Nadiem Mundurlah!

Ridhmedia
30/10/19, 07:34 WIB

Oleh Djoko Edhi S Abdurrahman, Anggota Komisi Hukum DPR (2004 – 2009), Advokat, Wasek Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

Nadiem Makarim diangkat Jokowi menjadi Mendikbud? Terperanjat saya! sudah langsung saya lihat di kepala saya, pendidikan menengah ke bawah hancur kayak pengemudi Ojol menanggung cicilan sepeda motor dalam kondisi senin kemis diuber-uber debt collector. 

Nadiem, berdarah Arab, tidak pernah bersekolah di Indonesia. ia tidak punya ilmu pendidikan atau pedagogi walau sepotong pun. Titel pendidikannya terakhir saya baca MBA, jauh panggang dari api, jauh dari  pedagogi. Dengan demikian, Nadiem tidak punya empirisnya, sekaligus tidak punya ilmunya. Maka ia tidak layak, unfeasibilities. ia tidak punya FS.

Dari perilaku sosiologis, lebih ironi. ia dari keluarga non Muslim. Ia, menikah di gereja, isteri serta anak-anaknya semua dibaptis di gereja. Sementara anak sekolah pendidikan, 90% yaitu anak-anak Muslim: Nadiem yaitu contoh yang paradok, sangat buruk. Sementara, suasana pendidikan kita sangat rigid serta sensi. 
Bacalah tulisan Dr Chazali Situmorang, Fisip Unas, bagaimana ironi Depdikbud pada tingkat mahasiswa “Mendikbud Mempertaruhkan Masa Depan” tulisnya. 

Di tingkat SD – SMA, seingat saya, selalu profesor yang menjadi penguasa dikbud. Tidak asal profesor, melainkan profesor yang mumpuni. Begitupun, tidak lantas sekolah kita boleh revolusioner. 

aku meneliti demokratisasi di 184 sekolah SMP serta SMA di Jakarta, serta membimbing riset 34 mahasiswa pasca sarjana FISIP Universitas Indonesia, 2003. Ternyata buku "Democracy In Education", karangan John Doe, tidak masuk ke Indonesia. Sebabnya, kultur yang berbeda dalam pendidikan Barat vs Indonesia. Padahal reformasi tengah gencar-gencarnya tahun 2003. Dan, Nadiem, berkultur Barat, seperti muatan buku itu.

Pendidikan ternyata tidak boleh revolusioner. aku kutip petisi para ahli AI (artificial intelligent) dari Silicon Valley di Konferensi Musim Panas di Montreal tahun 1954: “Kami takkan menyerahkan pendidikan kepada komputer”, bunyi petisi itu.  Sampai kini, petisi itu tidak berubah. Silahkan AI berrevolusi.

Nadiem kini bakal mengimpor ahli pendidikan ke Indonesia. Sebab, kata Nadiem, Indonesia tidak punya ahli pendidikan. Ente bertanya ke Prof Conni Semiawan dong, mantan Rektor IKIP Jakarta. Butuh berapa ente?

Tapi barang impor si Nadiem itu, semuanya beragama non muslim. Mengerikan si Nadiem. Pantas resiko itu tidak terasa, sebab yang pasang dia yaitu Presiden Jokowi, yang sekolahnya insinyur bagian perkayuan. aku mengimbau para orangtua murid bikin petisi yang meminta Nadiem mengundurkan diri daripada pendidikan anak-anak kita rusak oleh orang yang layak. Atau si Nadiem direshuffle karna permintaan orangtua murid.

Nadiem tidak lebih dari kapitalis, penghisap darah kaum miskin penarik Ojol. ia tidak lebih dari pemakan rente ekonomi. Sama dengan Jokowi. aku kutip artikel anonim berjudul “Nadiem, Melepas Tanggungjawab” berikut.

Dari kemaren, grup driver online riuh. Nadiem makarim menjadi menteri. Ramai sumpah serapah pada Nadiem karna dianggap dia belum berhasil sejahterakan driver online dengan janji yang pernah ia berikan. 

Awal buka gojek, aplikator memberikan iming-iming pendapatan yang melimpah. tidak cuma itu, aplikator juga memberikan bonus pada mitra yang berhasil membawa teman, kerabat buat bergabung menjadi mitra. 

Jutaan orang mendaftar menjadi driver online (DO). Testimoni ala MLM bertebaran, betapa menjadi DO sangat menjajikan penghasilannya. Pendapatan diluar bonus bisa mencapai ratusan ribu/hari. Apabila ditambah bonus, bisa 500-700ribu yang diterima. 

Banjir bonus bagi DO membuat DO menjadi primadona. Gak punya kendaraan, mereka beli secara kredit. Terjadi lonjakan penjualan kendaraan second maupun baru di masa Gojek beroperasi. Cara gojek memanjakan DO dengan bonus melimpah salah satu upaya agar masyarakat lekas bergabung dengan kalkulasi pendapatan yang sudah mereka edarkan testimoninya. 

Minimnya lapangan pekerjaan, membuat masyarakat menaruh harapan menjadi DO. Gak ada uang buat DP kredit kendaraan, mereka upayakan dengan mermacam cara meminjam kerabat atau berhutang. Dalam benak mereka, pendapatan yang sudah dikalkulasikan bakal menutupi angsuran kendaraan yang mereka ambil. 

