Is it just me, or is it getting crazier out there?" - Arthur Fleck (Joker)
Sejarah kegilaan yakni tentang dominasi kekuasaan. Begitu hasil penelitian Foucault pada buku Kegilaan serta Peradaban.
Celakanya penderita gangguan kejiwaan kerap menjadi kambing hitam, dari situasi yang bisa menjadi tak dipahaminya. Termasuk di ranah sosial politik, kegilaan tak kunjung mereda.
Sesuai Foucault, gila serta kegilaan yakni kata yang dipersandingkan sesuai konstruksi masyarakat. Bahwa dari setiap lintasan sejarah, terdapat persepsi publik atas mereka yang berbeda dari normalitas.
Dengan begitu ada interaksi antara aspek individu pada lingkup sosial yang terkait. Relasi serta bentuk interaksi tersebut bersifat dinamis serta saling mempengaruhi.
Pada abad pertengahan, kegilaan mulai dihadapkan dengan rasionalitas serta moralitas. Menghadirkan bentuk paling konkret lewat pemenjaraan fisik. Pasung serta rumah sakit jiwa yakni format merepresi fisik serta psikis.
Secara bertingkat, kegilaan dapat dipandang selaku problem medik, bahkan juga dipercaya merupakan kutukan serta perbuatan mistik. Peradabanlah yang membentuk relasi sebab-akibat kegilaan.
Maka pertanyaan Joker diatas, menjadi penting. Sebagian diantara kita barangkali menganggap kalau membahas pertanyaan penyandang gangguan jiwa yakni sebuah kegilaan baru? Setidaknya kita dapat merefleksikan diri pada irasionalitas tersebut.
Kesehatan Jiwa Bangsa
Bulan ini, khususnya tanggal 10 Oktober yakni hari kesehatan jiwa sedunia. Bukan tanpa sebab, kejadian stres serta depresi pada manusia modern mengalami peningkatan. Pada bagian puncak, kegilaan individu yakni wujud ekspresi gangguan kejiwaan sosial.
Ketidakmampuan buat melihat relasi dialektik hal tersebut dalam kajian psikososial, seolah menempatkan individu yang terlepas dari pengaruh faktor lingkungan sosial di sekitarnya. Secara sederhana, jatuhnya kewarasan individu bukan tak barangkali dapat disebabkan karna interaksinya dengan lingkungan yang buruk.
Di ranah sosial politik pada hari-hari belakangan ini, tak lepas dari lunturnya normalitas. Situasi polarisasi ditingkat publik makin menjadi. Apa yang nampak berbeda beramai-ramai di bully. Mekanisme cyber bullying terjadi. Beberapa waktu terakhir, istilah buzzer mulai menjadi topik pembahasan.
Bisa jadi, nuansa psikologi sosial kita memang sedang mengalami kesakitan. Bila kemudian komunitas yakni kumpulan persona individu. Pada aspek mikro terdapat masalah pada sisi personalitas, yang secara timbal balik di level makro terakumulasi di persoalan kolektivitas.
Kepribadian kita terganggu. Meliputi keseluruhan organik permasalahan akal, jiwa serta raga. Pada buku Alex Sobur, Psikologi Umum, 2016, kepribadian yang sehat ditopang oleh kedewasaan jasmani, intelektual, emosional serta sosial. Butuh kematangan, bagi timbulnya kepribadian yang sehat.
Merujuk Allport dalam Sobur, kematangan kepribadian bakal terlihat lewat kriteria; (i) self objectification -memahami diri sendiri, (ii) self acceptance -mampu mengelola emosi, (iii) warm relatedness to other -dapat menjalin relasi dengan orang lain, (iv) extension of the self -dapat melihat sesuatu di luar dirinya serta (v) realistic perception of reality -persepsi yang akurat berorientasi pada persoalan bukan atas ego diri sendiri.
Indikator tersebut, kerap hilang dalam situasi polarisasi sosial politik kita. Bahkan seolah terus dipelihara buat mermacam kepentingan. Ketidakwarasan mengancam kehidupan kita semua.
Perbaikan Perilaku
Pendekatan behavioral yang menempatkan kajian perilaku selaku pusat observasi, membuat kita melihat ke dalam tubuh kehidupan sosial dalam konteks stimulus serta respons. Ruang lingkup kehidupan ada di dalam aksi-reaksi.
Relasi rangsangan serta tanggapan yang negatif, menghasilkan ekosistem yang buruk secara berkelanjutan. Tentu saja karna kehidupan sosial yakni sebuah bentuk dari interaksi yang berkelanjutan.
Sekurangnya ada dua teori yang menyertai, pada buku Poppy Ruliana & Puji Lestari, Teori Komunikasi, 2019, yakni pertama: social learning yakni pembelajar sosial dikemukakan Albert Bandura, tentang perilaku meniru. Melalui proses meng-imitasi kehidupan sosial, seorang individu mempunyai kecenderungan perilaku selaku hasil dari proses belajar.
Dibagian selanjutnya, teori kedua: social exchange selaku bentuk pertukaran sosial yang ditokohi oleh John Thibaut serta Harold Kelley. Bahwa perilaku serta lingkungan bakal bersifat resiprokal mempengaruhi.
Dimana individu bakal menilai unsur imbalan serta keuntungan yang diperoleh dari suatu tindakan tertentu. Jika reward lebih besar dari cost, maka perilaku itu tertanam kuat.
Dengan begitu, dikala awan pekat menyelimuti hampir seluruh dimensi sosial kita, maka seluruh entitas yang ada di dalamnya bakal terkontaminasi, menyerap racun residu. Tersebutlah kepentingan politik yang kini membelah kewarasan kita.
Membenahi yang Tersisa
Bagaimana mensintesis pertanyaan Joker diawal? Tentu saja, orang jahat bisa menjadi muncul karna orang baik ada dalam lingkungan yang buruk. Menjadi sebuah tanggungjawab bersama. Saling tuding yakni bentuk perilaku yang mengukuhkan keburukan tersebut. Semua pihak berandil kesalahan.
Bila bangsa ini ingin merawat serta menumbuhkan kewarasan, maka perlu selekasnya berbenah. Menghadirkan kehidupan dalam situasi percakapan dialogis yang hangat penuh perlindungan. Berbeda yakni biasa. Sesungguhnya ada nilai serta moral sosial yang bisa menjadi pagar perilaku.
Kita bakal mulai lagi mempelajari hal-hal dasar dalam pembentukan kepribadian. Jelas tak mudah. Perlu ada role model yang dapat dijadikan panutan. Petinggi negeri perlu bisa menempatkan dirinya selaku representasi yang diamati, bahkan bisa menjadi diduplikasi oleh publik. Perlu kemawasan bakal hal itu.
Peran aktif publik buat menyelenggarakan seleksi perilaku juga penting. Memiliki kesadaran buat memilih serta memilah berdasarkan nilai serta norma sosial penting buat bisa menyaring perilaku baik dari pengotornya. Di era network society, perlu kecerdasan akal budi.
Tengok timeline media sosial kita, lihat pula tampilan para pesohor di ruang media mainstream. Kita penuh selekasnya membuat perubahan. Joker tentu tak perlu bertanya sebagaimana kalimat pembuka, terlebih bila proses Revolusi Mental sudah tuntas dilakukan. Semoga saja. Salam waras, sing waras ngalah.
Penulis: Yudhi Hertanto