Sejak Kamis (24/10) video pendek penyambutan Prabowo Subianto selaku Menteri Pertahanan yang baru beredar di media sosial. Para pendukung Prabowo sangat bersemangat menyebarkannya, dengan ditambahi narasi: Menhan rasa Presiden!
Ada juga yang menambahi narasinya dengan kata-kata yang lebih bombastis.
“Baru sehari menjadi Menhan, negara tetangga sudah mengekeret. Apalagi kalau menjadi presiden!”
Benar dalam video tersebut Prabowo tampak dielu-elukan oleh pegawai Kementerian Pertahanan. Mereka berjejal di jalan yang bakal dilalui Prabowo, sambil membawa bendera merah putih dalam ukuran kecil.
Konon kabarnya, belum ada seorang Menhan baru yang disambut heboh, gegap gempita seperti Prabowo. Fenomena ini menyadarkan kita pada satu realitas, bangsa ini masih terjebak pada kultus individu, bukan pada value emosional bukan rasional.
Value, nilai, panduannya sangat jelas. Benar, salah. Kemaslahatan umat, kemaslahatan rakyat vs kemaslahatan pribadi serta kelompok.
Pada kultus individu, yang benar bisa salah serta yang salah bisa menjadi benar. Ukurannya menguntungkan kita secara pribadi atau kelompok. Bila tidak, maka itu salah. Semuanya hanya didasari oleh sikap emosional, bukan penilaian yang rasional.
Nilai baik serta benar, tidak bakal pernah berubah. Sunatullah, hukum alam. Sementara manusia setiap dikala bisa berubah.
Hal itu menjelaskan mengapa nuansa pilpres lalu seperti sebuah perang. Dua geng, dua gerombolan besar, saling menghabisi satu dengan yang lainnya. Tidak boleh satu orang pun yang mengkritik, apalagi sampai memberi penilaian jelek pada jagoannya. Langsung hajar habis...
Baik Jokowi maupun Prabowo di mata para true believers, para pengikut yang taklid buta yaitu manusia sempurna. Tidak ada cacatnya sama sekali. Jangan-jangan malah dianggap selaku orang suci.
Itulah bahayanya kultus individu. Membuat orang menjadi rabun dekat. Tidak pernah bisa melihat kesalahan tokoh pujaannya. Sebaliknya dengan mudah menemukan kesalahan siapapun yang menjadi lawannya.
Masalah nasional dilokalisir menjadi kepentingan personal. Entah disadari atau tidak, sikap para pendukung Prabowo ini sesungguhnya bakal merugikan orang yang mereka puja. Sementara dalam jangka panjang bakal merugikan kepentingan nasional. Merugikan kita selaku sebuah bangsa serta negara.
Akhiri Dikotomi
Seharusnya dikala Prabowo memutuskan tawaran buat bergabung dalam kabinet Jokowi, dikotomi apalagi kontestasi di antara pendukung perlu berakhir.
Sebagai menteri, Prabowo yaitu pembantu Presiden Jokowi. Tidak peduli jabatannya selaku Menhan atau menteri apapun. Terimalah realitas itu dengan lapang dada. Tidak perlu merasa malu serta menutupinya dengan eforia semu.
Prabowo saja bisa menerima. Bisa lapang dada. Kamu kok tidak? Tidak perlu lagi ada glorifikasi melebih-lebihkan posisi serta peran Prabowo secara berlebihan. Tidak perlu lagi terus diwacanakan kalau selaku Menhan, Prabowo yaitu menteri utama. Salah satu triumvirat. Manakala terjadi kekosongan kekuasaan presiden serta wapres.
Lebih ngeri lagi muncul wacana, pada waktunya Prabowo bakal menggantikan Jokowi. Masuk kabinet Adalah strategi. Bergerilya membangun kekuatan dari dalam.
Tidak perlu lagi terus dihembus-hembuskan kalau dengan Prabowo menjadi Menhan, kekuatan militer Indonesia bakal ditakuti. Ini urusan negara kok. Bukan urusan pribadi.
Ketika memberi pengarahan pada sidang kabinet perdana, Presiden Jokowi sudah jelas mengungkap "Tak ada visi-misi menteri. Yang ada visi-misi presiden serta wakil presiden,"
Prabowo sendiri sejak kesatu juga menyadari posisinya. Tidak lama setelah menghadap Jokowi di istana, ia mengaku sudah mendapat arahan apa tugas serta program kerja yang perlu dijalankan.
"Saya bakal bekerja sekeras boleh menjadi mencapai sasaran. Dan harapan yang ditentukan. Aku kira demikian," tegas Prabowo.
Sebagai pemberi mandat, Jokowi bakal mengevaluasi kinerja Prabowo. Bila tidak perform, menyimpang, apalagi menunjukkan tanda-tanda melawan perintah, sub ordinasi, ia bisa dicopot. Begitu aturan mainnya.
Apa boleh buat, suka tidak suka, status menteri yaitu P-E-M-B-A-N-T-U presiden. Setiap dikala bisa dipindahkan, diganti serta diberhentikan.
Glorifikasi, memuja secara berlebihan, hanya bakal membuat posisi Prabowo menjadi kikuk serta tidak nyaman. Dipastikan para pendukung Jokowi (yang sesungguhnya juga tidak nyaman dengan kehadiran Prabowo) bakal bereaksi balik. Sehingga, kita bakal kembali terjebak pada perang buzzer seperti pada pilpres lalu.
Sudahlah akhiri semuanya. Baik Jokowi maupun Prabowo hanya manusia bisa. Bukan Satrio Piningit, apalagi manusia setengah dewa. Mereka punya kelebihan serta juga kekurangan. Tidak perlu memuja secara berlebihan. Tidak perlu pula benci secara berlebihan.
Biarkan mereka bekerja dengan tenang. Permasalahan bangsa ini terlalu banyak. Terlalu berat. Biarkan Jokowi memenuhi janji-janji kampanyenya serta Prabowo membantu mewujudkannya.
Jangan benturkan Prabowo dengan Jokowi. Mereka kini berada dalam satu tim. Satu perahu yang sama. Tugas kita yang berada di luar pemerintahan, terus mengawasi, mengkritik, mengingatkan manakala mereka menyimpang.
Pujian yang berlebihan seperti racun yang bakal membunuh akal sehat. Sementara kritik, seperti obat yang pahit, namun menyehatkan. Jangan pula dimusuhi. Apalagi dikriminalisasi.
Penulis: Hersubeno Arief