1-2 tahun berjalan, mulai ada perubahan. Pendaftaran DO baru ditutup. Bonus diturunkan, mulai ada gejolak di kalangan DO. Pendapatan yang mereka dapatkan di awal, sudah lain ceritanya. Ada penurunan pendapatan, namun tetap bertahan. 

Memasuki tahun berikutnya, nasib driver seperti kuda pacu. Dipaksa memenuhi target supaya bisa mengambil bonus yang lagi-lagi diturunkan 50% dari bonus pertama berdiri. Target dinaikkan, bonus diturunkan. Sedangkan ongkos, tetap. serta potongan fee gojek masih berlaku. 

DO meradang, namun tidak bisa berbuat banyak dikala segala aksi sudah mereka lakukan, namun tidak mendapatkan jawaban. Pilihannya, tetap bertahan atau cabut. 

Gojek memegang kartu As. Mereka gak khawatir DO bakal berhenti. Apabila berenti, mereka bakal buka lagi pendaftaran. Keadaan negeri yang menciptakan banyak pengangguran, membuat Gojek leluasa mencari mitra. 

Sekarang, keadaan sungguh berbalik 180 derajat dari pertama berdiri. Bonus sudah bukan pendapatan namanya, melainkan uang yang diberikan, buat kemudian mereka tarik kembali menjadi potongan. Dan era bonus bakal berakhir, esok bonus bakal ditiadakan. Dan kutipan fee gojek bakal terus ada memotong tarif selaku biaya atas aplikasi mereka. 
Cara gojek membanjiri bonus sama dengan istilah Money burning (Membakar uang). 

Mereka membakar uang di pertama buat menjerat peminat. Siapa yang diimingi, itulah yang mereka incar. Setelah mereka dapatkan, mulai mereka menarik uang dari para driver. DO seperti terjebak, dengan cicilan kendaraan yang terus berjalan, membuat mereka terpaksa mengikuti kebijakan gojek. 
Mereka sebut mitra, namun aturannya tidak ada perundingan dikala melemparkan kebijakan bagi driver. 

Seharusnya, ada pertemuan dulu sebelum memutuskan kebijakan. Ketika tidak ada setuju dari DO, kebijakan belum bisa digunakan. Namun gojek, bertindak sewenang-wenang atas mitranya. 

Mereka memutuskan sendiri, lalu melempar kebijakan itu buat dipatuhi. Protes silahkan, namun gak wajib didengar serta memberi jawaban.

Terima kebijakan silahkan lanjut, gak terima silahkan cabut.

Dilema DO, mereka memiliki beban bulanan. Menolak bisa gak makan, mengikutinya cuma cukup buat bayar angsuran. Gojek diatas angin dengan cara penjajahan yang mereka lakukan. 

Bagaimana dengan pemerintah?

Pemerintah serta gojek ibarat simbiosa mutualisme. Banyaknya pengangguran membuat pemerintah sedikit tenang dikala Gojek mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Bertindak tegas pada gojek, bakal bahaya bagi pemerintah. Bisa menjadi mereka mengambil sikap menutup usaha di sebagian daerah serta dampaknya, pengangguran bakal kembali membludak. 

Ketegasan pemerintah pada perlindungan DO seperti ketegasan semu. Tak ada sanksi bagi gojek atas perlakuan mereka pada driver. Pemerintah menghadapi gojek seperti menghadapi OPM. Tegas salah, lunak menjadi kecaman. 

Belum ada aturan yang melindungi driver. Sekarang, gojek menjadikan driver seperti sapi perah. DO yang sudah terjebak, seperti mati segan hidup tidak mau. 

Nadiem boleh menjadi berjasa dikala membuka aplikasi gojek dengan tujuan mulia, mengentaskan pengangguran serta mengurangi angka kemiskinan. Slogan perusahaan anak negeri menjadi sebutan utama bagi gojek. Seiring perjalanan gojek, mereka perlu menerima gelimangan materi dari investor. Gojek, sebuah aplikasi yang membawa jutaan data penggunanya. Perusahaan mana yang tidak hendak bermitra dengan gojek?

Gojek mulai mendapatkan kucuran dana dari investor, perlahan namum pasti saham gojek telah berpindah tangan ke investor asing. Saat ini, tidak sampai 10% saham anak bangsa di Gojek.  Dan slogan perusahaan anak bangsa, masih digunakan buat menipu masyarakat.

Bagi driver online, seorang Nadiem memiliki kisah sendiri. Nadiem dikala ini, bukanlah Nadiem yang dulu berjasa. sebaliknya, ia telah menjadi penghisap anak bangsa. 

Segala keluhan driver tidak pernah ia jawab. Driver mereka sebut mitra, namun kenyataannya mereka tidak pernah menjadikan driver selaku mitra sejati. Driver seperti buruh yang dipaksa menerima aturan sepihak. Setelah Nadiem memakai aset mitra buat Go Publik, sekarang ia berlaku kejam pada mitra yang telah mengangkat namanya. 

Driver online sudah terjebak dalam permainan Nadiem, serta seorang Nadiem seperti bermain kesenangan atas kesejahteraan driver online yang belum pernah ia perjuangkan. 

aku salah satu Driver online, menyebut dirinya  tidak layak menjadi menteri.[tsc]
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+