Menanti Quantum Leap Menteri Nadiem

Ridhmedia
26/10/19, 14:21 WIB

Beyond the Box! Komposisi atas pilihan Kabinet Indonesia Maju, tidak cuma keluar dari kotak - out of the box, tetapi sekaligus melampauinya.

Terlalu dini buat menilai bagaimana performa yang bakal dihasilkan melalui unjuk kinerja masing-masing menteri. Tetapi jelas diperlukan bantuan melalui banyak saran, buat mencapai hasil terbaik.

Problem utamanya, pernyataan di bagian kesatu pembentukan kabinet sudah jelas terbaca: Orientasi Hasil. Hal ini mengakibatkan mermacam konsekuensi turunan. Padahal, proses serta hasil yakni kesatuan seirama. Ada reaksi timbal belakang antara keduanya.

Bila tidak mampu memahami relasi tersebut, reduksi makna bisa terjadi, hanya buat mencapai tujuan, bahkan dengan segala cara yang belum tentu benar. Ada persoalan etika dibalik sebuah pertimbangan, yang tidak selalu sejalan dengan hasil.

Bagaimana pun kerancuan itu harus dikoreksi, terutama melalui rumusan program kerja di setiap kementerian. Agar tujuan pembangunan yang besar, tidak menghilangkan esensi besar itu sendiri, yakni kemanusiaan yang adil serta beradab.

Pekerjaan Rumah Mas Menteri

Salah satu sorotan tertuju pada peran Kementerian Pendidikan serta Kebudayaan (Kemendikbud). Terpilihnya Nadiem Makarim, yang diketahui selaku pendiri serta CEO Gojek mendapatkan banyak pertanyaan publik.

Kesuksesan perusahaan rintisan tersebut menjadi decacorn dengan valuasi bisnis diatas 10 miliar dolar AS, yakni fakta yang tidak dapat dipungkiri. Sosok Nadiem memberi pengaruh besar di bidang digital.

Karena itu pula, keterpilihan Nadiem ditujukan bagi upaya membangun lompatan besar alias quantum leap, buat dapat membangun sistem pendidikan nasional selaras dengan era disrupsi serta menciptakan skema link and match ke dunia industri.

Setelah sebelumnya dipisah, pendidikan tinggi kembali masuk dalam wilayah kelolaan Kemendikbud. Kompleksitas bidang kerjanya makin meluas, mulai dari pendidikan dasar, menengah hingga tinggi, termasuk perguruan negeri serta swasta.

Jangan lupa di dalamnya terdapat aspek pendidikan serta kebudayaan. Dengan begitu, tidak cuma bakal berbicara tentang persekolahan saja, tetapi tentang pendidikan secara menyeluruh dengan perangkat tata nilai selaku bingkai moralitas serta budaya.

Meski bukan akademisi, penunjukan Nadiem harus diapresiasi. Tekad buat belajar cepat di bagian permulaan kerja selaku Mendikbud membutuhkan banyak dukungan. Era disrupsi memang melanda dunia pendidikan, tetapi tidak lantas menempatkan jawaban utama hanya pada digitalisasi selaku medium.

Tantangan Lateral Thinking

Secara praktis, pendidikan tidak cuma dimaknai soal ijazah serta gelar akademik. Mengacu pada perkembangan di Silicon Valley, dimana Google serta Apple selaku dua perusahaan gigantik teknologi, kini justru memulai upaya buat melepaskan kebutuhan standar atas pendidikan formal. Situasi anomali.

Pendekatan pragmatis, sesuai tujuan atas hasil yang dibutuhkan industri yakni hal yang baik. Mampu sesuai dengan aspek demand side. Tetapi melewati proses pendidikan memang bukan semata gelar serta ijazah, melainkan mendapatkan proses pembelajaran itu sendiri selaku sebuah upaya sadar berkelanjutan.

Ketika arah pembangunan serta visi kabinet memberikan penekanan pada inward looking atas problematika domestik, maka pola penyelesaian sebagaimana perusahaan startup lakukan harus diuji coba.

Pola berpikir kreatif, atau yang sesuai dengan konsep Edward de Bono disebut selaku lateral thinking, menjadi pembanding dari vertikal thinking. Dimana pada skema lateral, menggunakan abstraksi acak serta tidak sekuensial berurutan.

Berpikir tidak ajeg, karna semua lini harus ditembus. Di sini letak kerumitan dimulai, dengan cakupan nasional dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi, perbaikan kualitas sumberdaya manusia kita diolah.

Jika pembangunan di periode kedua ini memang ditujukan pada kepentingan manusia, di luar infrastruktur fisik, maka sesuai dengan kajian peraih Nobel Ekonomi 2019, Abhijit Banerjee, Esther Duflo serta Michael Kremer, harus pembenahan dunia pendidikan.

Penelitian tersebut, menyajikan ilustrasi tentang sekolah inpres di Indonesia (1973-1978), yang mendapatkan kesimpulan kalau sektor pendidikan secara konsisten memberi dampak ekonomi dalam mengentaskan kemiskinan di wilayah terpencil - perifer.

Akankah Mas Menteri Nadiem mampu menjawab tantangan berat dari wajah pendidikan serta kebudayaan itu, sebagaimana membesarkan Gojek? Kita tentu bakal menanti kiprahnya.

Penulis: Yudhi Hertanto
Komentar

Tampilkan

Terkini