat lemah. Hal ini dapat diamati bagaimana tren impor masih mendominasi. Bahkan, kebutuhan mendasar publik seperti beras, gula, kedelai, serta bahkan garam masih bergantung dengan impor. Karenanya, menjadi sangat penting bagi Jokowi-Maruf Amin buat menengok kembali situasi perekonomian kita di periode pertama.
Postur Kabinet
Diakui atau tidak, tentu Jokowi sudah mempunyai main map yang siap buat dilaksanakan, baik oleh Presiden maupun para pembantunya. Tantangan yang ada ketika ini jauh lebih kompleks, mulai dari isu kemiskinan, pendidikan, radikalisme, kemiskinan, serta lain sejenisnya.
Ekspektasi publik terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi di periode kedua sangat tinggi. Karenanya, menjadi hal yang wajar setelah dilantik, Presiden Jokowi tancap gas serta benar-benar memenuhi janji kampanyenya, mulai dari kabinet yang meritokratis serta profesional.
Namun sebelum itu, yang paling menarik perhatian tentu saja postur kabinet yang bakal diumumkan oleh Presiden Jokowi. Seperti diketahui, koalisi yang dibangun Jokowi hingga ketika ini mencapai 60 persen. Jika mengamati perkembangan politik terkini, bukan tak barangkali koalisi Jokowi bakal bertambah.
Apalagi, elite politik seperti Prabowo Subianto, Zulkifli Hasan, serta Susilo bambang Yudhoyono intens melaksanakan komunikasi serta pertemuan politik di Istana. Bisa saja salah satu partai bakal bergabung dengan gerbong koalisi.
Pertemuan tokoh politik tentu saja menguntungkan bagi Jokowi. Terlebih lagi bergabung dalam kabinet kerja. Secara politik, Jokowi bakal disokong oleh kekuatan di parlemen. tidak hanya itu, koalisi Jokowi juga bakal diisi oleh tokoh politik yang berpengaruh.
Saat ini, tokoh politik yang berpengaruh dalam koalisi diasosiasikan dengan Megawati Soekarnoputri serta Surya Paloh. Jika Gerindra serta Demokrat bergabung, bisa dipastikan koalisi Jokowi bakal diisi oleh empat tokoh politik yang berpengaruh. Itu artinya, dua tokoh yang dianggapnya sangat berpengaruh bakal kian cair.
Hanya saja, bergabungnya banyak partai ke koalisi pemerintahan bakal mengurangi gereget oposisi. Bagaimana pun, pemerintahan perlu diawasi serta dikontrol dengan baik. Di sinilah tugas oposisi dibutuhkan. Ketika oposisi sangat pincang, bisa dipastikan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan bakal kian susah. Pemerintah bakal sewenang-wenang tanpa ada proses kontrol serta kritik dari oposisi. Inilah yang membuat kerugian dalam proses demokrasi.
Saat ini, pengumuman kabinet menjadi term yang paling seksi buat didiskusikan. Terlebih lagi, presiden Jokowi acap kali mengumbar janji kalau 55 persen kabinet profesional serta sisanya dari kalangan politik. Namun, kalangan profesional masih menjadi perdebatan sengit. Mengingat parpol juga mengklaim kalau kader-kadernya juga bisa dikategorikan profesional. Artinya, kader parpol juga mengklaim kalau kader parpol mempunyai profesionalisme yang tinggi jika ditunjuk menjadi menteri.
Hanya saja, dalam konteks loyalitas, kalangan profesional non parpol hanya satu, yakni terhadap Presiden. Sedangkan dari parpol mempunyai loyalitas ganda, yakni ke Presiden serta ke partai politik. Hal inilah yang membuat kalangan profesional seyogianya diprioritaskan bagi Presiden Jokowi.
tidak hanya itu, Jokowi juga menyampaikan kalau kabinet yang dibentuk bakal diwakili oleh kalangan milenial. Secara harfiah, milenial berarti anak muda yang melek digital serta berusia diantara 30-35 tahun. Lalu, apakah kabinet Jokowi benar-benar diisi oleh anak muda?
Presiden Jokowi memang sangat membutuhkan kabinet berkarakter milenial. Sebab, era 4.0 membutuhkan kabinet yang cerdas serta melek digital. Kerja-kerja politik perlu berkesinambungan dengan kebutuhan global. Oleh sebab itu, kabinet milenial menjadi keniscayaan. Tetapi, kabinet milenial tak perlu diasosiasikan dengan kalangan muda. Sebab yang dibutuhkan yaitu kerja-kerja pemerintah berpihak kepada generasi milenial.
Akhirnya, pelantikan Presiden serta Wakil Presiden terpilih, Jokowi-Maruf Amin bakal menjadi pintu masuk dalam merealisasikan seluruh janji pada masa kampanye.
Kebijakan prioritas perlu selekasnya dieksekusi dengan baik. Pemilihan pembantu presiden juga perlu meritokratis serta sesuai kebutuhan publik. Jika tidak, maka hanya bakal menjadi beban bagi Jokowi-Maruf Amin dalam menjalankan roda pemerintahannya lima tahun ke depan.
Penulis: Aminuddin